Senin, 22 Oktober 2012

SEBARAN KREDIT PERBANKAN & PEMBIAYAAN SYARIAH

Selama tahun 2007, ekonomi global berada dalam gejolak yang dipicu oleh berlebihnya likuidiats dunia yang mendorong peningkatan arus modal jangka pendek, kemungkinan contagion effect dari krisis subprime mortgage, serta domino effect dan kecenderungan kenaikan harga minyak. Akibat kondisi tersebut, sebagian pihak khawatir, bahwa target pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit dicapai. Namun, hingga akhir triwulan III-2007, kekhawatiran tersebut belum mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berdasarkan pengumuman yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 15 November 2007 yang lalu, pertumbuhan PDB triwulan III-2007 mencapai 6,5% (y.o.y) atau meningkat sebesar 3,9% terhadap triwulan sebelumnya. Apabila pertumbuhan ini dapat dipertahankan hingga akhir tahun, maka target pertumbuhan sebesar 6,3% (y.o.y) pada tahun 2007, dapat dicapai. Sumber pertumbuhan terbesar pada triwulan III-2007 disumbang oleh sektor pertanian (1,3%), industri pengolahan (1,2%), serta perdagangan, hotel dan restoran (1,2%). Sektor industri pengolahan, masih merupakan penyumbang terbesar PDB tahun 2007. Sektor pertanian berhasil melewati sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai penyumbang kedua terbesar PDB Indonesia. Pertumbuhan yang besar pada sektor pertanian, terutama, ditunjang oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada sub sektor perkebunan (33,7%).

Pertumbuhan ekonomi akan optimal apabila stabilitas sistem keuangan dapat terpelihara dengan prospek yang baik. Di Indonesia, perbankan masih mendominasi sektor keuangan. Hal ini menimbulkan tingginya ketergantungan kepada perbankan sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan perekonomian. Dengan demikian, apabila perbankan tidak dapat menyalurkan pendanaan kepada sektor riil, maka pengaruh kelambatan pertumbuhan ekonomi menjadi terasa.

Kondisi ekonomi global yang tidak menguntungkan tersebut, ternyata, tidak menghambat penyaluran kredit perbankan Indonesia. Bahkan, pertumbuhan kredit yang diberikan sampai dengan triwulan III-2007 telah mencapai 15,35% dibandingkan akhir tahun 2006. Pertumbuhan kredit tersebut sudah melebihi pertumbuhan kredit perbankan selama tahun 2006.

Sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan kredit paling besar adalah sektor konstruksi (32,60%) diikuti oleh sektor keuangan dan jasa dunia usaha (25,26%). Sektor ekonomi lain yang mengalami pertumbuhan kredit cukup tinggi adalah sektor pertambangan (23,10%). Akan tetapi, pertumbuhan sektor pertambangan tidak stabil pada tiap triwulan. Pada triwulan II-2007, pertumbuhan sektor ini mencapai 44,80%, namun pada triwulan III pertumbuhan tinggal 23,10%. Hal ini terjadi, karena sebagian besar kredit yang diberikan untuk sektor ini merupakan kredit modal kerja berjangka sangat pendek. Di samping itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran juga mengalami kenaikan cukup tinggi (21,09%). Peningkatan kredit perbankan di sektor ini, dipicu oleh peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga pada PDB Indonesia yang mencapai 5,3% (y.oy) pada triwulan III-2007 dengan nominal sebesar Rp 644,5 trilyun.

Sektor ekonomi lain-lain (yang merupakan pembiayaan konsumsi) mempunyai pangsa paling besar dalam kredit yang diberikan oleh perbankan nasional (29,23%). Pertumbuhan kredit yang diberikan kepada sektor ini masih tetap tinggi (17,31%), meskipun tidak sebesar tahun 2005 dan sebelumnya yang mencapai di atas 30% per tahun. Pada sektor produktif terjadi pergeseran pada sektor ekonomi yang memiliki pangsa paling besar dalam kredit yang diberikan. Jika sebelum tahun 2007 yang paling banyak mendapatkan kredit adalah sektor industri pengolahan, maka per triwulan III-2007 sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi sektor produktif yang paling banyak mendapatkan kredit perbankan.

