Kamis, 28 Februari 2013

Memperkuat Usaha Mikro Dalam Kemitraan

Salah satu cara yang paling konstruktif dalam merealisasikan visi kesejahteraan lahir dan bathin bagi masyarakat yang sebagian masih berada di garis kemiskinan, adalah dengan menggunakan sumber daya manusia secara efisien dan produktif dengan suatu cara yang membuat setiap individu mampu mempergunakan kemampuan artistik dan kreatif yang dimiliki oleh setiap individu tersebut dalam merealisasikan kesejahteraan mereka masing-masing. Hal ini tidak akan dapat dicapai jika tingkat pengangguran dan semi pengangguran yang tinggi tetap berlangsung.
Salah satu instrumen kebijakan yang digunakan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan semi pengangguran adalah dengan ekspansi dan pendirian usaha-usaha berskala menengah dan besar yang padat modal. Hal itu menuntut Pemerintah Daerah, pada masa otonomi daerah saat ini, untuk memberikan kemudahan investasi bagi para investor, sehingga dapat menjadi lokomotif perekonomian daerah. Namun perlu disadari, bahwa perusahaan-perusahaan besar yang padat modal tidak mampu menyediakan banyak peluang kerja bagi angkatan kerja. Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah angkatan kerja lebih besar dari kapasitas perusahaan-perusahaan tersebut, serta kondisi pencari kerja yang tidak memiliki keahlian dalam menjalankan teknologi industri yang sedemikian kompleks. Dengan demikian, maka hal yang patut dilakukan adalah ekspansi peluang-peluang wirausaha dengan mengembangkan industri kecil dan mikro.
Pada saat ini, berkembang kesadaran bahwa strategi yang memilih industrialisasi modern skala besar yang padat modal pada periode yang lalu telah gagal memecahkan persoalan-persoalan kemiskinan dan pengangguran global. Dari beberapa studi yang dilakukan oleh para Ahli dari Michigan State University di beberapa negara menunjukkan adanya kontribusi besar yang dapat disumbangkan oleh industri kecil dan mikro pada lapangan kerja dan penghasilan (Chapra, 2000). Beberapa negara maju, seperti Italia, Jerman, dan Jepang, malah lebih dahulu menyadari potensi usaha mikro dan kecil dalam menciptakan lapangan kerja, serta memperkenalkan tindakan-tindakan untuk menggalakkan industri mikro dan kecil dengan konsep kemitraan dengan industri menengah dan besar (Perry, 1999).
Sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah, angka pencari kerja meningkat dari tahun ke tahun. Namun, pertambahan kesempatan kerja tidak meningkat dengan signifikan. Sehingga angka pengangguran terus bertambah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah, sebagai pemegang otonomi di daerah, seharusnya mampu membuat kebijakan yang dapat mengembangkan usaha skala mikro dan kecil di daerahnya, bukan hanya mengejar pendirian usaha-usaha berskala besar dan menengah. Dengan demikian, diharapkan, dapat memperluas kesempatan kerja dan peluang berwirausaha bagi seluruh masyarakat. Pendirian usaha mikro dan kecil yang padat karya akan membantu penyediaan lapangan kerja produktif bagi semua anggota masyarakat sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Upaya beberapa Pemerintah Daerah, saat ini, membuat kebijakan peningkatan upah minimum daerah bukanlah satu-satunya jalan bagi pengurangan kemiskinan. Karena, hal itu, seringkali menjadi kontra produktif bagi sebuah perusahaan atau industri, dengan alasan menambah ongkos produksi. Sedangkan, kesempatan berwirausaha jika dikelola dengan baik akan mempunyai potensi lebih besar dalam meningkatkan basis-basis asset individual daripada sekedar menerima upah sebagai pekerja.
Hal klasik yang selalu dipersoalkan mengapa pelaku usaha kecil dan mikro, tidak dapat berkembang adalah karena tidak tersedianya sumber dana sebagai modal guna menjalankan usahanya. Apabila dikaji secara mendalam, sebenarnya dana saja tidak cukup untuk mengembangkan sebuah usaha. Jika kita lihat sebelumnya, berapa banyak program bantuan dana berupa pinjaman yang dikucurkan pemerintah pusat untuk mengembangkan berbagai usaha sektor mikro dan kecil yang tidak membawa hasil tetapi malah membuat usaha yang telah berjalan menjadi gulung tikar. Kondisi tersebut terjadi karena ketidakmampuan pelaku usaha kecil dan mikro bersaing dalam mengembangkan usaha. Sehingga, akhirnya, pinjaman dana yang diperoleh malah menjadi beban yang memberatkan usaha yang telah dijalankan sebelumnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk kemitraan yang bertujuan agar para pelaku usaha mikro tidak terpinggirkan, tetapi dapat diberdayakan sebagai salah satu pilar pembangunan di berbagai daerah. Kemitraan tersebut dibangun dalam satu kondisi pasar yang sehat. Sebenarnya, pada masa lalu, telah banyak dibuat berbagai macam program kemitraan untuk mengembangkan usaha mikro guna mengentaskan kemiskinan. Namun sebagian besar program kemitraan itu tidak berumur panjang, yang bergema hanya pada saat pencanangan program dan kemudian menghilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Walaupun demikian, ada beberapa program kemitraan yang berumur cukup panjang dan dapat menjadi pelajaran dalam membuat program-program kemitraan sebagai upaya memberdayakan dan memperkuat usaha mikro dalam pembangunan sosial ekonomi di berbagai daerah.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Selasa, 26 Februari 2013

