Kamis, 13 Desember 2012

Membangun Kesejahteraan Umat Melalui Koperasi Masjid






Pada abad 21 ini, banyak bangunan masjid baru, yang dibangun oleh masyarakat secara bersama-sama, ataupun organisasi-organisasi kemasyarakatan, serta oleh pemerintah sendiri. Bangunan masjid tersebut, banyak yang mempunyai arsitektur yang indah dan konstruksi yang sangat mahal. Namun, terkadang disayangkan, keindahan dan bahkan kemegaan bangunan masjid yang tersebar di berbagai penjuru negeri tidak menunjukkan tingkat kesejahteraan para jamaahnya, bahkan yang lebih ironis untuk biaya pemeliharaan masjid tersebut seringkali dilakukan dengan meminta-minta di pinggir jalan, sehingga menurunkan citra umat Islam secara keseluruhan.
            
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan kota lainnya terlihat fenomena yang menunjukkan sebagian masjid berfungsi, tidak hanya, sebagai tempat ibadah “ritual” semata. Beberapa masjid, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, tempat pemberdayaan ekonomi umat, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, keberadaan masjid memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat lingkungannya. Fungsi masjid yang seperti itu, perlu terus dikembangkan dengan pengelolaan yang baik dan teratur, sehingga dari masjid lahir insan-insan muslim yang berkualitas dan masyarakat yang sejahtera.

Masjid dapat dilibatkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masjid, sebenarnya, dapat berperan alami dalam kehidupan jamaah dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Peranan alami tersebut muncul melalui ajaran Islam, sebagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat, dengan mekanisme perubahan sosial dan peningkatan motivasi dalam berusaha. Dengan demikian, diharapkan, dapat mempercepat perubahan sosio-ekonomi di wilayah-wilayah masjid tersebut berada. Peningkatan kesejahteraan umat tersebut dapat dilakukan dengan membuat Koperasi yang beranggotakan jamaah dari masjid. Koperasi tersebut dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan berbasiskan kebutuhan pembangunan dan pemeliharaan masjid, serta penyediaan kebutuhan jamaah dan masyarakat di sekitar masjid tersebut.

Memperhatikan fungsi, peranan dan prinsip Koperasi pada UU Perkoperasian Nomor 17 tahun 2012, maka konsep-konsep Koperasi tidak jauh berbeda dengan tujuan yang ada pada Sistem Ekonomi Syariah. Namun perlu mendapat perhatian, bahwa dalam Islam, yang dimaksud dengan keadilan bukanlah pemerataan secara mutlak. Pengertian keadilan dalam Islam adalah keseimbangan antara individu dengan masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut mengandung implikasi bahwa pembagian laba atau sisa hasil usaha harus merefleksikan kontribusi yang diberikan kepada Koperasi oleh anggota bukan hanya sekedar modal (financial) tetapi juga berupa modal keahlian, waktu, kemampuan manajemen, good will, dan kontrak usaha. Kerugian usaha juga harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut.

Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak sesuai dengan Syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan amanah.

Menurut Umer Chapra (1985), koperasi merupakan bentuk organisasi bisnis berorientasi kepada pelayanan yang dapat memberikan sumbangan yang kaya kepada realisasi sasaran-sasaran suatu perekonomian Islam. Dengan penekanan Islam pada persaudaraan, maka koperasi dalam berbagai bentuknya dalam memecahkan persoalan yang saling menguntungkan antara berbagai pihak, seharusnya mendapatkan penekanan yang besar dalam sebuah masyarakat Islam. Koperasi dapat menyumbangkan sejumlah pelayanan kepada para anggota, termasuk penyediaan keuangan berjangka pendek bila diperlukan melalui dana mutual, ekonomi penjualan dan pembelian dalam jumlah besar, pemeliharaan fasilitas, pelayanan bimbingan, bantuan atau pelatihan untuk memecahkan persoalan-persoalan manajemen dan teknik, dan asuransi mutual. Sesungguhnya, sulit melihat bagaimana suatu masyarakat Islam modern dapat secara efektif merealisasikan tujuan-tujuannya tanpa suatu peran yang dimainkan oleh Koperasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya, untuk memulai pendirian Koperasi yang beranggotakan jamaah masjid dan masyarakat di sekitar lingkungannya, namun tentu saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah ekonomi yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.

