Senin, 18 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-8)


Identifikasi Kelemahan Kemitraan di Masa Lampau

Sebagaimana yang telah dipaparkan di bagian-bagian tulisan sebelumnya, bahwa sejak era pemerintahan orde baru telah banyak bentuk kemitraan yang dijalankan. Namun dari ratusan program kemitraan yang pernah dicanangkan, hanya sedikit yang berumur panjang, dan hampir-hampir tidak ada yan berkesinambungan. Di samping itu antara satu program dengan program yang lain berdiri sendiri-sendiri tidak dalam suatu koordinasi yang dapat menjadi sebuah keterpaduan program yang dapat memperkuat fondasi pembangunan yang kuat.
Beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kelemahan system kemitraan yang telah dilakukan di masa lampau, dapat dipaparkan secara singkat di bawah ini, sebagai berikut:
(1) kemitraan program pembiayaan dari pemerintah melalui perbankan kepada pelaku usaha mikro dan kecil banyak mendapat campur tangan dalam operasional oleh pihak pemerintah selaku pemilik program;
(2) kemitraan yang disertai pemberian kredit bersubsidi justru menjadi salah satu faktor kegagalan pembiayaan pada pelaku usaha mikro dan kecil, karena dana kredit tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha melainkan diinvestasikan atau dimanfaatkan dalam bentuk lain, bahkan lebih dinikmati oleh orang kaya dari pada pelaku usaha mikro yang seharusnya mendapatkan pembiaayaan usaha;
(3) kemitraan yang terbentuk antara pengusaha menengah dan besar dengan pelaku usaha mikro dan kecil tidak didasarkan prinsip saling membutuhkan, misalnya BUMN Pertamina membentuk kemitraan dengan usaha kerajinan, sehingga masing-masing tidak memiliki ikatan usaha yang dapat menumbuhkan hubungan saling membutuhkan;
(4) kemitraan yang terbentuk tidak disertai dengan prinsip keadilan distribusi nilai tambah dalam suatu sistem komoditas, misalnya pada kemitraan PIR kelapa sawit nilai tambah yang tercipta dalam sistem komoditas kelapa sawit diambil oleh industri pengolahan sedangkan petani hanya menikmati bagian nilai tambah yang sangat kecil;
(5) kemitraan yang terbentuk tidak disertai dengan prinsip transfer pengetahuan dan pengalaman sehingga tidak tercipta suatu sistem pembinaan dan pengalaman;
(6) kemitraan yang terbentuk tidak didasarkan pada prinsip bisnis, tetapi lebih terpaksa kepada memenuhi kewajiban yang digariskan oleh pemerintah;
(7) kemitraan yang terbentuk seringkali hanya sekedar sebatas rencana dan MOU, tetapi dalam tahap implementasi tidak mampu direalisasikan sesuai harapan;
(8) kemitraan yang terbentuk hanya sekedar jargon politik, jargon prestise pengusaha besar untuk publikasi, atau jargon moral belaka, sehingga kemitraan yang terbentuk seringkali terbukti hanya terbatas untuk seremonial belaka;
(9) kemitraan yang terbentuk hanya didasarkan pada paradigma yang sempit, yaitu hanya sekedar untuk membagikan bantuan kepada pelaku usaha mikro dan kecil tanpa pertanggungjawaban penggunaanya. Hal ini sangat tidak mendidik masyaraka untuk memiliki kemampuan dalam merencanakan dan memperbaiki masa depannya.
Dengan demikian, dalam membuat sebuah program kemitraan, harus mampu menghindari praktek-praktek tersebut di atas yang tidak menciptakan nilai tambah dari pengorbanan dana, waktu, dan tenaga untuk membangun suatu kemitraan. Oleh karena itu, untuk membangun kemitraan atas dasar prinsip bisnis yang saling membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat merupakan implementasi dari kebersamaan berusaha, bertumbuh dan berkembang bersama, bekerjasama sambil bersaing dan berkompetisi, serta keadilan dan keseimbangan dalam pembagian nilai tambah antara pengusaha menengah dan besar dengan pelaku usaha mikro dan kecil. Di samping itu perlu pula dipikirkan suatu kerangka kemitraan yang terpadu antar satu program dengan program kemitraan lainnya. Kemitraan tersebut melibatkan seluruh stakeholders dalam sebuah komunitas daerah. Sehingga dapat menjadi pilar-pilar dalam pembangunan ekonomi suatu daerah dengan memperhatikan dinamika sosial ekonomi yang terjadi pada daerah tersebut.  

T A M A T


13627053671237498514
Selanjutnya, perlu dipikirkan suatu kerangka kemitraan yang terpadu antar satu program dengan program kemitraan lainnya. Kemitraan tersebut melibatkan seluruh stakeholders dalam sebuah komunitas daerah. Sehingga dapat menjadi pilar-pilar dalam pembangunan ekonomi suatu daerah dengan memperhatikan dinamika sosial ekonomi yang terjadi pada daerah tersebut.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
 
 

Minggu, 17 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-7)


3.      Kemitraan Pola Keagenan
Pola keagenan merupakan bentuk kemitraan yang memberikan hak khusus kepada pelaku usaha mikro dan kecil untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau besar sebagai mitranya. Mitra  bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan, sedangkan usaha mikro dan kecil sebagai kelompok mitra berkewajiban untuk memasarkan, disertai target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

Keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha mikro dan kecil dalam pola keagenan yaitu memperoleh komisi atau fee dari hasil pemesaran produk dan jasa dari perusahaan menengah atau besar. Kelompok usaha mikro dan kecil sebagai agen dapat menjadi tulang punggung dan ujung tombak pemasaran usaha menengah dan besar. 

4.      Kemitraan Pola Dagang Umum
Pola dagang umum merupakan bentuk kemitraan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan menengah atau besar selaku perusahaan mitra dengan pihak usaha mikro dan kecil selaku pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan mitra.
Pola kemitraan ini memerlukan dukungan pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik pengusaha menengah atau besar dan pelaku usaha mikro dan kecil. Sifat dari kemitraan dagang umum ini adalah adanya jaminan harga atau produk yang dihasilkan dan kualitas sesuai dengan yang telah ditentukan atau disepakati. Kelemahan pola ini adalah pengusaha besar menentukan dengan sepihak harga dan volume yang sering merugikan pelaku usaha mikro dan kecil. Selain itu, seringkali produk usaha mikro dan kecil berbentuk konsinyasi pada perusahaan menengah dan besar (seperti departemen store dan hyper/ super market) dengan pembayaran yang tertunda. Kondisi ini sangat merugikan perputaran uang pelaku usaha mikro dan kecil yang terbatas. Sehingga akhirnya pertumbuhan usaha mikro dan kecil menjadi tidak optimal bahkan terhambat.

5.      Kemitraan Pola Waralaba
Pola waralaba merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok usaha mikro dan kecil selaku mitra usaha dengan perusahaan menengah dan besar yang memberikan hak lisensi, merk dagang, saluran distribusi disertai dengan bantuan bimbingan manajemen. Perusahaan mitra usaha sebagai pemilik waralaba bertanggungjawab terhadap system operasi, pelatihan, program pemasaran, merk dagang, dan hal-hal lain kepada pelaku usaha mikro dan kecil sebagai pemegang usaha yang diwaralabakan. Pemegang usaha waralaba hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh pemilik waralaba, serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalty dan biaya lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut.
Kekuatan pola waralaba adalah perusahaan menengah atau besar selaku terwaralaba dengan pelaku usaha mikro dan kecil selaku pewaralaba sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Pola waralaba dapat membuka kesempatan kerja yang sangat luas. Sedangkan kelemahan pola ini adalah adanya ketergantungan yang sangat besar dari pewaralaba dalam teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat dari terwaralaba. Sebaliknya pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal penjualan.
Sebagai dampak globalisasi, perkembangan usaha waralaba cukup pesat dan dianggap mempunyai prospek masa depan. Salah satu keberhasilan pola waralaba adalah adanya konsistensi mutu atas produk yang diberikan kepada masyarakat dan pelayanan yang baik. Usaha dengan pola waralaba memberikan kemudahan bagi konsumen yang tidak mempunyai banyak waktu dan membuat mereka cenderung tidak mencoba produk baru yang tidak diketahuinya.

Bersambung....



Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami) 

Kamis, 14 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-6)

Model Kemitraan Antar Pelaku Usaha

1.  Kemitraan Pola Inti Plasma
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antar kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan ini yang bermitra. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen. Di samping itu, inti juga menampung, mengelolah, dan memasarkan hasil produksi plasma, selain memproduksi sendiri kebutuhan perusahaan inti. Kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Sosialisasi hak dan kewajiban plasma dan inti harus dilakukan dengan baik agar pemberdayaan petani sebagi plasma dapat terwujud dengan baik. Sehingga plasma dapat berfungsi sebagai mitra bukan merupakan layaknya buruh saja dalam kemitraan.
Keunggulan pola kemitraan inti-plasma adalah:
(1) dapat memberikan manfaat timbal balik antara pengusaha besar dan menengah sebagai inti dengan pelaku usaha mikro dan kecil sebagai plasma melalui pembinaan serta penyediaan sarana produksi, pengolahan hasil serta pemasaran, sehingga tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan;
(2) dapat membangun pemberdayaan pelaku usaha mikro dan kecil di bidang teknologi, modal, kelembagaan, sehingga pasokan bahan baku dapat lebih terjamin dalam jumlah dan kualitas sesuai standar yang ditetapkan;
(3) beberapa pelaku usaha mikro dan kecil yang dibimbing oleh usaha besar dan menengah mampu memenuhi skala ekonomi, sehingga dicapai efisiensi;
(4) pengusaha besar atau menengah yang mempunyai kemampuan dan kawasan yang lebih luas dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang mempunyai keunggulan dan kemampuan bersaing di pasar nasional, regional, maupun internasional;
(5) keberhasilan kemitraan inti-plasma menjadi daya tarik bagi pengusaha besar sebagai investor swasta nasional maupun asing, dan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga membantu pemerataan pendapatan yang mengurangi kesenjangan sosial.
Beberapa catatan pelaksanaan yang perlu diperhatikan dalam pola inti-plasma adalah:  
(1) persiapan dan tahapan awal kemitraan merupakan proses yang memakan waktu, perhatian, upaya terus menerus serta kesabaran hingga menjadi pola yang berhasil dan saling menguntungkan;
(2) pola ini akan berhasil baik apabila jenis kegiatan usaha dari pengusaha besar dan menengah sama atau saling terkait dengan apa yang dihasilkan oleh pelaku usaha mikro dan kecil;
(3) kemitraan ini dapat berhasil jika dilaksanakan pada skala ekonomi yang layak (cukup besar);
(4) kemitraan harus didasarkan pada perjanjian kerja yang memerinci secara jelas kewajiban dan tugas masing-masing pihak yang bermitra.
Hal yang perlu dicermati dalam pola inti-plasma adalah hubungan kelembagaan antar mitra, sebab kedudukan perusahaan inti lebih kuat dan dominan dibandingkan dengan posisi plasma yang lemah, khususnya dalam pemasaran hasil. Langkah positif pola ini adalah dapat memberikan motivasi kepada kelompok mitra usaha untuk berusaha lebih professional dalam menangani jenis usahanya guna menghadapi mitra usaha yang lebih kuat.

2.   Kemitraan Pola Sub Kontrak
Pola sub kontrak adalah hubungan kemitraan yang dibangun oleh perusahaan menengah atau besar dengan pelaku usaha mikro dan kecil sebagai kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan tersebut sebagai bagian komponen produksinya. Kemitraan ini menyertakan kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu.
 Pola kemitraan sub kontrak mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal, dan keterampilan serta menjamin pemasaran kelompok mitra usahanya. Sedangkan kelemahan kemitraan pola ini adalah kecenderungan mengisolasi produsen kecil sebagi sub kontrak pada satu bentuk hubungan monopoli dan monopsoni. Hal itu. terutama dirasakan dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran. Akibatnya, sering terjadi pnekanan terhadap harga input yang tinggi dan harga produk yang rendah, control kualitas produk yang ketat, dan sistem pembayaran yang sering terlambat, serta adanya gejala ekploitasi tenaga untuk mengejar target produksi.
Komponen yang sangat berperan dalam pelaksanaan kemitraan pola ini adalah sumber daya manusia dan permodalan. Untuk itu diperlukan organisasi dari pengusaha kecil, paling tidak kelompok yang mempunyai posisi tawar dengan mitra usaha. Dengan demikian kelompok mitra dapat menetapkan harga, volume, dan waktu yang lebih proporsional berbasis win-win solution.

Bersambung....



Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 13 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-5)


Analisa Komparatif Kemitraan Bank
Dalam Pengembangan Usaha Mikro

Persamaan keempat program tersebut adalah merupakan program yang membantu pendanaan para pelaku usaha mikro dalam menjalankan usahanya, yang dilakukan melalui Bank Umum serta ada lembaga donatur yang berperan. Peran para donatur beragam, mulai dari penyediaan dana, hingga pendampingan dalam pembinaan, pelatihan, dan penjaminan.
Pada program BIMAS yang menjadi pengelola program adalah Departemen Pertanian dengan melibatkan Bank Indonesia sebagai penyedia Dana Likuiditas dan Departemen Keuangan sebagai penjamin dana sebesar 50% dari total kredit yang macet. Pada program PHBK yang menjadi pengelola program adalah Bank Indonesia dengan melibatkan GTZ (Pemerintah Jerman) sebagai pendamping dalam konsultasi proyek. Pada program P4K yang menjadi pengelola program adalah Departemen Pertanian dengan melibatkan International for Agricultural Development (IFAD) yang menyediakan 80% dana dan Bank Indonesia yang menyediakan dana 20% melalui KLBI. Disamping lembaga donor yang menyediakan dana kredit, pada program P4K juga melibatkan United Nations Development Program (UNDP) dan Pemerintah Belanda yang berperan sebagai konsultan dalam pelaksanaan proyek. Pada program PPKP yang menjadi pengelola adalah Departemen Koperasi (kemudian pada tahun 1991 diserahkan sepenuhnya kepada Bank BUKOPIN) dengan melibatkan Rabobank Foundation (Pemerintah Belanda) sebagai penyedia dana modal pembiayaan kepada KUD dan konsultan dalam pelaksanaan proyek.
Dalam keputusan pemberian kredit kepada pengguna, tidak semua program menyerahkannya kepada bank pelaksana. Pada program BIMAS, keputusan kredit bukan berada pada BRI tetapi pada Komite Kredit BIMAS yang terdiri dari pejabat Departemen Pertanian dan Pemerintah Daerah. Pada program P4K pada periode 1989-1998 keputusan kredit berada pada Departemen Pertanian, dan pada tahun 1998 diubah kepada BRI sebagai Bank Pelaksana. Perubahan pemberian keputusan kredit tersebut menyebabkan tingkat tunggakan kredit menjadi turun dari periode sebelumnya. Putusan kredit yang tidak diberikan oleh Bank Pelaksana, mengakibatkan Bank memiliki kontrol yang lemah atas pemilihan peminjam sehingga Bank tidak dapat mengelola account pembiayaan secara optimal. Hal ini merupakan potensi besar dalam penyebab kemacetan suatu kredit yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Demikian pula, pada program PPKKP, pada awal proyek, Keputusan Pemberian Kredit diberikan oleh Departemen Koperasi yang menyebabkan tingginya tingkat tunggakan. Akan tetapi begitu Keputusan Kredit kepada Koperasi diserahkan sepenuhnya kepada Bank BUKOPIN sebagai Bank Pelaksana, tingkat pengembalian menjadi 99% dari pembiayaan yang diberikan.