Indikator Kesejahteraan Dalam Kerangka Sosial Ekonomi Islami


Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Salah satu cara menguji realisasi tujuan-tujuan tersebut adalah dengan:
1.   melihat tingkat persamaan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua;
2.   terpenuhinya kesempatan untuk bekerja atau berusaha bagi semua masyarakat;
3.   terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan;
4.   stabilitas ekonomi yang dicapai tanpa tingkat inflasi yang tinggi;
5.   tidak tingginya penyusutan sumber daya ekonomi yang tidak dapat diperbaharui, atau ekosistem yang dapat membahayakan kehidupan.
Cara lain menguji realisasi tujuan kesejahteraan tersebut adalah dengan melihat perwujudan tingkat solidaritas keluarga dan sosial yang dicerminkan pada tingkat tanggungjawab bersama dalam masyarakat, khususnya terhadap anak-anak, usia lanjut, orang sakit dan cacat, fakir miskin, keluarga yang bermasalah, dan penangulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan sosial.

Berlandaskan Kerangka Dinamika Sosial Ekonomi Islami, suatu pemerintahan harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan dan keadilan melalui implementasi Syariah. Hal itu terwujud dalam pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Sebuah masyarakat bisa saja mencapai puncak kemakmuran dari segi materi, tetapi kejayaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama apabila lapisan moral individu dan sosial sangat lemah, terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial dan anomie masyarakat meningkat, serta pemerintah tidak dapat berperan sesuai dengan porsi dan sebagaimana mestinya.

Salah satu cara yang paling konstruktif dalam merealisasikan visi kesejahteraan lahir dan bathin bagi masyarakat yang sebagian masih berada di garis kemiskinan, adalah dengan menggunakan sumber daya manusia secara efisien dan produktif dengan suatu cara yang membuat setiap individu mampu mempergunakan kemampuan artistik dan kreatif yang dimiliki oleh setiap individu tersebut dalam merealisasikan kesejahteraan mereka masing-masing. Hal ini tidak akan dapat dicapai jika tingkat pengangguran dan semi pengangguran yang tinggi tetap berlangsung.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Rabu, 20 Februari 2013

Human Capital Berbasis Syariah Islam

Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani SDM yang handal harus dilakukan sebagai human capital.

Human capital, bukanlah  memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.

Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif,  dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana  yang  dikemukakan  dalam  Surah Al Ahqaaf  ayat 19,  Surah   Al Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.

Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (H.R. Tirmidzi). Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.

Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.

Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan SDM dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu capital bukan sebagai cost unit. Dengan demikian, penanganan SDM sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami.

Namun demikian, meskipun konsep sumber daya manusia sebagai human capital pada sebuah korporasi dianggap suatu hal yang positif dan merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi, sering kali dalam kenyataan di lapangan, hanya menjadi istilah yang tidak sesuai dengan idealitas. Seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi. 

Banyak korporasi sebagai organisasi saat ini, telah melupakan visi dan misinya yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang memiliki rasa kesetiaan. Kesetiaan usaha, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini dapat berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk. Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, dan pekerja hanya sebagai obyek sewa (outsourcing) tidak heran keresahan pekerja terhadap kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat.

Perusahaan tidak semestinya, memperlakukan pekerja sebagai obyek sewa demi menaikkan nilai tunai investasinya di mata pemegang saham. Mengorbankan kepentingan pekerja untuk menaikkan nilai saham di mata investor adalah sebuah tindakan yang tidak bijak.

Tindakan memperlakukan pekerja hanya sebagai obyek sewa merupakan pelemahan pembangunan loyalitas sumber daya manusia. Bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas akan dapat menjadi boomerang di masa depan. Rendahnya loyalitas sumber daya manusia akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. Sudah saatnya, kita kembali kepada ajaran yang diajarkan Islam tentang human capital dan tidak menjadikan pekerja hanya sebagai unit cost guna mencapai cita-cita mengembangkan pembangunan ekonomi bangsa yang mensejahterakan umat.

    
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili atau terkait dengan lembaga dan pihak manapun

13614267901288647548
Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan.

Kesetiaan & Kerentanan Profesi Pekerja di Era Ekonomi Baru

Joseph E. Stiglitz (2003), menyampaikan bahwa seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas hidup masyarakat. Apabila resesi yang terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output hanya naik 1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih besar dari output, maka pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan pengangguran.

Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas pada masa resesi, dalam jangka pendek, bisa jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja. Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.

Era “Ekonomi Baru” setelah tahun 1990 yang sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut merubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi.  Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan”. Di samping itu menahan pekerja yang ingin keluar dari perusahaan juga dianggap sebagai akan membuat “besar kepala” seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi “biarkan satu pekerjai anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan gaji yang lebih rendah menanti di meja manajer SDM anda”.

Kesetiaan usaha, baik kesetiaan dari pekerja kepada perusahaannya maupun dari perusahaan kepada pekerjanya, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk.

Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, tidak heran keresahan pekerja kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru. Ketidakpastian kerja, bukan hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja kantoran karena akibat kemajuan teknologi, perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau. Saat ini, yang harus dimiliki oleh seorang pekerja adalah “kemampuan bekerja seumur hidup” serta “belajar seumur hidup”. Kedua hal tersebut yang dapat memungkinkan seorang pekerja dapat pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Dari data yang ada (Stiglitz, 2003), terlihat bahwa mereka yang lebih terdidik akan lebih mudah berpindah pekerjaan, dan hanya sedikit yang mengalami penurunan pendapatan ketika kehilangan suatu pekerjaan dan cepat mendapat pekerjaan baru kembali.

Kondisi pekerja pada era ekonomi baru, saat ini, yang sangat mengandalkan teknologi komputer, mengingatkan kejadian yang sama pada abad 18-19 (El Fisgon, 2004), ketika para majikan memanfataatkan perubahan teknologi untuk mengurangi sebagian pekerja dan menurunkan gaji pekerja lainnya. Revolusi teknologi memungkinkan monopoli-monopoli besar menata ulang produksinya dan merestrukturisasi tenaga kerjanya pada skala global. Sebagai tambahan efisiensi, korporasi global dengan mudahnya merelokasi pabrik-pabrik mereka di mana saja yang upahnya paling murah. Hal ini membuat mereka mampu menekan upah pekerja sedunia dan merontokkan serikat-serikat pekerja serta meluncurkan aksi global baru yang berupaya menggugurkan segenap pencapaian gerakan buruh pada masa revolusi industri. Hak-hak buruh yang berusaha digugurkan pada era ekonomi baru ini antara lain adalah bekerja delapan jam sehari, upah minimum, dan tunjangan kesehatan, serta dana pensiun. Dengan demikian pemenuhan kesejahteraan pekerja malah menjauh akibat globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini.

Seiring perubahan gaya perekonomian, yang semakin konsumtif, membuat profesi pekerja yang selama ini sangat jarang menjadi debitur perbankan mulai menjadi obyek penyaluran kredit bank-bank. Saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Kaum pekerja terlibat pinjam meminjam dengan pihak bank, bukan hanya sekedar untuk pembiayaan investasi pokok seperti rumah dan mobil, namun sebagian telah terjerumus dalam perlombaan meraih mimpi-mimpi konsumerisme sebagai seorang modernist yang tiada garis akhir.

Seorang kolumnis, Ellen Goodman (dalam Korten, 1999), menggambarkan bagaimana tingkah laku orang-orang (pekerja) yang dianggap normal saat ini. Mereka memakai pakaian yang dibeli untuk bekerja dan berkendaraan melalui jalanan dengan mobil kreditan guna mencapai tempat pekerjaan yang dibutuhkan. Dengan pekerjaan tersebut, mereka dapat membayar pakaian, mobil, dan rumah yang dibiarkan kosong sepanjang hari, agar dapat tinggal di dalam rumah tersebut. Mereka memiliki kartu kredit lebih dari satu dan menggunakan semuanya. Untuk membayar tagihan dan mendapatkan kepentingan yang konvensional, mereka menjadi semakin terperosok ke dalam tekanan karir pada korporasi tempat mereka bekerja. Semakin banyak yang mereka peroleh, maka semakin banyak pula yang mereka belanjakan, dan semakin keras pula mereka harus bekerja untuk  membayar semua itu.

Permasalahan penting yang membayangi pinjaman yang diperoleh oleh para pekerja dari lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiliglitz, suku bunga tinggi sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada tiga hitungan, yaitu:
1.   Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
2.   Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
3.   Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.
Dengan demikian, risiko yang sangat besar, setiap saat, menghadang di depan para pekerja yang mendapatkan pinjaman yang sewaktu-waktu harus membayar lebih dari yang semula direncanakan, sedangkan penghasilan belum tentu bertambah atau bahkan mungkin hilang.

Di sisi lain, sejalan dengan munculnya era ekonomi baru pada tahun 1990-an, kebanyakan mahasiswa-mahasiswa terbaik memasuki fakultas-fakultas yang berkaitan dengan bisnis dan teknologi informasi. Siswa-siswa unggulan tidak tertarik mengabdi pada sosial masyarakat, tetapi tertarik kepada pesona korporat dengan imbalan materi yang berlimpah. Bidang pekerjaan yang menarik adalah pekerjaan-pekerjaan yang mempertaruhkan uang yang berlimpah. Akan tetapi akibat lain yang harus diterima, adalah seorang yang ahli dalam satu teknologi langsung menjadi usang begitu teknologi tersebut dilampaui oleh teknologi lainnya, sehingga pada usia 35 tahun seorang pekerja sudah masuk “kotak” jika dia belum mendapat posisi manajemen senior pada perusahaan tempatnya bekerja.

Fenomena di atas dapat kita saksikan pada iklan-iklan lowongan pekerjaan saat ini. Lowongan untuk staff pemula bagi seorang lulusan perguruan tinggi (sarjana), dibatasi pada usia 25 tahun, dan lowongan manager dibatasi pada usia 35 tahun. Sehingga pekerja-pekerja yang mempunyai pendidikan tinggi standard namun belum mempunyai posisi yang “kuat” pada suatu perusahaan harus bersiap untuk masuk “kotak” atau malah kehilangan pekerjaannya karena terjadinya perampingan organisasi perusahaan jika tidak  selalu “belajar seumur hidup”.

Berubahnya perekonomian tahun 1990-an juga memaksa pekerja menanggung risiko jauh lebih besar dari era ekonomi sebelumnya. Risiko yang mereka tanggung bukan hanya saat mereka bekerja tetapi juga pada saat pensiun. Para pekerja mengandalkan program dana pensiun untuk meningkatkan penghasilan mereka pada masa pensiun nanti. Dalam mengelola dana pensiun, agar mendapatkan hasil yang maksimal, lembaga dana pensiun mempertaruhkan dananya pada saham di pasar modal. Namun, seringkali mereka tidak sadar, bahwa  gelembung saham membuat laba menjadi tampak lebih besar dan membuat gelembung itu sendiri menjadi kian besar lagi. Dengan demikian, sebenarnya semua itu hanya sebuah fatamorgana yang tidak disadari bahwa akan dapat meletus pada suatu saat.

Anjloknya bursa saham, akan menyebabkan lembaga dana pensiun yang menempatkan dananya pada bursa saham akan langsung kekurangan dananya. Kondisi ini pada akhirnya akan berakibat kepada buruk bagi pekerja yang memiliki dana pensiun tersebut, yang tadinya diinvestasikan untuk persiapan penunjang kehidupan mereka di kala sudah tidak dapat bekerja lagi.

Dari uraian di atas, dapat kita tangkap bahwa pada era ekonomi baru, kebanyakan pekerja tidak lagi bekerja untuk satu majikan seumur hidupnya, tetapi berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Derasnya perubahan ini akan membuat perusahaan akan jatuh bangun dan lapangan kerja akan terstrukturisasi dengan cepat. Dengan demikian, cara berpikir tentang bentuk-bentuk tradisional mengenai “kepastian kerja” berubah menjadi  “kemampuan bekerja” yang harus dibarengi dengan “belajar seumur hidup” agar tidak cepat tersisih dan masuk kotak dalam dunia kerja. Akhirnya, perlu pula dipahami bahwa pada era ekonomi baru, bagaimanapun juga posisi kaum pekerja berada dalam posisi yang relatif kalah dibandingkan majikan mereka. Hal ini, harus menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan (majikan) tidak mengeksploitir asimetri kekuatan tersebut. 


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 13 Februari 2013

Etika Moral Berbasis Keagamaan & Krisis Ekonomi



Permasalahan krisis yang melanda ekonomi dunia belakangan ini, bukan hanya diakibatkan sistem kapitalisme yang diragukan kemampuannya dalam mewujudkan kesejahteraan dunia, tetapi juga diakibatkan oleh  berubahnya etika moral para pelaku dunia keuangan. Kerusakan yang timbul karena berubahnya etika moral mereka, bukan hanya mengenai lingkungan mereka saja, tetapi mempunyai dampak yang besar pada transformasi lembaga keuangan terhadap fungsi perekonomian secara umum.

Untuk menjalankan bursa saham yang dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan informasi akurat mengenai nilai suatu perusahaan agar investor bisa membayar harga yang tepat pada saham yang akan dimilikinya. Akan tetapi, karena perubahan etika moral, para pelaku dunia keuangan, berani, mengaburkan persoalan-persoalan inheren perusahaan yang mereka bawa ke pasar atau yang mereka bantu penjualan sahamnya demi menambah modal  perusahaan. Dengan demikian, mereka telah ikut menurunkan kualitas informasi. Dalam banyak kasus, mereka mengetahui kondisi riil perusahaan yang mereka tangani, tetapi publik tidak mengetahuinya. Hal itu, menyebabkan keyakinan publik terhadap pasar menjadi turun, dan saat informasi yang benar terkuak, harga-harga saham menjadi terhempas tajam.

Demikian pula dalam sosioekonomi dan politik, etika moral berlandaskan agama  dijauhkan. Akibatnya masyarakat lepas dari mekanisme filter yang secara sosial disepakati. Kepentingan diri sendiri, harga, dan keuntungan menggantikan posisi etika moral sebagai kriteria utama bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk menstabilkan permintaan dan penawaran agregat. Meskipun nurani fitrah individu yang tertanam dalam lubuk kesadarannya masih tersisa sebagai mekanisme filter pada tingkat individual, tetapi hal itu tidak memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai mekanisme filter yang diperlukan untuk menciptakan suatu keharmonisan antara kepentingan diri individu dan kepentingan masyarakat.

Akibat penolakan penggunaan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, dan makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama, menyebabkan perwujudan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan hanyalah sebuah impian. Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkannya. Tidak ada contoh signifikan dalam sejarah yang menemukan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral, tanpa bantuan agama. 

Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada Tuhannya. Menurut Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk kepentingan manusia.

Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya ingin mendirikan suatu pasar yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim sebagaimana nilai-nilai utama yang diberikan Allah kepada umat manusia berdasarkan Al Qur’an Surah al-Anbiyaa ayat 107. Berbeda dengan pasar yang islami, menurut Qardhawi (1994), pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.

Kesejahteraan masyarakat akan dicapai jika suatu sistem pasar yang sehat dapat tercipta. Pasar yang sehat akan menciptakan suatu sistem ekonomi yang mampu memberikan pendapatan modal yang adil dan cukup, pekerjaan bagi semua orang dengan gaji yang memadai untuk hidup layak, dan alokasi optimal secara sosial dari sumber-sumber produktif masyarakat. Tantangan yang dihadapi untuk mencapai kondisi di atas adalah menciptakan suatu peraturan kerangka kerja yang sejauh mungkin dapat menciptakan sistem pasar yang sehat. Menurut Korten, kapitalisme telah merusak teori pasar sampai tidak dikenal lagi, demi untuk mengabsahkan sebuah ideologi yang mengabdi kepada kepentingan sebuah kelas yang sempit. Kaki tangan kapitalisme dengan kedok pasar dengan bersemangat seolah-olah mengajukan kebijakan-kebijakan publik yang nantinya justru akan menciptakan kondisi yang amat bertolak belakang dengan hal-hal yang diperlukan untuk dapat berfungsi secara sosial. 

Kaum kapitalisme telah berhasil menciptakan kapitalisme uang yang membuat pemilik modal menjadi terpisah dari penggunaannya untuk produksi. Hal itu terjadi akibat beralihnya kekuasaan dari kalangan pengusaha, investor dan kaum industrialis yang benar-benar terlibat dalam aktivitas produktif, kepada pemilik uang dan rentenir yang hanya hidup dari pendapatan yang diperoleh dari asset pemilikan keuangan dan asset-asset lainnya. Pemilik modal dan pasar uang menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari perdagangan praktis. Mereka mengharapkan hasil-hasil yang diperoleh dari tabungan yang semakin menumpuk, namun menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya. Mekanisme yang digunakan kapitalisme uang global untuk membuat uang dengan uang, tanpa keharusan ikut terlibat dalam aktivitas yang produktif, telah memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tuntutan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antar investasi yang produktif dan yang ekstraktif tampaknya merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya.

Perwujudan kapitalisme uang telah menimbulkan ”kegairahan irasional” sebagaimana yang disampaikan oleh Alan Greenspan (Mantan Gubernur Bank Sentral Amerika) dalam bukunya. Joseph E. Stiglitz (2003) menyatakan ”kegairahan irasional” akan berdampak besar terhadap terjadinya pengelembungan ekonomi. Gelembung perekonomian senantiasa berbahaya, karena apabila meletus akan menimbulkan kerusakan sesudahnya. Biaya yang ditimbulkan oleh gelembung perekonomian mempunyai cakupan yang sangat besar, bukan hanya dikeluarkan pada selama masa gelembung terjadi, tetapi lebih banyak lagi yang harus dikeluarkan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan pada saat gelembung tersebut meletus.

Sistem ekonomi yang tidak disertai etika moral keagamaan telah menyebabkan krisis yang tiada habisnya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu kondisi ideal, dimensi moral harus dikembalikan dalam sebuah sistem ekonomi yang berlaku, meskipun hal itu saja tidak cukup. Kurangnya ceramah ruhani bukan penyebab utama kerusakan moral, ketiadaan keadilan dan kesejahteraan umum di dunia saat ini (Chapra, 2001). Kutbah dan ceramah ruhani telah cukup banyak dilakukan, namun diperlukan pula penciptaan suatu lingkungan yang sesuai dan strategi untuk mewujudkannya. Lingkungan yang ideal akan dapat dicapai apabila setiap orang baik sebagai anggota masyarakat atau dunia usaha, maupun sebagai bagian dari organisasi pemerintahan rela mengorbankan kepentingan pribadi demi memenuhi kemaslahatan sosial di lingkungan keluarga, dalam dunia usaha, hidup bermasyarakat, atau di dalam bidang pemerintahan. Selama maksimalisasi kekayaan dan konsumsi adalah satu-satunya tujuan, maka pengorbanan itu menjadi kehilangan arti.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Selasa, 12 Februari 2013

Continuous Improvement Islami

 



Continuous Improvement (CI) merupakan sebuah filosofi dasar mengenai bagaimana mencapai standar kualitas yang optimal melalui beberapa langkah perbaikan yang sistematis dan dilaksanakan secara berkesinambungan. CI lebih menekankan pada beberapa tindakan perbaikan yang sederhana namun dilakukan secara terus menerus yang kemudian akan menumbuhkan banyak ide atau inovasi sebagai sebuah solusi atas masalah yang timbul. Tindakan tersebut tidak hanya dilakukan untuk satu tahun atau merupakan aktivitas bulanan, melainkan secara berkesinambungan dan dilakukan oleh setiap pribadi dalam organisasi mulai dari manajemen puncak hingga ke pegawai dasar. Sebagai contoh di perusahaan Jepang, seperti Toyota dan Canon, setiap pegawai memberikan 60-70 saran perbaikan yang ditulis, kemudian dipresentasikan serta didiskusikan, dan kemudian diimplementasikan.

Filosofi Continuous Improvement merupakan transformasi dari konsep “Kaizen”, yang memperbaiki setiap kesalahan yang muncul dalam proses produksi secara bertahap dan dimulai dengan memperbaiki kesalahan yang besar hingga ke yang kecil sampai tidak ditemukan lagi kesalahan dalam proses produksi (zero defect).

Ajaran Islam juga mengenal konsep Continuous Improvement. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa “… Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. …” (Surah Ar Ra’d/13:11). Hadist Rasulullah juga menyebutkan bahwa jika kondisi hari ini sama dengan kemarin merupakan sebuah kerugian dan jika kondisinya lebih buruk maka merupakan sebuah kecelakaan. Di samping itu, Rasulullah mengajarkan pula bahwa “sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit” (hadist riwayat Tirmidzi). Hadist tersebut mengajarkan bahwa suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan secara musimam dan tidak professional. Dengan demikian semangat Continuous Improvement sangat didorong dalam ajaran Islam. 

Konsep Continuous Improvement dapat diterapkan pada setiap jenis perusahaan, termasuk Lembaga Keuangan Syariah. Keuntungan penerapan Continuous Improvement adalah akan terbentuknya paradigma process oriented thinking dan tumbuhnya budaya inovasi dalam perusahaan. Beberapa penghalang penerapan Continuous Improvement dalam sebuah perusahaan adalah adanya proses pekerjaan yang belum sempurna, pengetahuan dalam lingkungan kerja yang tidak dibagi atu didistribusikan, lebih focus kepada teknologi dibandingkan dengan kebutuhan atau kemampuan pemakai dalam bekerja.

Untuk menerapkan Continuous Improvement perlu ditempuh empat tahap dasar, yaitu:
  1. Perusahaan harus mampu mendefinisikan proses manajemen yang bermanfaat dan berguna yang bukan hanya generic, melainkan juga mampu menjelaskan aliran pekerjaan yang jelas, deskripsi kerja langkah demi langkah, pedoman & identifikasi yang jelas, sumberdaya, informasi, metode yang akan digunakan, dan mekanisme saling membantu satu sama lain;
  2. perlunya persamaan persepsi antara Unit IT dan Unit Pengguna dengan berkolaborasi dalam menentukan teknologi yang bukan hanya mutakhir namun juga dapat diadopsi oleh unit pengguna;
  3. menggunakan sumber daya yang sudah ada dalam organisasi dengan mengekplorasi lebih dalam dan membagi pengetahuan tersebut kepada seluruh personal;
  4. memaafkan kesalahan manusia karena dapat ditingkatkan melalui manajemen, coaching, training, dan pengalaman yang berkesinambungan dalam dunia kerja.

Setelah keempat tahap dasar tersebut dilalui, maka proses Continuous Improvement dapat diterapkan dengan baik sehingga tidak ditemukan lagi kesalahan (zero defect) dalam proses produksi. Dengan demikian mengharapkan suatu hasil tanpa kesalahan (zero defect) tanpa melalui proses Continuous Improvement hanya akan menjadi angan-angan. Penerapan Continuous Improvement secara umum, akan bermanfaat untuk menurunkan biaya dan meningkatkan kinerja yang dimungkinkan dalam suatu penciptaan lingkungan kerja yang lebih baik.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Selasa, 05 Februari 2013

Pembajakan Account Yahoo & Facebook Untuk Menipu Mutual Friend

Assalaamu'alaikum. Wr. Wb.

Bapak/Ibu, sahabat dan saudaraku sekalian yang saya sayangi dan hormati.
Pada hari Senin, tgl. 4 Januari 2013, Yahoo saya dibajak dan di-determinated oleh orang yang tidak bertanggungjawab, kemudian pembajak menyusup ke account Facebook saya dan menguasai account tersebut. Sang hacker (pembajak) menghapus semua kontak "family" yg ada di account Facebook saya tersebut, sehingga keluarga saya pun tidak bisa akses untuk menyelamatkan account tersebut dari penyalahgunaan sang hacker.

Sang hacker lalu mencoba menyapa satu persatu mutual friend list saya. Sang hacker atas nama saya menyatakan bahwa saya sedang dalam perjalanan di Palembang dan mobil saya mengalami pecah ban, sementara pulsa habis dan tak bisa mendapatkan pulsa. Kemudian setelah terjadi chatting, sang hacker meminta transfer pulsa sebesar Rp 100.000,-. Sebagian calon korban langsung konfirmasi menelepon atau BBM saya. Begitu tahu saya tidak di Palembang, tapi ada di Kantor Pusat Jakarta, mereka lega dan tak mengirimkan apa yg diminta sang hacker. Namun ada beberapa sahabat yg segera merespon permintaan tersebut dengan langsung mentransfer pulsa yg diminta sang hacker. Begitu korban memenuhi permintaan tersebut, sang hacker meminta lagi transfer pulsa untuk HP rekannya. Sang hacker atas nama saya meminta nomor rekening korban dengan janji akan mentransfer kembali dana yg telah digunakan untuk mentransfer pulsa ke HP sang hacker.
Kepada para korban sang hacker yang menggunakan account Facebook saya (a.n Merza Gamal) saya mohon maaf telah ikut menjadi korban atas pembajakan account Yahoo & FB saya. Semoga kebaikan sahabat dan saudaraku akan dibalas oleh Allah, dan semoga pula sang hacker segera diberi hidayah oleh Allah, Tuhan Sang Maha Kuasa, serta pihak berwajib segera dapat meringkus sang hacker.

Sang hacker menggunakan beberapa HP untuk melancarkan aksinya. Adapun nomor-nomor HP yg terdeteksi adalah sbb:
+085206329734
+082361755694
+082361755695
+082361755699
+081265523356

Saya menghimbau semua sahabat & saudaraku  untuk berhati-hati dengan modus penipuan yg dilakukan oleh para hacker. Bisa jadi mereka masih berkeliaran mencari mangsa merusak sistem account web kita dan mencari keuntungan ilegal kepada para friend list yang ada di masing-masing account.

Saat ini account Facebook telah dapat saya kuasai kembali berkat bantuan sahabat-sahabat yang baik hati, namun account Yahoo saya sampai saat ini masih determinated. Saya sudah berungkali melaporkannya ke pihak Yahoo, tapi belum juga ditanggapi. Semoga tidak ada lagi korban dari hacker yg membajak account saya tersebut.

Wassalam
Merza Gamal

1360117471957027747
Hacker membajak account Yahoo saya lalu men-determinated Yahoo saya dan masuk ke account Facebook saya dan mengubah email dari merzagamal@yahoo.com menjadi merzagamal037@facebook.com.

13601324931808785132
Hacker mengajak chatting seorang sahabat yang ada dalam mutual friend list FB saya. Begitu dilayani sang hacker melaksanakan aksi penipuannya pura-pura meminta bantuan dan ujung-ujungnya minta transfer.
1360132655703184253
Seorang sahabat membantu masuk ke dalam account FB saya yang dibajak, lalu mengumumkan bahwa FB saya dibajak dan menghimbau para friend list jangan menanggapi permintaan sang hacker. Sang hacker bertindak cepat langsung menghapus sahabat tersebut dari mutual friend.