Hal-hal yang dilarang dalam bertransaksi dalam Ekonomi Syariah jika  dalam transaksi tersebut terdapat unsur-unsur:
1.     Tadlis (Penipuan), yaitu transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak;
2.  Taghrir (Ketidakpastian), yaitu transaksi pertukaran yang mengandung ketidakpastian bagi kedua pihak;
    3.     Bay ‘Najasy (Manipulasi Permintaan), yaitu upaya mengambil keuntungan   diatas keuntungan normal dengan menciptakan permintaan palsu;
4.  Ikhtikar (Manipulasi Penawaran), yaitu upaya mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit untuk harga yang lebih tinggi;
5.     Maysir (Perjudian), yaitu perbuatan yang dilakukan dengan mempertaruhan keuntungan semata-mata pada nasib tanpa suatu kepastian;
6.     Riba, yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil tanpa melalui sebuah transaksi yang dibenarkan.

Penambahan dalam sebuah transaksi, menurut muamalah Islam dapat dibenarkan asalkan diambil melalui suatu transaksi penyeimbang yang dibenarkan oleh Syariah, yakni melalui transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan tersebut secara adil, misalnya dengan transaksi jual-beli (murabahah, istishna, dan salam), sewa-menyewa (ijarah), atau bagi hasil suatu usaha (mudharabah dan musyarakah). Dalam transaksi jual-beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya, dan dalam sewa-menyewa, si penyewa membayar upah sewa karena ada manfaat sewa yang dinikmati termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa, sedangkan dalam usaha bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena turut menyertakan modal dan turut pula menanggung kemungkinan resiko kerugian yang timbul setiap saat.

Simpan-pinjam dana secara konvensional, menurut pandangan Syariah Islam adalah suatu transaksi yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut terjadi karena si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya factor penyeimbang yang diterima si penerima pinjaman kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman. Hal yang dinilai tidak adil adalah si penerima pinjaman diwajibkan selalu, tidak boleh tidak, harus, dan mutlak, serta pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Padahal kenyataannya uang (dana) tidak akan berkembang dengan sendirinya, tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.

Bentuk pinjam-meminjam dalam Ekonomi Syariah disebut dengan istilah Qardh yang artinya kepercayaan yang kemudian dikenal menjadi credo dalam Ekonomi Konvensional dan selanjutnya di Indonesia dikenal dengan istilah kredit. Qardh (pinjaman) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata lain merupakan transaksi pinjam-meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong, sehingga berbeda dengan jual-beli atau bagi hasil yang merupakan transaksi komersial.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada halangan untuk mendirikan sebuah badan usaha berbentuk Koperasi yang bertujuan menyejahterakan anggotanya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan Syariah. Sistem Ekonomi Syariah sudah sedemikian lengkap mengatur permasalahan ekonomi berikut skim-skim transaksi yang tersedia dalam berbagai macam jenis dan jauh lebih lengkap dibandingkan dengan Sistem Ekonomi Konvensional yang kita kenal saat ini. Perlu kita ingat bersama, bahwa Sistem Ekonomi Syariah sudah ada terlebih dahulu daripada sistem Konvensional yang kita kenal saat ini, sehingga adanya sebagian pendapat bahwa Ekonomi Syariah adalah Ekonomi Konvensional yang diberi kerudung dapat dipertanyakan kembali apakah bukan Sistem Ekonomi Konvensional (Sekuler) yang kita kenal saat ini merupakan Sistem Ekonomi Syariah yang sudah tidak memakai (menanggalkan) kerudungnya.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Tidak ada komentar: