Jumat, 28 Desember 2012

Menyusuri Jejak-jejak Kejayaan Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat

Pada masa lalu di daerah Kalimantan Barat ternyata terdapat cukup banyak Kesultanan Melayu yang berjaya. Beberapa kesultanan Melayu yang besar adalah Kesultanan Kadriah Pontianak, Kesultanan Sambas, Kesultanan Sintang, Kesultanan Matan Tanjung Pura, Kesultanan Mempawah, Kesultanan Ismahayana Landak, Kesultanan Sangau, Kesultanan Kubu, dan Kesultanan Sekadau. Kesultanan-kesultanan tersebut masih meninggalkan jejak-jeka sejarah hingga saat ini berupa bangunan Keraton. Umumnya tak jauh dari keraton-keraton tersebut terdapat masjid jami’.

Empat kesultanan di antaranya pernah saya kunjungi dalam berbagai kesempatan saya ke berbagai kota di Kalimantan Barat. Kota-kota yang memiliki sisa-sisa kejayaan kesultanan Melayu di Kalimantan Barat yang sempat saya kunjungi adalah Pontianak, Sambas, Sintang, dan Ketapang.

Melihat Keraton Melayu di Kota Pontianak sekalian dengan melihat Tugu Khatulistiwa yang berada tidak berapa jauh dari lokasi. Di sebelah komplek Keraton Kadriah Pontianak ini terdapat Masjid Jamik Sultan Syarif Abdurrahman.

Untuk melihat keraton atau Istana Alwatzikhoebillah beserta Masjid Jamik di Kota Sambas, kita bisa naik mobil dengan waktu tempuh sekitar 4 sampai 5 jam dari Kota Pontianak dan melewati Kota Singkawang yang banyak terdapat klenteng atau vihara yang unik.

Lalu, untuk melihat Keraton Al Muharramah di Kota Sintang kita mesti menempuh perjalanan dengan berkendara selama 7 sampai 8 jam dari Pontianak. Kota Sintang dan Sambas ini berlawanan arah dari kota Pontianak.

Sedangkan untuk melihat Keraton Panembahan dari Kerajaan Matan di Kota Ketapang kita harus naik pesawat dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Di sekitar Keraton Panembahan ini, saya sudah tak menemukan situs Masjid Jamik milik Kesultanan Matan tersebut.

Warna kuning mendominasi bangunan keraton-keraton tersebut,  sehingga nuansa Melayu seperti di Riau dapat saya rasakan. Di samping bangunan keraton sisa-sisa kejayaan Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat, terdapat pula bangunan seperti Keraton peninggalan Kesultanan Matan Tanjung Pura yang dibangun oleh keluarga tokoh masyarakat di Ketapang. Bangunan tersebut  berdiri megah di tepian Sungai Pawan.

1356701267956219675
Keraton Kadriah Pontianak yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara
1356701341272836189
Masjid Jami Syarif Abdurrahman di Komplek Istana Melayui Pontianak
13567014751876185964
Keraton Alwatzhikoebillah di Kota Sambas, 4-5 jam perjalanan darat dari Pontianak
13567015461369340222
Masjid Jami di komplek Keraton Alwatzhikoebillah Sambas
13567016431914388970
Keraton Al Mukarramah di Kota Sintang, butuh 7-8 jam perjalanan darat dari Pontianak
1356701698864404531
Masjid Jami Sultan Natan di Tepian Sungai Kapuas Kota Sintang
13567018132006295678
Keraton Panembahan di Kota Ketapang, bisa dicapai dalam waktu 40 menit dengan pesawsat dari Pontianak
1356701934390627264
Kenangan tak kan terlupa di Komplek Keraton Panembahan Ketapang


Di tepian Sungai Pawan Ketapang dibangun pula sebuah replika Keraton oleh seorang tokoh masyarakat Ketapang

Rabu, 26 Desember 2012

Kewajiban Zakat di Antara Perintah Sholat & Larangan Riba

 

13565658281085639218
Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosial-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, sebagaimana yang dilaksanakan dalam system sosialisme dan negara kesejahteraan modern…

Firman Allah SWT:
“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)

Al Quran, sebagai pedoman hidup orang Islam, secara tegas telah memerintahkan pelaksanaan zakat. Menurut catatan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dalam bukunya Pedoman Zakat, terdapat 30 kali penyebutan kata zakat  secara ma’rifah di dalam Al Quran. Penjelasan kewajiban zakat bergandengan dengan perintah sholat terdapat pada 28 ayat Al Quran. Dengan demikian, menurut sebagian ulama besar, jika sholat adalah tiang agama, maka zakat adalah mercusuar agama atau dengan kata lain sholat merupakan ibadah jasmaniah yang paling mulia, sedangkan zakat dipandang sebagai ibadah hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.

Beberapa pandangan ulama besar, menyatakan, bergandengannya kewajiban zakat dan perintah sholat dalam Al Quran menyiratkan  bahwa semestinya Allah tidak akan menerima salah satu, dari sholat atau zakat, tanpa kehadiran yang lain. Pada dasarnya, kepentingan ibadah sholat tidak dimaksudkan untuk mengurangi arti penting zakat, karena sholat merupakan wakil dari jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama manusia. Namun demikian, bukan berarti kewajiban zakat lepas dari dimensi ketuhanan, karena sesuai dengan Surah Fushshilat ayat 6-7 dinyatakan bahwa seorang mukmin yang tidak mengeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan orang musyrik.

Seorang imam besar dunia, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, menyatakan bahwa zakat dapat berfungsi sebagai pembeda antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan, serta antara ketaqwaan dan kedurhakaan.

Di dalam Al Quran, zakat mepunyai beberapa istilah, yakni zakat, shadaqah, haq, nafaqah, dan afuw. Namun yang berkembang pada masyarakat adalah istilah “zakat” digunakan untuk shadaqah wajib, sedangkan kata “sedekah” digunakan untuk shadaqah sunah.

Harta yang dikeluarkan untuk zakat  dimaksudkan untuk mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa, serta untuk menyuburkan harta atau memperbanyak pahala bagi mereka yang mengeluarkannya, karena zakat itu menunjukkan kebenaran iman. Harta yang dizakatkan akan dipelihara oleh Allah SWT, dan dapat diturunkan kepada anak cucu dengan memperoleh keberkahan dan kesucian serta perlindungan dari Allah yang Maha Kuasa. Sedangkan harta yang tidak dikeluarkan zakat, tidak akan mendapat perlindungan dari Allah, sebab harta itu akan lenyap dari kepemilikan melalui bencana yang beraneka ragam. Harta tidak akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi pemiliknya di “akhirat” kelak.

Zakat merupakan manifestasi dari kegotong-royongan antara orang kaya dengan fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Lembaga “zakat” merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosial-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk  memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, sebagaimana yang dilaksanakan dalam system sosialisme dan negara kesejahteraan modern.

Pembahasan Al Quran tentang zakat sebagai doktrin sosial-ekonomi Islam sering dikaitkan secara bersamaan dengan “riba”, seperti dalam  Surah Al Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba, setelah pada ayat sebelumnya menyatakan keutamaan membelanjakan harta di jalan yang benar.

Kemudian pada ayat berikutnya, yakni Surah Al Baqarah ayat 276 dengan tegas Allah menyatakan bahwa: “Allah menghapuskan (berkah) riba dan menyuburkan (berkah) sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran lagi berbuat dosa.”

Dalam ayat tersebut Al Quran dengan jelas mempertentangkan riba dan shadaqah, dan kemudian dalam ayat berikutnya secara lebih tegas muncul konsep zakat sebagai solusi alternatif, yakni: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan yang akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan berduka cita.”

Faktor  yang menghubungkan antara “zakat” dengan “riba” adalah pengertian kunci di sekitar berkah dalam konotasi kontradiktif, yakni “zakat” sangat terkait dengan system penyediaan dana dan system pemanfaatan dana dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan pemerataan untuk mencapai keadilan sosial, sedangkan riba hanya dilandasi prinsip materialisme dan hedonisme sehingga menjadi salah satu factor utama timbulnya konsentrasi kekayaan pada satu orang atau kelompok.

Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit (adam al-haraj) dan keadilan (al-‘adalah) yang mencakup keadilan sosial, maka doktrin zakat harus dipahami sebagai satu kesatuan system yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of justice) seperti yang diungkapkan Al Quran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

Menurut beberapa ulama dan ahli sejarah, zakat adalah suatu system jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia, yang selalu berhadapan dengan system riba. Hal ini berlangsung secara efektif & efisien, karena zakat langsung dikelola oleh pemerintah yang alim dan adil. Namun, kemudian terjadi pemisahan wilayah kekuasaan internal Islam antara penguasa dan ulama, maka lembaga “zakat” menjadi tidak seefektif sebelumnya.

Sebagai institusi keagamaan, lembaga “zakat” kemudian dipegang oleh ulama saja, sehingga fungsi sebagai jaminan sosial menjadi tidak kentara, dan lama kelamaan berubah menjadi semacam aktivitas bantuan sementara (temporary action) yang hanya dipungut dalam waktu bersamaan dengan pelaksanaan zakat fitrah. Akibatnya, pendayagunaan zakat hanya mengambil bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat (temporary relief), yakni diberikan kepada fakir-miskin, anak yatim-piatu, hadiah tahunan untuk guru agama atau da’i. Sehingga, saat ini, perlu rasanya mendiskusikan kembali doktrin zakat sebagai sub-sistem Ekonomi Islam dalam rangka mempertegas substansi zakat yang sangat terpaut dengan hajat hidup dunia akhirat.

Berdasarkan uraian singkat di atas, bahwa kewajiban zakat di dalam Al Quran seringkali dikaitkan dengan perintah sholat dan larangan riba, maka dapat kita simpulkan bahwa zakat dan sholat adalah dua ibadah utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sholat adalah ibadah utama hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah ibadah utama dalam hubungan sesama manusia tanpa lepas dari dimensi ketuhanan. Dan kaitan kewajiban zakat dengan larangan riba adalah zakat merupakan alat distribusi harta kekayaan antara si kaya dan si miskin, sedangkan riba adalah instrumen utama yang melahirkan konsentrasi kekayaan di sekelompok orang.

Dengan demikian apabila lembaga “zakat” dapat dijalankan sesuai dengan yang telah diatur dalam Al Quran yang bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial, maka dana zakat akan membantu kas negara untuk menciptakan lingkungan ekonomi umat atau kerakyatan yang memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi yang menggalakkan industri kecil dan mikro yang kemudian akan berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 19 Desember 2012

Qardh al Hasan (Pinjaman Kebajikan)


Firman Allah SWT:
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha dan resiko. Syariah Islam mewajibkan setiap individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sangat melarang seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.

Dalam literatur Ekonomi Syariah, terdapat berbagai macam bentuk transaksi kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial, salah satu berbentuk “qardh”. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali  tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial.

Landasan syariah transaksi Qardh adalah:
1.   Al Qur’an Surah Al Hadid ayat 11:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak

Landasan dalil dalam ayat di atas adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, yang artinya adalah kita diseru untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras dengan itu, kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia” sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.

2.   Al Hadits
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata: “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah”

Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah SAW berkata: “Aku melihat pada waktu malam di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis: Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali. Aku bertanya: ‘Wahai Jibril mengapa qardh lebih utama dari shadaqah?’ Ia menjawab: ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan,’”
  
3.   Ijma’
Para ulama sepakat bahwa Qardh  boleh dilakukan, atas dasar bahwa tabiat manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya, tidak ada seorangpun yang memiliki segala sesuatu yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia, dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.

Transaksi Qardh dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Rukun Qardh adalah:
1.   Peminjam (muqtarid);
2.   Pemberi pinjaman (muqrid);
3.   Dana (qard)
4.   Serah terima (ijab qabul)
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi:
1.   Dana yang digunakan ada manfaatnya;
2.   Ada kesepakatan diantara kedua belah pihak.

Qardh yang menghasilkan manfaat diharamkan jika disyaratkan, misalnya seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada koleganya dengan syarat ia dinikahkan dengan anaknya. Larangan ini sesuai dengan Hadist Rasulullah  SAW yang melarang mereka yang melakukan Qardh dengan mensyaratkan manfaat. Jika peminjam yang memberikan manfaat tambahan tanpa diminta atau disyaratkan, maka hal itu dianggap sebagai hadiah

Akad Qardh dapat diterapkan untuk membantu ummat dalam mengembangkan usahanya, sehingga dapat terbentuk sebuah semangat wirausaha dalam sektor industri kecil – mikro, yang pada akhirnya akan memacu percepatan ekonomi kerakyatan berbasiskan syariah. Qardh sebagai produk pembiayaan (modal) bagi usaha kecil – mikro dikenal dengan istilah Qardh Al Hasan. Sifat Qardh tidak memberikan keuntungan finansial bagi pihak yang meminjamkan.

Dana Qardh Al Hasan dapat bersumber dari dana Zakat. Ibadah Zakat (termasuk Infaq dan Shadaqah) merupakan komitmen seorang muslim dalam bidang sosio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.

Pembayaran zakat oleh orang-orang kaya bukan merupakan suatu bentuk pemihakan kepada si miskin, sebab si kaya bukanlah pemilik absolut dari kekayaan tersebut, tetapi mereka hanya sebagai pembawa amanah atas kekayaan tersebut. Setiap muslim yang sadar akan agama yang dipeluknya, tentu selalu bersedia membayar zakat, jika ia bertindak secara rasional untuk menjamin kehidupan jangka pendek dan jangka panjang serta mencari keridhoan Allah dalam kekayaannya di dunia dan akhirat.

Namun yang terjadi di Indonesia pada umumnya, zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat tidak signifikan dengan jumlah penduduk muslim yang ada, sebab masyarakat condong menyalurkan zakat serta infak dan shadaqah (ZIS) secara langsung kepada orang yang menurut mereka berhak menerimanya, sehingga tujuan dari zakat, infak dan shadaqah sebagai dana pengembangan ekonomi sulit diwujudkan. Dana zakat, infak dan shadaqah (ZIS) pada saat ini, sebagian besar, tidak lebih hanya sebagai dana sumbangan yang sifatnya temporer.

Pembagian dana zakat, termasuk dana infak dan shadaqah (ZIS) seharusnya dapat memungkinkan si miskin untuk berdikari, karena merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menghidupi dirinya sendiri. Dana ZIS hendaknya dapat dipergunakan sebagai bantuan keringanan yang bersifat sementara, di samping sumber-sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan, dan materiil sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Penggunaan dana ZIS secara professional, melalui skim Qardh Al Hasan akan memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan sosio-ekonomi yang menggalakan industri kecil dan mikro, dan akan berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Dengan demikian, kelebihan Qardh al Hasan dengan memanfaatkan dana ZIS, antara lain adalah:
1.   Transaksi Qardh bersifat mendidik, dan peminjam (muqtarid) wajib mengembalikan, sehingga dana tersebut terus bergulir dan semakin bertambah, dan diharapkan peminjam nantinya juga dapat mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah atas hasil usahanya sendiri;
2.   Dana ZIS sebagai dana sosial,  dapat dimanfaatkan lagi untuk peminjam berikutnya;
3.   Adanya misi sosial kemasyarakatan melalui produk Qardh al Hasan, akan meningkatkan citra baik dan  loyalitas masyarakat terhadap ekonomi syariah serta kesadaran masyarakat untuk membayarkan zakatnya melalui lembaga yang dipercayainya, sehingga dana tersebut tidak hanya menjadi sekedar dana bantuan yang sifatnya sementara dan habis guna kebutuhan konsumtif;
4.   Percepatan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berbasiskan syariah Islam dapat diwujudkan menjadi sebuah kenyataan.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Selasa, 18 Desember 2012

Mengembangkan Usaha Mikro Berjamaah




Dalam ibadah ritual shalat, Islam mengajarkan bahwa shalat bersama-sama dalam sebuah jamaah jauh lebih mulia daripada shalat yang dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing individu. Shalat yang dilakukan secara individu bernilai ibadah satu, namun jika dilakukan berjamaah nilainya menjadi 27 untuk seorang individu, dan menjadi sinergi yang berlipat ganda sesuai dengan jumlah individu yang ikut berjamaah. Ritual shalat tersebut, melambangkan bahwa sesuatu yang dilakukan dengan sinergi berjamaah hasilnya akan memberikan nilai lebih bukan hanya kepada masing-masing individu, melainkan juga kepada seluruh jamaah sebagai sebuah komunitas. Demikian pula dalam meningkatkan kesejahteraan sebuah masyarakat, apabila dilakukan secara berjamaah, maka akan memberi nilai yang jauh lebih berarti bagi sebuah kelompok masyarakat.
Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung kepada kemampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa bagi para anggotanya dan masyarakat lainnya. Produksi dan distribusi barang dan jasa menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan, tetapi juga keahlian dan manajemen. Tidak setiap orang dibekali sumber daya dengan suatu kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak menghimpun semua sumber daya yang tersedia guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus diorganisasikan dalam suatu cara yang saling menguntungkan atau altuaristis dengan konsep kemitraan yang sejajar di antara masing-masing pihak. Pada dasarnya kemitraan secara alamiah akan mencapai tujuannya jika kaidah saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dapat dipertahankan dan dijadikan komitmen dasar yang kuat di antara para pelaku kemitraan. Implementasi kemitraan yang berhasil harus bertumpu kepada persaingan sehat dan mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam persekutuan usaha.
Dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan peluang berwirausaha bagi seluruh masyarakat, sebagai pilar utama dalam pembangunan kesejahteraan sebuah daerah, maka Pemerintah Daerah sebagai pemegang otonomi daerah, seharusnya mampu membuat kebijakan yang dapat mengembangkan usaha skala mikro dan kecil, selain membuka kesempatan kepada investor membangun usaha menengah dan besar di daerahnya. Pendirian usaha mikro dan kecil yang padat karya akan membantu penyediaan lapangan kerja produktif bagi semua anggota masyarakat sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian, langkah penting yang harus dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan daerah untuk menuju kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang adil dan seimbang adalah dengan memenuhi kesempatan bekerja dan berusaha secara optimal dengan memberdayakan usaha besar dan kecil serta usaha mikro dan kecil dalam sebuah kondisi pasar yang sehat dalam sebuah kemitraan terpadu.
Alternatif kemitraan dalam pemberdayaan kelompok usaha mikro dan kecil bukan dimaksudkan untuk memanjakan atau pemihakan yang berlebihan, tetapi justru upaya untuk peningkatan kemandirian pelaku usaha mikro dan kecil sebagai pilar dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Pembentukan kemitraan harus diawali di antara para pelaku usaha mikro sebagai anggota kelompok dengan pola tanggung renteng agar tercipta rasa kebersamaan di antara mereka dan rasa tanggung jawab sosial. Hal itu akan menumbuhkan semangat pada masing-masing pelaku usaha mikro dan merasa bahwa jika salah satu dari mereka tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka tindakan mereka akan merugikan anggota kelompok yang lain. Di samping itu menjadi sebuah metode pengawasan melekat di antara anggota kelompok sendiri untuk bersama-sama tidak melakukan hal-hal yang akan merugikan mereka sendiri.
Satu kelompok pelaku usaha mikro dapat beranggotakan 10-20 pelaku usaha dengan lokasi tempat tinggal yang tidak berjauhan satu dengan yang lainnya. Agar kelompok terorganisir sebagai sebuah jamaah yang baik, maka perlu diangkat pemimpin, sebagai imam, di antara mereka. Pimpinan dipilih dari anggota kelompok yang terkemuka dan menjadi tauladan di tingkat komunitasnya.
Pembentukan kelompok dengan pola tanggung renteng diharapkan bisa membawa kesadaran seorang individu pelaku usaha mikro dan atau kecil akan keterbatasan dirinya kepada kemanfaatan atas kerjasama antar satu individu dengan individu. Hal ini terjadi karena mereka di satu sisi menanggung bersama sebuah resiko, tetapi di sisi yang lain dapat mengembangkan kemampuan dan keunikannya masing-masing. Dalam metoda tanggung renteng, komunalisme ditransformasikan menjadi kerja tim dengan kesadaran individual yang tinggi serta kesadaran saling membantu yang tinggi pula. Bukan semata-mata, sama rata dan sama rasa seperti sistem sosialisme.
Dengan membentuk kelompok pelaku usaha mikro dan kecil dalam metoda tanggung renteng, mengandung arti telah ikut memproses transformasi sosial kultural dari masyarakat komunal menuju masyarakat individual yang berfungsi sosial, dalam arti memiliki tanggung jawab sosial yang signifikan. Sebagaimana dalam sebuah jamaah sholat, nilai utama yang diperoleh bukan hanya atas kelompok jamaah saja, tetapi setiap individu jamaah juga mendapat nilai lebih jika mereka melakukan seorang diri. Dengan demikian, tanggung renteng dimaksudkan dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan mewujudkan masyarakat sejahtera lahir bathin berlandaskan iman taqwa yang tidak lepas dari paradigma pembangunan ekonomi dengan menekankan kebersamaan yang bersandarkan pada kemanusiaan. 
Manfaat pembentukan kelompok pelaku usaha mikro dan kecil dengan metoda tanggung renteng dalam Program Kemitraan dan bagi pribadi pelaku usaha tersebut adalah bagi kepentingan pembangunan ekonomi makro adalah: Pertama, Mengembangkan peran pelaku usaha mikro dan kecil sebagai salah satu pilar ekonomi daerah secara lebih cepat; Kedua, Menciptakan rasa tanggung jawab bersama di antara pelaku usaha; Ketiga, Mengamankan dana investor walaupun para pelaku secara pribadi tidak mempunyai kolateral (jaminan) dan terjaminnya keberlangsungan pemupukan modal di masa berikutnya; Keempat, Menciptakan kader pimpinan di antara para pelaku usaha; Kelima, Menumbuhkan rasa memiliki dan disiplin; Keenam, Menciptakan pelaku usaha yang tangguh dan berkualitas; Ketujuh, Biaya untuk melakukan analisis pembiayaan bagi lembaga keuangan akan menjadi lebih murah.
Di samping manfaat kepada pembagunan makro ekonomi, pembangunan usaha mikro secara berjamaah juga memberikan manfaat bagi pribadi pelaku usaha mikro dan kecil sebagai berikut: Pertama, Menciptakan rasa kebersamaan dan keterbukaan, sehingga melahirkan rasa kekeluargaan; Kedua Menciptakan keberanian mengungkapkan pendapat, mengoreksi pimpinan, belajar demokrasi, dan kontrol otomatis; Ketiga, Menanamkan disiplin, tanggungjawab, rasa percaya diri, dan harga diri pelaku usaha mikro dan kecil; Keempat, Mempersiapkan pelaku menjadi pemimpin di masa depan; Kelima, Menumbuhkan rasa memiliki dan disiplin; Keenam, Seluruh pelaku usaha dalam satu kelompok akan memperoleh layanan yang standar; Ketujuh, Biaya analisis kredit yang lebih rendah dari lembaga keuangan akan dapat menekan biaya produksi, sehingga memberi peluang untuk memperoleh labah usaha yang lebih besar bagi pelaku usaha.
Perlu diingat, bahwa kelompok pelaku usaha ini bukan berbentuk Koperasi, melainkan merupakan Kelompok Swadaya Masyarakat. Para anggota beberapa kelompok, dapat mendirikan Badan Hukum Koperasi jika jumlah anggota melebihi 20 orang dan asset yang dimiliki telah mencapai kriteria tertentu yang disyaratkan oleh perundang-undangan dan peraturan perkoperasian. Koperasi ini nantinya dapat berfungsi sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang berbentuk KBMT (Koperasi Baitul Mal wat Tamwil) atau KSP (Koperasi Simpan Pinjam) Syariah. Dengan demikian BMT yang belum mempunyai badan hukum (Koperasi), para anggotanya dihimpun dalam kelompok-kelompok pelaku usaha mikro dan kecil dengan jumlah anggota maksimum 20 orang per kelompok.

Penulis:  MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Senin, 17 Desember 2012

Universal Banking & Perbankan Syariah



Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)



Sejak tahun 1970-an, perbankan syariah telah muncul sebagai suatu kenyataan yang baru di dunia keuangan internasional. bank syariah modern untuk pertama kali didirikan di Dubai dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1973. Kemudian bank syariah berkembang di berbagai negara, bahkan hingga ke negara-negara yang berpenduduk mayoritas non Muslim, seperti di Denmark, Luxembourg, Switzerland, United Kingdom, dan Amerika Serikat.

Tujuan utama menegakkan perbankan islam di seluruh dunia adalah untuk mempromosikan, memelihara, dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam di dalam sektor bisnis. Secara lebih khusus, tujuan bank islam dilihat dari konteks peran dalam perekonomian adalah:
-         menerapkan jasa keuangan kontemporer yang disesuaikan dengan Syariah islam;
-         berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran dengan prinsip-prinsip hukum islam;
-         alokasi sumber daya keuangan yang terbatas ke dalam proyek yang lebih menguntungkan dan bermanfaat untuk perekonomian;
-         membantu melindungi keseimbangan distribusi pendapatan dan sumber daya.

Oleh karena bank syariah dapat melayani siapa saja, muslim maupun non muslim, maka jasa-jasa perbankan syariah telah dilihat oleh bank-bank internasional sebagai alternatif pembiayaan bagi dunia usaha. Hal ini dilakukan misalnya oleh Citicorp, Chase Manhattan Bank, ANZ Bank, Commersbank G, Deutsche Bank AG, HSBC, Bankers Trust, JP Morgan, Goldman Sachs, dan lainnya. Sedangkan di Indonesia sendiri, bank syariah baru berdiri pada tahun 1992. Hingga tahun 1998, hanya satu bank syariah beroperasi di Indonesia. Setelah keluarnya Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 yang merubah Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dan mengakomodir peraturan tentang bank syariah, barulah lahir sank syariah lain dan berkembang dengan pesat. Dan, semakin kuat dengan lahirnya UU Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008.
Sementara itu, di beberapa negara Eropa berkembang suatu sistem perbankan yang dikenal sebagai Universal Banking. Universal Banking adalah suatu system perbankan di yang bukan hanya memberikan pinjaman, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penjamin hutang perusahaan dan atau menjadi pemegang saham (pemodal) pada perusahaan sekuritas. Sebagai contoh, perbankan umum di Jerman, dapat menerima simpanan berjangka, meminjamkan uang, penjamin saham perusahaan, dan berperan sebagai penasihat investasi perusahaan besar. Dalam system Universal Banking, tidak ada pemisahaan antara perbankan komersial dengan perbankan investasi.

Universal Banking System memungkinkan bank untuk menggunakan informasi nasabah dengan lebih baik dan mengijinkan perbankan menjual lebih banyak servis di bawah satu atap seperti “Financial Supermaket”. Sisi negatif dari sistem ini, adalah adanya kemungkinan konsentrasi kekuatan ekonomi pada sejumlah kecil institusi bank besar yang memegang modal pada perusahaan yang juga berperan sebagai peminjam dana.

Dalam perkembangannya, sistem perbankan syariah dapat diterima oleh semua masyarakat keuangan internasional, bukan hanya yang beragama Islam, dan terus tumbuh dengan signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan nilai-nilai dalam operasional bank syariah terus berorientasi kepada etika bisnis yang sehat dan juga menawarkan jasa-jasa yang jauh lebih banyak daripada perbankan konvensional. Perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank. Oleh karena itu, system perbankan syariah berpeluang besar dikembangkan sebagai universal banking.

Selain di beberapa negara Eropa, universal banking system juga digunakan sebagi model bagi beberapa lembaga perbankan di Amerika. Namun terdapat perbedaan penerapan antara di Eropa dengan di Amerika. Secara umum, isu-isu  universal banking pada sistim perbankan di daratan Eropa. berkisar pada hal-hal sebagai berikut:
a.     Konsep universal banking dimana bank memegang kendali sepenuhnya posisi asset jangka pendek dan jangka panjang memungkinkan bank untuk mengurangi information asymmetries dan internalise risk. Namun pada sisi lain kondisi ini akan mendorong moral hazard akibat “pasar ganda” dimana pada saat terjadi krisis ekonomi, bank yang memiliki informasi lengkap akan segera meninggalkan pasar. Begitu kondisi nasabah memburuk bank bisa mensekuritisasi pembiayaannya dan menjual portfolionya.
b.     Penerapan universal banking juga akan mendorong beberapa problem moral hazard seperti; rendahnya return riil para deposan, tingginya return relatif yang mendorong bank dan nasabah untuk menciptakan misalokasi dana, tingginya biaya bank ketika moral hazard memburuk, bank terdorong untuk mengambil posisi penyertaan lebih besar.

Sementara itu, isu yang muncul pada penerapan konsep universal banking versi Amerika adalah ketidakmampuan bank untuk memenuhi harapan stakeholder. Pada mulanya, munculnya konglomerasi industri keuangan diharapkan akan menciptakan keuntungan yang signfikan; (1) tingginya tingkat efisiensi dan profitabilitas akibat semakin tingginya skala ekonomis, (2) peningkatan tingkat kesehatan bank akibat diversifikasi usaha (3) tingkat kepuasan nasabah semakin tinggi karena konsep one-stop shopping akan mengurangi biaya.

Pada kenyataannya kondisi perbankan di Amerika dan secara global memperlihatkan bahwa bank-bank besar dengan konsep universal banking secara umum gagal untuk mewujudkan improvement pada tingkat efisiensi, profitabilitas, value nasabah dan pemegang saham. Konglomerasi perbankan malah memperbesar systemic risk karena mereka terdorong untuk memasuki aktifitas dengan return dan risiko yang tinggi terkait dengan pasar modal. Pada akhirnya peningkatan risiko ini mendorong fenomena “too big to fail”.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa sistem perbankan syariah yang dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, berpeluang besar dikembangkan sebagai universal banking. Dengan demikian, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi perbankan Syariah pada konsep universal banking adalah konsistensi pemeliharaan dan pengembangan penerapan prinsip-prinsip Islam di dalam sektor bisnis. Prinsip-prinsip ekonomi islam yang harus dipertahankan bagi konsep universal banking adalah nilai keadilan, efisiensi, stabilitas, dan pertumbuhan.

Nilai keadilan dapat dirasakan dengan menggunakan sistem perbankan Syariah adalah sebagai berikut:
1.     Risiko usaha dibagi lebih adil antara pelaku usaha dengan pemilik modal;
2.     Mengganti pengembalian yang tetap dengan pembagian proporsional dari keuntungan yang akan menentukan pengembalian yang adil pada modal tanpa peduli apakah keuntungan usaha tinggi atau rendah dan tidak peduli pada tingkat harga yang dipengaruhi oleh inflasi, stabilitas dan deflasi;
3.     Kekayaan akan menghasilkan kekayaan kembali kepada pemilik ketika pekerjaan dalam aktivitas ekonomi pada akhirnya memberikan nilai tambah.

Nilai efisiensi yang harus dapat diperoleh dengan memanfaatkan perbankan syariah pada konsep universal banking adalah:
1.     Perbedaan dalam pembiayaan yang cenderung pada pembagian risiko modal, yakni dengan melakukan pembiayaan yang bermanfaat, namun tidak harus sangat produktif dalam menghasilkan laba;
2.     Pembagian hasil dan atau keuntungan disepakati secara adil antara pemberi dan pengguna modal, dengan keputusan akhir bersama untuk usaha;
3.     Menjaga hubungan sosial antara kelas yang berbeda pada pemberi dan pengguna modal.

Penggunaan prinsip non bunga akan menjadi faktor pendukung stabilitas, karena dapat mengurangi kecenderungan inflasi serta penciptaan uang yang tidak berhubungan dengan investasi produktif.

Memperhatikan bahwa Universal Banking adalah suatu sistem perbankan yang bukan hanya memberikan pinjaman, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penjamin hutang perusahaan dan atau menjadi pemegang saham (pemodal) pada perusahaan sekuritas, serta hal-hal yang berkaitan dalam ekonomi islami, yakni keberagaman jenis kerjasama serta tujuan nilai keadilan, efisiensi, stabilitas dan pertumbuhan, maka dapat disimpulkan bahwa sistem universal banking cocok diterapkan dengan sistem perbankan syariah. Penerapan nilai-nilai syariah diharapkan juga dapat meminimalkan permasalahan moral.dalam konsep universal banking secara global.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Kamis, 13 Desember 2012

Membangun Kesejahteraan Umat Melalui Koperasi Masjid






Pada abad 21 ini, banyak bangunan masjid baru, yang dibangun oleh masyarakat secara bersama-sama, ataupun organisasi-organisasi kemasyarakatan, serta oleh pemerintah sendiri. Bangunan masjid tersebut, banyak yang mempunyai arsitektur yang indah dan konstruksi yang sangat mahal. Namun, terkadang disayangkan, keindahan dan bahkan kemegaan bangunan masjid yang tersebar di berbagai penjuru negeri tidak menunjukkan tingkat kesejahteraan para jamaahnya, bahkan yang lebih ironis untuk biaya pemeliharaan masjid tersebut seringkali dilakukan dengan meminta-minta di pinggir jalan, sehingga menurunkan citra umat Islam secara keseluruhan.
            
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan kota lainnya terlihat fenomena yang menunjukkan sebagian masjid berfungsi, tidak hanya, sebagai tempat ibadah “ritual” semata. Beberapa masjid, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, tempat pemberdayaan ekonomi umat, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, keberadaan masjid memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat lingkungannya. Fungsi masjid yang seperti itu, perlu terus dikembangkan dengan pengelolaan yang baik dan teratur, sehingga dari masjid lahir insan-insan muslim yang berkualitas dan masyarakat yang sejahtera.

Masjid dapat dilibatkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masjid, sebenarnya, dapat berperan alami dalam kehidupan jamaah dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Peranan alami tersebut muncul melalui ajaran Islam, sebagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat, dengan mekanisme perubahan sosial dan peningkatan motivasi dalam berusaha. Dengan demikian, diharapkan, dapat mempercepat perubahan sosio-ekonomi di wilayah-wilayah masjid tersebut berada. Peningkatan kesejahteraan umat tersebut dapat dilakukan dengan membuat Koperasi yang beranggotakan jamaah dari masjid. Koperasi tersebut dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan berbasiskan kebutuhan pembangunan dan pemeliharaan masjid, serta penyediaan kebutuhan jamaah dan masyarakat di sekitar masjid tersebut.

Memperhatikan fungsi, peranan dan prinsip Koperasi pada UU Perkoperasian Nomor 17 tahun 2012, maka konsep-konsep Koperasi tidak jauh berbeda dengan tujuan yang ada pada Sistem Ekonomi Syariah. Namun perlu mendapat perhatian, bahwa dalam Islam, yang dimaksud dengan keadilan bukanlah pemerataan secara mutlak. Pengertian keadilan dalam Islam adalah keseimbangan antara individu dengan masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hal tersebut mengandung implikasi bahwa pembagian laba atau sisa hasil usaha harus merefleksikan kontribusi yang diberikan kepada Koperasi oleh anggota bukan hanya sekedar modal (financial) tetapi juga berupa modal keahlian, waktu, kemampuan manajemen, good will, dan kontrak usaha. Kerugian usaha juga harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut.

Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak sesuai dengan Syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan amanah.

Menurut Umer Chapra (1985), koperasi merupakan bentuk organisasi bisnis berorientasi kepada pelayanan yang dapat memberikan sumbangan yang kaya kepada realisasi sasaran-sasaran suatu perekonomian Islam. Dengan penekanan Islam pada persaudaraan, maka koperasi dalam berbagai bentuknya dalam memecahkan persoalan yang saling menguntungkan antara berbagai pihak, seharusnya mendapatkan penekanan yang besar dalam sebuah masyarakat Islam. Koperasi dapat menyumbangkan sejumlah pelayanan kepada para anggota, termasuk penyediaan keuangan berjangka pendek bila diperlukan melalui dana mutual, ekonomi penjualan dan pembelian dalam jumlah besar, pemeliharaan fasilitas, pelayanan bimbingan, bantuan atau pelatihan untuk memecahkan persoalan-persoalan manajemen dan teknik, dan asuransi mutual. Sesungguhnya, sulit melihat bagaimana suatu masyarakat Islam modern dapat secara efektif merealisasikan tujuan-tujuannya tanpa suatu peran yang dimainkan oleh Koperasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya, untuk memulai pendirian Koperasi yang beranggotakan jamaah masjid dan masyarakat di sekitar lingkungannya, namun tentu saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah ekonomi yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.

Hal-hal yang dilarang dalam bertransaksi dalam Ekonomi Syariah jika  dalam transaksi tersebut terdapat unsur-unsur:
1.     Tadlis (Penipuan), yaitu transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak;
2.  Taghrir (Ketidakpastian), yaitu transaksi pertukaran yang mengandung ketidakpastian bagi kedua pihak;
    3.     Bay ‘Najasy (Manipulasi Permintaan), yaitu upaya mengambil keuntungan   diatas keuntungan normal dengan menciptakan permintaan palsu;
4.  Ikhtikar (Manipulasi Penawaran), yaitu upaya mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit untuk harga yang lebih tinggi;
5.     Maysir (Perjudian), yaitu perbuatan yang dilakukan dengan mempertaruhan keuntungan semata-mata pada nasib tanpa suatu kepastian;
6.     Riba, yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil tanpa melalui sebuah transaksi yang dibenarkan.

Penambahan dalam sebuah transaksi, menurut muamalah Islam dapat dibenarkan asalkan diambil melalui suatu transaksi penyeimbang yang dibenarkan oleh Syariah, yakni melalui transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan tersebut secara adil, misalnya dengan transaksi jual-beli (murabahah, istishna, dan salam), sewa-menyewa (ijarah), atau bagi hasil suatu usaha (mudharabah dan musyarakah). Dalam transaksi jual-beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya, dan dalam sewa-menyewa, si penyewa membayar upah sewa karena ada manfaat sewa yang dinikmati termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa, sedangkan dalam usaha bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena turut menyertakan modal dan turut pula menanggung kemungkinan resiko kerugian yang timbul setiap saat.

Simpan-pinjam dana secara konvensional, menurut pandangan Syariah Islam adalah suatu transaksi yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut terjadi karena si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya factor penyeimbang yang diterima si penerima pinjaman kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman. Hal yang dinilai tidak adil adalah si penerima pinjaman diwajibkan selalu, tidak boleh tidak, harus, dan mutlak, serta pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Padahal kenyataannya uang (dana) tidak akan berkembang dengan sendirinya, tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.

Bentuk pinjam-meminjam dalam Ekonomi Syariah disebut dengan istilah Qardh yang artinya kepercayaan yang kemudian dikenal menjadi credo dalam Ekonomi Konvensional dan selanjutnya di Indonesia dikenal dengan istilah kredit. Qardh (pinjaman) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata lain merupakan transaksi pinjam-meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong, sehingga berbeda dengan jual-beli atau bagi hasil yang merupakan transaksi komersial.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada halangan untuk mendirikan sebuah badan usaha berbentuk Koperasi yang bertujuan menyejahterakan anggotanya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan Syariah. Sistem Ekonomi Syariah sudah sedemikian lengkap mengatur permasalahan ekonomi berikut skim-skim transaksi yang tersedia dalam berbagai macam jenis dan jauh lebih lengkap dibandingkan dengan Sistem Ekonomi Konvensional yang kita kenal saat ini. Perlu kita ingat bersama, bahwa Sistem Ekonomi Syariah sudah ada terlebih dahulu daripada sistem Konvensional yang kita kenal saat ini, sehingga adanya sebagian pendapat bahwa Ekonomi Syariah adalah Ekonomi Konvensional yang diberi kerudung dapat dipertanyakan kembali apakah bukan Sistem Ekonomi Konvensional (Sekuler) yang kita kenal saat ini merupakan Sistem Ekonomi Syariah yang sudah tidak memakai (menanggalkan) kerudungnya.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Surat Untuk Sahabatku...

13553937961359948409
Photo kenangan dengan sahabat-sahabat lama masa SMA 30 tahun yang lalu…


Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Sahabat baikku……..
Maafkan aku sedikit terlambat membalas email-mu, semoga kau dapat mengerti. Email ini telah kutulis tak lama setelah email-mu kubaca.. Namun aku takut kau tersinggung membacanya. Aku selalu menganggap kau adalah teman baikku di kala suka dan duka, meskipun kita tidak bisa selalu berkomunikasi sesering dahulu lagi karena jabatanmu sebagai orang terhormat saat ini. Aku takut kau tidak siap menerima email-ku, karena sebagaimana yang kau tahu bahwa kata-kataku seringkali terdengar keras. Begitulah selalu sikapku dari dulu (sebagaimana yang kau tahu) terhadap orang-orang yang aku sayangi……..

Sahabatku…
Sesungguhnya salah satu pintu masuk menuju kebahagiaan adalah ketika kita menjadi diri kita sendiri. Keyakinan kita dengan potensi, bakat, kekuatan dan karakteristik yang ada pada diri kita, membuat kita merasakan keistimewaan dan keunikan yang kita miliki. Ketika kita menjadi diri kita sendiri, maka kita akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

Sahabatku…..
Jika kau diminta untuk melakukan yang bukan keahlianmu, apalagi tidak sesuai dengan nuranimu, janganlah kau katakan pada mereka bahwa kau dapat melakukannya demi ambisimu. Keinginan kau memenuhi ambisimu justru akan melemahkan kedudukanmu. Mengapa? Karena hal itu jelas akan menghilangkan kelebihan yang ada dalam dirimu. Engkau hanya berkutat pada kekurangan yang ada pada dirimu. Dan jelas pada akhirnya akan melemahkanmu, membuat kau tidak bisa melangkah lebih jauh, dunia ini terasa sangat sempit. Jack Trout dalam bukunya yang cukup mencerahkan, Differentiatie or Die, berkata tentang hal ini: “Jika Anda mengabaikan keunikan Anda dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua orang, Anda langsung melemahkan apa yang membuat Anda ‘berbeda’.”