Materi pemberian kredit berupa uang tunai pada tiga program, kecuali pada program BIMAS yang memberikan berupa paket input. Pada program BIMAS pagu kredit, jenis input, kriteria peminjam telah ditentukan oleh Pemerintah, sehingga seringkali antara kebutuhan petani dengan input yang diberikan tidak tidak sesuai. Hal ini malah menyebabkan permasalahan tersendiri bagi petani sebagai penerima kredit yang akhirnya menimbulkan ketidakmampuan petani untuk melunasi pinjamannya. Demikian pula, hal ini sempat terjadi pada program P4K pada periode 1989-1998, dimana PPL dari Departemen Pertanian yang menentukan jumlah kredit kelompok (KPK) sehingga terjadi ketidaksesuaian kebutuhan kredit dengan jumlah yang dibutuhkan dan pada akhirnya menimbulkan permasalahan kredit. Akan tetapi ketika diubah, kebutuhan ditentukan oleh para pengguna yang didiskusikan dengan pihak Bank, maka permasalahan kredit menjadi berkurang.
Penerima kredit dan pengguna dana kredit akhir dalam keempat program berbeda-beda. Pada program BIMAS penerima akhir adalah petani yang diberikan oleh BRI Unit. Pada program PHBK penerima kredit akhir adalah anggota KSM melalui KSM yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Pada program P4K penerima kredit adalah kelompok usaha (KPK) yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Sedangkan pada program PPKKP yang menerima kredit adalah pelaku usaha yang tergabung dalam kelompok melalui Kelompok Usaha yang diberikan oleh Koperasi sebagai lembaga keuangan mikro, sedangkan Bank Pelaksana memberikan modal kredit kepada Koperasi untuk dikelola secara mandiri. Dalam program BIMAS dan PPKKP ada suatu program pemberdayaan dan penguatan fungsi lembaga keuangan mikro formal. Sedangkan dalam program PHBK, P4K, dan PPKKP ada upaya pembangunan kelompok swadaya dalam mengelola keuangan bersama antara anggota kelompoknya. Pada program PHBK dan PPKP selain upaya pembangunan kelompok juga ada upaya pemandirian pelaku usaha sebagai pribadi, yang tidak terdapat pada program P4K. Dengan demikian program PPKKP yang paling lengkap dalam pemberdayaan berbagai pihak, yakni penguatan fungsi lembaga keuangan mikro, pemberdayaan kelompok usaha, pemandiriaan pelaku usaha mikro.
Keempat program mempunyai petugas pendamping di lapangan untuk membina dan melatih kemampuan pelaku usaha mikro atau petani. Namun yang paling lengkap ada pada program PHBK dan PPKKP karena disamping pembinaan dan pelatihan teknis juga memberikan pendamping pembina keuangan/ kredit. Sehingga, kemampuan pelaku usaha dalam kedua program tersebut terlihat menonjol dan berhasil menjalankan usahanya dengan dana kredit yang diperoleh dengan baik dan optimal.
Sumber dana kredit pada program BIMAS dan P4K (sebelum fase tahun 1998) berasal dari dana KLBI bersubsidi yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Kondisi yang demikian, justru menjadi salah satu faktor kegagalan kredit, karena dana kredit tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha melainkan diinvestasikan atau dimanfaatkan dalam bentuk lain, bahkan lebih dinikmati oleh petani kaya dari pada petani kecil atau pelaku usaha mikro. Menurut Ali Wardhana, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Ekonomi (Introduction dalam Robinson, 2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1980-an  pemerintah mulai menyadari pinjaman bersubsidi menjadi tidak tepat sasaran dan tidak efektif, sehingga bukannya membantu perkembangan pedesaan, tetapi justru memperlambat pertumbuhan.

Bersambung....
Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)



Selasa, 12 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-4)

Program PPKKP
 (Pusat Pelayanan Kredit Koperasi Pedesaan)

Program PPKKP bermula dari proyek QTA-46 yang merupakan program bantuan kerjasama Pemerintah Belanda melalui Rabobank Foundation dengan Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Koperasi. Proyek QTA-46 dimulai sejak tahun 1979 di daerah Jawa Barat dan Yogyakarta. Pada tahun 1988, program ini diintegrasikan ke Bank BUKOPIN dengan nama PPKP. Program PPKKP, kemudian dikembangkan ke Provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dengan demikian, enam provinsi menjadi daerah operasi program ini. Kerjasama dengan Rabobank Foundation ini berakhir pada tahun 1991. Dengan berakhirnya proyek ini, maka pembiayaannya dilanjutkan oleh Bank BUKOPIN dengan dana sendiri dan tabungan anggota kelompok.
Pada tahun 1991 itu juga, Bank BUKOPIN bekerjasama dengan Bank Indonesia menjalankan program PPKKP dalam rangka pengembangan program PHBK dengan membuka wilayah kerja baru, yaitu Jabotabek. Penyaluran kredit untuk wilayah Jabotabek tersebut mendapat kredit likuiditas dari Bank Indonesia.
Maksud dan tujuan program PPKKP adalah untuk:
(1) Meningkatkan kemampuan dan mengembangkan dana tabungan masyarakat di pedesaan dalam rangka pemupukan modal sendiri;
(2) Membina dan mengembangkan system Unit Simpan Pinjam KUD yang sesuai dan memadai bagi golongan masyakat di pedesaan;
(3) Mengarahkan golongan masyarakat kecil di pedesaan untuk mengembangkan usaha-usaha yang produktif guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan;
(4) Meningkatkan peranan Bank BUKOPIN sebagai bank milik gerakan koperasi dalam rangka memperkokoh permodalan usaha-usaha koperasi.
Sedangkan sasaran program PPKKP ini diarahkan untuk membiayai usaha-usaha produktif dari para anggota KUD yang tergabung dalam kelompok-kelompok. Bidang usaha produktif yang dilayani di antaranya meliputi bidang usaha pertanian, perdagangan kecil, kerajinan, dan industri kecil.
Metode pemberian pembiayaan pada program PPKKP ini adalah Bank BUKOPIN menyediakan modal awal kepada KUD untuk jangka waktu lima tahun dengan masa tenggang satu tahun. Kemudian KUD memberikan pinjaman kepada anggota melalui Kelompok dengan jangka waktu pinjaman maksimal 6 bulan atau satu musim tanam untuk pertanian. Dasar pinjaman adalah kelayakan usaha anggota kelompok. Jaminan pinjaman adalah dalam bentuk apa saja yang dimiliki oleh anggota kelompok dengan resiko tanggung renteng secara bersama anggota kelompok, jika ada pinjaman anggota yang macet.
Tugas dan kewajiban Bank BUKOPIN bukan hanya sekedar memberikan modal kredit kepada KUD, tetapi juga menyangkut hal-hal berikut:
(1) Menyelenggarakan latihan pendidikan bagi KUD dan Kelompok Anggota;
(2) Memberikan pembinaan dan pengawasan secara terencana kepada KUD, Kelompok Anggota, dan Anggota-Anggotanya;
(3) Mengelola kelebihan dana simpan pinjam di KUD;
(4) Menyelenggarakan pusat administrasi kegiatan kredit pedesaan bagi KUD-KUD yang telah menjadi pesertanya, termasuk mendidik Assistant Manager KUD guna mengelola kegiatan Unit Simpan Pinjam (USP);
(5) Menyelenggarakan rapat bulanan dengan KUD dan menghadiri rapat anggota bulanan dengan kelompok anggota.
Program PPKKP ini berjalan dengan baik, dan menjadi pembelajaran bagi KUD dan masyarakat pelaku usaha mikro dalam menjalankan sebuah organisasi dan administrasi usaha pada tingkat paling bawah. Dengan pola tanggung renteng pada anggota Kelompok, tingkat pengembalian kredit lebih dari 99%.
Namun, seiring dengan perubahan status Badan Hukum Bank BUKOPIN dari Koperasi menjadi Perseroan Terbatas pada tahun 1993, program PPKKP ini tidak dilanjutkan lagi, tetapi hanya menunggu penyelesaian dari pembiayaan yang sudah berjalan. Hal ini dilakukan, karena dinilai biaya operasional yang dikeluarkan besar, sedangkan return on investment yang diperoleh Bank BUKOPIN sebagai sebuah persero tidak terlalu besar. Kemudian Bank BUKOPIN mengembangkan kemitraan yang bersifat lebih komersial dalam mengembangkan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) atau USP suatu Koperasi dengan pola waralaba. Kemitraan tersebut dikenal dengan SWAMITRA. Kemitraan ini memanfaatkan jaringan teknologi dengan dukungan manajemen modern sehingga membuat KSP atau USP menjadi Lembaga Keuangan Mikro komersial sebagaimana layaknya sebuah lembaga bisnis. Bank BUKOPIN sebagai pemegang merk bertindak sebagai pemegang waralaba, sedangkan KSP/ USP sebagai pemakai waralaba. Hak dan kewajiban masing-masing hampir sama dengan model waralaba dalam dunia usaha pada umumnya.

Bersambung.....


Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Minggu, 10 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-3)

Program P4K
 (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil)

Program P4K dikelola oleh Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian, Departemen Pertanian bekerjasama denga Bank Rakyat Indonesia (BRI). Program ini dimulai pada tahun anggaran 1989 dan berakhir pada tahun 1998. Program ini mendapatkan bantuan dana 80% dari International for Agricultural Development (IFAD) dan 20% dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Selain itu, program, P4K juga menerima dukungan dari United Nations Development Program (UNDP) dan Pemerintah Belanda.
Program ini dijalankan meliputi 6 provinsi, 56 Kabupaten, 2.133 desa di 533 kecamatan di Indonesia. Wilayah pelaksaaan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Tujuan program ini adalah meningkatkan pendapatan masyarakat tani dan nelayan, yang merupakan pelaku usaha mikro dan hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka itu terdiri dari petani lahan sempit, petani penggarap yang tidak memiliki lahan, buruh tani, nelayan dengan peralatan sederhana, peternak kecil, pengrajin kecil, dan kelompok masyarakat miskin lainnya di pedesaan. Lingkup proyek ini adalah pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan bimbingan agar mau dan mampu menjangkau fasilitas dan kemudahan-kemudahan pembangunan yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Pelaksanaan program P4K diterapkan dengan tujuh prinsip pembinaan yaitu melalui pendekatan kelompok, keserasian, kepemimpinan dari pelaku usaha mikro, pendekatan kemitraan, swadaya, belajar sambil bekerja, dan pendekatan keluarga. Pembentukan kelompok didasarkan kepada hasil survey identifikasi yang dilakukan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Masyarakat atau pelaku usaha mikro yang terpilih menjadi peserta program ini adalah mereka yang berpendapatan di bawah setara 320 kg beras per kapita per tahun bagi masyarakat yang sudah mendapat pembinaan. Setiap kelompok beranggotakan 8-16 orang.
Kredit yang diberikan oleh program P4K adalah kredit kelompok dan bukan kredit perorangan/ anggota. Untuk itu maka kelompok (KPK) harus menyusun Rencana Usaha Bersama (RUB) dan apabila layak maka kredit segera diproses. Realisasi kredit ditandangani antara BRI dengan Ketua, Sekretaris, dan Bendahara Kelompok serta diketahui oleh Kepala Desa dan PPL.
Kredit diberikan untuk modal usaha tanpa jaminan fisik. Sebagai jaminan adalah usaha bersama yang dilaksanakan oleh kelompok. Pinjaman dibagi dalam empat tahap, karena P4K dirancang khusus untuk membantu kelompok-kelompok swadaya dari para peminjam miskin dalam melakukan transisi dari subsidi kredit P4K menjadi keuangan mikro komersial. Pada pinjaman I, setiap KPK diwajibkan sudah mempunyai tabungan Rp 50.000,-, pada pinjaman II diwajibkan sudah mempunyai tabungan 10% dari outstanding pinjaman, pinjaman III dan IV telah mempunyai tabungan 20% dari outstanding pinjaman. Tingkat bunga pinjaman 22,15% per tahun yang ditanggung secara merata oleh semua anggota kelompok. Cara pengembalian kredit dapat dipilih oleh kelompok sesuai dengan jenis dan komoditi yang diusahakan, yaitu per bulan, 6 bulan, 12 bulan atau sekaligus. Sedangkan jangka waktu kredit adalah 12 bulan, 15 bulan, dan 18 bulan.
Di samping pemberian kredit, program ini juga memberikan bantuan teknis berupa pelatihan dan pembinaan yang dilakukan oleh aparat Departemen Pertanian (dari Pusat sampai daerah proyek), instansi lain, BRI, dan LPSM peserta proyek. Bimbingan diberikan oleh PPL dibantu para tokoh masyarakat dan pamong desa setempat. Frekuensi pembinaan bervariasi tergantung kesepakatan KPK.
Pada tahun 1995 jumlah tunggakan program P4K sempat mencapai 18,7% ditambah dengan 7,4% pinjaman jatuh tempo. Tunggakan-tunggakan tersebut sebagian disebabkan karena PPL untuk komponen kredit P4K tidak memiliki latar belakang keuangan, dan tidak berada di bawah kontrol atau pengawasan BRI. Selain itu, mereka tidak memiliki insentif langsung untuk menginvestasikan kelayakan kredit keompok-kelompok swadaya atau untuk memastikan bahwa pinjaman dilunasi tepat waktu. Kekurangan lain dari program P4K pada fase 1989-1998 adalah P4K merupakan program subsidi besar-besaran dengan biaya operasional yang besar (Robinson, 2001).
Pada fase berikutnya untuk tahun 1998 – 2005, beberapa kelemahan diperbaiki. Proses pemberian kredit dan administrasi pinjaman tidak dilakukan oleh PPL lagi, tetapi oleh Account Officer (AO) BRI. Aplikasi kredit dan RUB diajukan ke Kantor Cabang BRI melalui AO. AO akan mengunjungi kelompok dan mendiskusikan rencana usaha kelompok, dan setelah dilakukan beberapa penyesuaian AO akan mengajukan proses persetujuan kepada pemutus kredit. Pinjaman yang dibagikan kepada anggota menjadi tanggungjawab semua anggota untuk mengembalikannya. Dengan metode ini, tingkat tunggakan menjadi turun dan tergolong kecil.
Pada fase 1998 – 2005, wilayah program P4K bertambah menjadi 12 provinsi dari hanya enam pada fase sebelumnya, meliputi 122 kabupaten, 1.043 kecamatan, dan 6.552 desa. Enam provinsi tambahan adalah Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimatan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Program ini berakhir tahun 2005, namun dapat memberikan pengalaman bahwa melalui dual track approach antara Departemen Pertanian sebagai lembaga pelaksana (executing agency) dengan BRI sebagai bank pelaksana (bank executing) dapat menyediakan sebuah contoh empirik dalam skala proyek tentang bagaimana membangun sistem serta mekanisme partisipatif dan langgeng dalam penaggulangan kemiskinan dari inisiatif pemerintah menjadi inisiatif masyarakat (community-based poverty allevation).

Bersambung....

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Kamis, 07 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-2)

Program PHBK dimulai dengan pilot proyek pada empat Provinsi, meliputi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali pada tahun 1989. Pilot Proyek berakhir pada tahun 1992, dan dikembangkan menjadi proyek pada tahun 1992 tersebut.  Program ini dikelola oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Umum, BPR, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), serta mendapat bantuan dari GTZ (Pemerintah Jerman Barat).
Program ini bertujuan untuk membangun sistim keuangan yang layak bagi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Kelompok Simpan Pinjam Pedesaan (KSP). KSM/ KSP ini merupakan lembaga keuangan informal yang melayani petani kecil dan pelaku usaha mikro yang belum terlayani oleh Bank. KSM/ KSP yang dapat ikut dalam program kemitraan ini harus telah memenuhi kriteria:
a.   Kemantapan organisasi;
b.   Kondisi administrasi organisasi;
c.   Kondisi administrasi keuangan;
d.   Usaha produktif kelompok/ anggota yang memerlukan kredit.
Pada awalnya kriteria di atas sulit untuk dipenuhi oleh KSM/ KSP yang sudah ada. Kesulitan ini, kemudian diatasi dengan melibatkan LPSM untuk memotivasi, memberikan pelatihan, pembinaan dan konsultasi kepada KSM/KSP. Program PHBK menerapkan tiga model, yaitu:
(1) Model hubungan langsung antara Bank dengan KSM, dengan LPSM sebagai pembina dan pemberi bantuan teknis;
(2) Model hubungan tidak langsung antara Bank dan KSM, dengan LPSM berperan sebagai perantara keuangan antara Bank dengan KSM;
(3) Model kerjasama kemitraan antara Bank, KSM/ KSP, dan LPSM dengan pola tanggung renteng pada kelompok anggota.
Pada model (1) Bank menyalurkan kredit langsung kepada KSM setelah mendapat rekomendasi dari LPSM selaku pembinanya. Pada model (2) Bank menyalurkan kredit melalui LPSM, dan LPSM menyalurkan kepada KSM, kemudian diteruskan kepada masing-masing anggota peminjam. Sedangkan pada model (3) Bank menyalurkan kredit langsung kepada KSM tanpa perantara LPSM, dan KSM telah menabung pada Bank pemberi kredit dengan ratio tabungan 1:4 untuk pemula dan 1:6 untuk KSM yang telah mempunyai konduite baik dalam pinjaman sebelumnya. Pada model (3) KSM tidak diwajibkan menyediakan jaminan fisik, tetapi dijamin oleh tabungan beku KSM dan tanggung renteng anggota KSM. Berbeda dengan model (1) dan (2), kredit tetap memerlukan jaminan fisik sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Pada model (3) yang berbentuk kemitraan tersebut, pelaksanaan program ini memerlukan bantuan teknis pada proyek sebelum pelaksanaan kredit kepada KSM atau anggota. Pengelolaan bantuan teknis dilakukan melalui organisasi program mulai dari tingkat pusat sampai daerah dengan melibatkan lembaga-lembaga peserta program dan dipimpin oleh Bank Indonesia. Bantuan teknis tersebut meliputi:
a.   Pelatihan bagi petugas LPSM, Bank Peserta, dan Pengurus KSM;
b.   Pembinaan KSM;
c.   Pelayanan konsultasi khusus kepada LPSM mengenai perbankan kepada bank dalam aspek non perbankan;
d.   Pelatihan bagi staf pelaksana proyek.
Besar pinjaman per anggota KSM paling besar Rp 1 juta, sedangkan pinjaman per KSM tidak dibatasi tergantung dari jumlah total pinjaman anggota dan kelayakannya. Pinjaman KSM maupun anggota dapat dilakukan beberapa kali tergantung dari keragaan pengembalian kredit sebelumnya, kelayakan usaha, dan kemampuan pengembalian oleh KSM/ Anggota. Penggunaan kredit untuk modal usaha atau kegiatan produktif. Pengembalian kredit dilakukan secara cicilan per bulanan atau mingguan, dan bisa pula musiman untuk kondisi tertentu yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara Bank dengan KSM.
Program PHBK ini cukup menarik, karena memungkinkan Bank melayani masyarakat kecil melalui kelompok yang tidak memiliki cukup jaminan fisik dan kelembagaan formal. Dengan melayani pelaku usaha mikro melalui kelompok, bank mempunyai keuntungan dalam hal:
a.   Mengurangi biaya transaski yang bila dilakukan per orang menjadi tinggi dan tidak sebanding dengan kredit yang diberikan;
b.   Memungkinkan terjaminnya keamanan kredit yang diberikan karena adanya jaminan alternatif berupa tanggung renteng dan adanya social pressure dalam kelompok.
Dari pengalaman lapangan, program PHBK telah berjalan baik. Sejak dirintis pada tahun 1989 hingga tahun 2001, telah terlaksana di 23 provinsi, mencakup 1.000 kantor bank partisipan, 257 LPSM, 34.227 KSM dengan 1.026.810 kepala keluarga, menyalurkan kredit (akumulasi) Rp 331 milyar, memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp 29,5 milyar, dan tingkat pengembalian kredit 97,3%.
Namun sayang, meski program ini berlangsung cukup baik, setelah keluarnya UU Bank Sentral No. 23/1999 menjadi tersendat. Hal ini karena Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi menjalankan kredit program. Akan tetapi, program ini direplikasi oleh India dan mengalami kesuksesan besar dalam melayani sekitar 20 juta masyarakat mikro pelaku usaha mikro di negara tersebut (Ismawan, 2005).

Bersambung

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Pertama)

Program BIMAS (Bimbingan Masal)
Dalam rangka mencapai swasembada pangan, melalui intensifikasi padi, pada tahun 1973 Pemerintah Republik Indonesia membuat program Bimbingan Masal (BIMAS) berdasarkan Instruksi Presiden No. 4/1973. Program ini didahului dengan uji coba BIMAS di Yogyakarta pada tahun 1969, dan diperbaiki menjadi BIMAS Nasional pada tahun 1970/1971 sebelum diberlakukan sebagai program nasional pada tahun 1973.
Inti pendekatan BIMAS adalah program pelayanan dalam 4 (empat) bagian yang terdiri dari penyuluhan pertanian, kredit bersubsidi, pasokan input, dan jasa pemasaran output. Program ini diterapkan dalam blok-blok, dan setiap blok terdiri dari 2 sampai 7 desa dengan 600 sampai 1.000 hektar sawah. Setiap blok BIMAS memiliki empat fasilitas dasar, yaitu:
(1)   Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)
(2)   Sebuah toko eceran, yang dijalankan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) atau pedagang swasta untuk memasok pupuk dan input-input lainnya;
(3)   Sebuah agen yang mengelola perolehan, penyimpanan, dan pemrosesan beras;
(4)   BRI Unit sebagai Bank Desa yang akan menyediakan kredit yang disubsidi untuk petani secara langsung.
Program BIMAS, saat dibuat, memiliki dua sasaran utama, yakni:
(1)   Untuk memainkan peranan yang penting dalam sasaran program intensifikasi padi dalam meningkatkan produksi beras secara cepat. Program BIMAS menekankan pinjaman untuk pengolahan varietas padi yang meningkatkan hasil panen di sawah dengan sistem irigasi yang baik;
(2)   Untuk meningkatkan pendapatan para petani miskin. Diasumsikan bahwa tanpa kredit, para petani tidak akan mampu untuk membeli input yang dibutuhkan dalam perkembangan teknologi padi baru yang memungkinkan hasil panen yang lebih signifikan.
Pelaksana kredit dalam program BIMAS diserahkan kepada BRI sebagai intermediary institution. Untuk mencapai ke lokasi program di desa-desa, didirikan BRI unit di tingkat Kecamatan di daerah pedesaan seluruh Indonesia. BRI Unit diawasi oleh jaringan cabang BRI yang terletak di tingkat kabupaten. Sumber dana kredit disediakan dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan suku bunga 3% per tahun, sedangkan tingkat suku bunga pasar, saat itu, 15% per tahun. Resiko pengembalian KLBI ditanggung oleh BRI 25%, Departemen Keuangan 50%, dan Bank Indonesia 25%. Di samping itu, pemerintah juga mensubsidi biaya administrasi BRI Unit.
Dalam Program BIMAS, pemberian kredit kepada petani tidak berupa uang tunai melainkan dipasok dalam bentuk materi, seperti benih, pupuk, dan insektisida, oleh KUD. Namun pengembalian kredit berupa uang tunai. Jumlah pinjaman ditentukan sesuai dengan luas lahan yang akan diolah oleh seorang petani. Keputusan pemberian pinjaman bukan berada pada BRI Unit Desa selaku Bank Desa ataupun Cabang BRI selaku intermediary institution, tetapi ditentukan oleh para pejabat Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah, serta Komite yang ditugaskan untuk memenuhi sasaran pemerintah dalam pinjaman BIMAS.
Oleh karena keputusan pinjaman BIMAS bukan pada lembaga keuangan yang mengelola kredit tersebut, maka kredit yang seharusnya dicairkan untuk setiap petani yang berpartisipasi pada sebelum musim tanam, seringkali diterima para peminjam tidak tepat pada waktunya. Dengan demikian, para petani terpaksa menanam tanpa pupuk atau input lainnya, atau harus membeli dengan dana dari sumber penghasilan lainnya. Sumber dana tersebut berasal dari tabungan atau pinjaman informal. Paket pinjaman yang datang setelah petani melakukan penanaman menimbulkan permasalahan sendiri bagi petani. Akibat dari hal tersebut, para petani harus menggunakan meskipun musim tanam telah lewat atau menjual dengan harga murah atau menyimpan input-input pinjaman BIMAS yang telah diterima.
Pinjaman untuk pengolahan padi disediakan secara terpisah untuk musim kemarau dan musim hujan. Untuk mayoritas periode BIMAS, pinjaman jatuh tempo tepat setelah penuaian panen yang menggunakan input BIMAS. Akibatnya, para petani yang membayar pinjaman mereka dari hasil penjualan beras harus menjual dari hasil panennya pada saat harga berada pada titik terendah.
Program BIMAS mencapai puncaknya pada musim hujan tahun 1975/1976 dengan jumlah sekitar Rp 55 miliar (setara USD 133 juta pada waktu itu) yang diberikan kepada lebih 2,5 juta peminjam mencakup 2,2 juta hektar sawah. Akan tetapi, setelah masa itu terjadi kegagalan panen yang meluas. Kegagalan yang disertai dengan kelemahan dalam perancangan program, paket input yang tidak cocok untuk tanah banyak petani, dan strategi implementasi yang salah bimbingan telah mengakibatkan tingkat kegagalan pembayaran yang lebih tinggi. Pinjaman mengalami keterlambatan pembayaran hingga 90 hari atau lebih. Partisipasi terhadap program BIMAS pun mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni tidak sampai 0,5 juta peminjam dengan luas lahan tidak sampai 0,5 juta hektar pada musim tanam 1983/1984. (Data BRI dalam Robinson, 2001).
Pada masa 1974-1984, pelunasan tepat waktu kredit BIMAS hanya rata-rata 57%, dan yang menjadi peserta umumnya petani-petani yang lebih kaya dari periode sebelumnya. Hal itu terjadi karena besar kredit BIMAS rata-rata adalah untuk satu hektar lahan per petani. Padahal, hanya sebagian kecil petani yang memiliki sawah seluas satu hektar atau lebih. Di Pulau Jawa, rumah tangga petani kebanyakan mempunyai luas sawah di bawah 0,25 hektar, bahkan sebagian besar tidak mempunyai lahan.
 Akhirnya pada tahun 1985, program BIMAS diberhentikan secara resmi oleh pemerintah karena dinilai tidak mampu menjangkau para petani miskin secara effektif maupun memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya intensifikasi padi. Akan tetapi, meskipun program BIMAS gagal, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan beras pada tahun 1985 yang merupakan tahun berakhirnya program BIMAS.
Kegagalan program BIMAS terjadi karena banyak faktor. Faktor-faktor kegagalan BIMAS berbeda di tiap desa, namun dapat ditarik satu kesimpulan yang mendasari adalah sama (Robinson, 2001), yakni:
-          Tingkat bunga yang disubsidi mencegah kelangsungan institusional;
-          BRI tidak diperbolehkan memilih peminjamnya sendiri;
-          Pinjaman dikaitkan dengan paket yang sudah ditentukan dan seringkali tidak cocok atau bahkan kadang-kadang merusak tananam padi;
-          Di banyak daerah subsidi kredit diberikan kepada warga desa yang telah kaya;
-          Di beberapa daerah, peminjam dipilih oleh para pejabat pemerintah demi memenuhi target, meskipun tanah peminjam tidak cocok dengan input yang disediakan atau bahkan untuk penanaman padi;
-          Dalam beberapa tahun terjadi kegagalan panen yang parah, seringkali sebagai akibat langsung dari insektisida yang didistribusikan dalam paket BIMAS;
-          Kebijakan Pemerintah untuk penjadwalan ulang pinjaman direncanakan dengan buruk dan seringkali diimplementasikan dengan korup;
-          Staf BRI Unit tidak dilatih dengan baik, bergaji rendah, tidak termotivasi, dan umumnya tidak dipedulikan dan dipandang rendah oleh bagian BRI yang lain.