Sahabatku……
Jujurlah dan katakan pada mereka, “Maaf, ini bukan keahlian saya. Saya tidak tahu, apakah keahlian saya dapat digunakan untuk membantu atau tidak.” Ketika kau memberitahukan kepada mereka bahwa keahlianmu di bidang B bukan A, mereka akan lebih antusias kepadamu. Mereka akan lebih percaya, salut dan bangga denganmu. Percayalah kepadaku tentang hal ini. “Anda adalah sesuatu yang berbeda dengan lainnya. Tidak pernah ada sejarah yang mencatat orang seperti Anda sebelumnya dan tidak akan ada orang seperti Anda di dunia ini pada masa yang akan datang.” (Dr. Aidh Abdullah Al Qarni dalam bukunya, La Tahzan)

Wahai sahabatku…
Hal yang menyebabkan kita tidak ingin menjadi diri kita sendiri karena adanya keinginan kita untuk mendapatkan pujian manusia. Kita ingin menjadi populer di mata masyarakat. Sebuah hasil penelitian psikologi menyebutkan: orang-orang yang ingin menjadi popular seringkali tidak jujur. “Dan mereka sendiri senang dipuji dengan amal yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” (QS. 3: 188).

Sahabatku………….
Membuat diri terkenal, itu bukan tujuan hidup kita. Kita hanya disuruh berbuat sebaik mungkin. Jika niat kita sudah salah, maka hasilnya pun akan tidak maksimal. Jika niat kita ingin terkenal tidak segera terwujud, kita hanya bisa larut dalam kesedihan karena tujuan hidup kita sudah terkandaskan. Sedangkan tujuan itu sendiri adalah final kehidupan. Tidak ada lagi kehidupan sesudah gagal mencapai titik final.

Wahai sahabat baikku…….
Berbeda dengan orang yang menyesuaikan tujuan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah; kegagalan dalam menghadapi sebuah episode kehidupan dunia ini bukan berarti kegagalan segala-galanya. “Jangan berambisi mencari popularitas, karena tabiat tersebut adalah indikasi dari kekeruhan jiwa, kegelisahan, dan keresahan.” (Dr. Aidh Al Qarni).
Sahabatku yakinlah……
Seburuk apapun karya kita dan sekecil apa pun prestasi kita, hargailah itu! Semua itu kita peroleh dari hasil kerja keras kita, hasil kejeniusan otak kita, dan hasil kreativitas kita. Sungguh, alangkah berbahagianya orang yang mencari ridha hanya kepada Allah semata. Dia tidak ingin menjadi populer di mata masyarakat. Jika masyarakat tidak menghargai karyanya, itu hal biasa baginya. Karena Allah sendiri telah berfirman: “Kebanyakan manusia tiada mengetahui.” Artinya hanya sedikit saja manusia yang dapat memahami kebenaran. Namun, bukan berarti bahwa dirinya lebih hebat dan lebih suci dari orang lain. Dia telah mendengar firman Allah yang berbunyi: “Janganlah kalian mengklaim diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. 53: 32).

Sahabatku ketahuilah……
Jika masyarakat menghargai karyanya, sekali-kali tidaklah ia menyombongkan diri. “Dan janganlah kalian (orang-orang beriman) berperilaku seperti orang-orang (kafir) yang keluar dari kampung halaman mereka dengan rasa angkuh dan bersikap riya kepada manusia.” (QS. 8: 47).

Sebuah kisah menyebutkan, seorang muslim yang fakir bernama Julaibib gugur dalam sebuah pertempuran melawan pasukan kafirin. Lantas Rasulullah SAW pun memeriksa orang-orang yang gugur dan para sahabat memberitahukan kepada beliau nama-nama mereka. Akan tetapi, mereka lupa kepada Julaibib hingga namanya tidak disebutkan, karena Julaibib bukan seorang yang terpandang dan bukan pula orang yang terkenal. Sebaliknya, Rasulullah ingat Julaibib dan tidak melupakannya; namanya masih tetap diingat oleh beliau di antara nama-nama lainnya yang disebut-sebut. Beliau sama sekali tidak lupa kepadanya, lalu beliau bersabda: “tetapi aku merasa kehilangan Julaibib!” Akhirnya, beliau menemukan jenazahnya dalam keadaan tertutup pasir, lalu beliau membersihkan pasir dari wajahnya seraya bersabda sambil meneteskan airmata: “Ternyata engkau telah membunuh tujuh orang musuh, kemudian engkau sendiri terbunuh. Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu; Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu; Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu.” Cukuplah bagi Julaibib dengan medali nabawi ini sebagai hadiah, kehormatan, dan anugerah.

Wahai sahabat baikku…
Seperti Julaibib, tidak ingin menjadi orang terkenal dan terpandang. Seperti Julaibib, hidup menjadi dirinya sendiri. Seperti Julaibib, mengakhiri hidupnya dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan. Tidakkah kita ingin mendapatkan apa yang telah didapatkan Julaibib?

Wahai sahabatku….
Aku rasa jika kau dapat seperti Julaibib, maka insya Allah penyakit-penyakit yang bergantian menghampirimu akhir-akhir ini akan pergi bersama ambisimu. Jagalah kesehatanmu dengan mengurangi ambisimu. Ingatlah anak-anakmu masih membutuhkan bimbinganmu. Tidak inginkah engkau menyaksikan pertumbuhan anak-anakmu??? Apa kau ridho mereka tumbuh bersama “ayah” yang lain, tanpa kehadiran kau di sisi mereka. Sekali lagi, jagalah kesehatanmu dengan mengurangi ambisimu……..

Wassalam
Sahabatmu yang selalu memperhatikanmu di kala senang dan susah