Sektor keuangan dan jasa dunia usaha mengalami peningkatan outstanding kredit yang cukup tinggi pada triwulan III-2007 (Rp 98.269 milyar) dibanding tahun 2006 yang masih sebesar Rp 78.455 milyar. Kredit sektor ini, merupakan kredit yang ditujukan kepada lembaga-lembaga pembiayaan yang sebagian besar diteruskan menjadi pembiayaan konsumer di berbagai sub sektor.

Sektor pertanian, meskipun masih mempunyai pangsa yang kecil terhadap total kredit yang diberikan oleh perbankan, secara perlahan meningkat pangsanya dari tahun ke tahun. Sektor pertanian secara tidak diduga oleh banyak pihak, dapat menjadi penyumbang petumbuhan PDB Indonesia terbesar pada triwulan III-2007.

Berdasarkan jenis penggunaan, outstanding kredit yang diberikan perbankan nasional, merupakan kredit modal kerja. Akan tetapi pertumbuhan paling tinggi terjadi pada kredit yang digunakan untuk konsumsi yang mencapai 17,38% dalam tiga triwulan dibandingkan dengan akhir tahun 2006. Kredit yang diberikan untuk investasi hanya Rp 172,462 milyar (18,87%) dari Rp 913.960 milyar total outstanding kredit perbankan nasional.

Perbankan syariah sebagai bagian perbankan nasional turut berkontribusi dalam sektor keuangan untuk membiayai sektor-sektor ekonomi dalam PDB Indonesia. Pangsa pembiayaan syariah per triwulan III-2007 masih 2,80% dari total kredit yang diberikan oleh perbankan nasional. Pertumbuhan pembiayaan syariah selama triwulan III-2007 masih jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit yang diberikan perbankan nasional, yakni 25,16% dibandingkan akhir tahun 2006.

Pangsa pembiayaan syariah terbesar diberikan pada sektor jasa dunia usaha (30,25%), diikuti oleh sektor lain-lain/konsumsi (22,94%) dan sektor perdagangan (15,62%). Dari komposisi tersebut, dapat dilihat bahwa lebih dari separuh pembiayaan syariah terdistribusi untuk penggunaan konsumsi. Hal ini menunjukkan komposisi pembiayaan yang berkaitan dengan konsumsi pada perbankan syariah jauh lebih besar dari komposisi yang ada pada perbankan umum nasional.

Sektor-sektor ekonomi produktif, seperti sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, dan sektor konstruksi mengalami penurunan pangsa dari tahun ke tahun pada komposisi pembiayaan yang diberikan oleh perbankan Syariah..

Sektor pertanian, yang saat ini dapat menjadi penyumbang pertumbuhan PDB terbesar, bukan hanya mengalami penurunan pangsa pada pembiayaan syariah, tetapi juga mengalami penurunan outstanding dari tahun ke tahun dibandingkan pada tahun 2004. Sektor pertanian hanya memiliki pangsa 2,54% dari total pembiayaan yang diberikan perbankan syariah pada triwulan III-2007. Padahal pada tahun 2004, sektor pertanian, sempat mendapatkan 7,59% dari pangsa pembiayaan Syariah.

Sektor produktif, di luar pertanian, meskipun mengalami peningkatan outstanding pembiayaan syariah, namun mengalami penurunan pangsa dibandingkan total pembiayaan yang diberikan. Sektor industri yang menjadi penyumbang PDB hanya mendapat pangsa 4,68% dari total pembiayaan syariah. Sektor ini mengalami penurunan pangsa secara bertahap sejak tahun 2004. Sedangkan sektor produktif lainnya hanya memperoleh pangsa masing-masing 1,92% untuk sektor pertambangan, 8,91% untuk sektor konstruksi, serta 6,12% untuk sektor transportasi dan komunikasi.

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa pembiayaan syariah di Indonesia saat ini belum terpola. Jika pada tahun 2004 dan sebelumnya, komposisi pembiayaan yang berkaitan dengan konsumsi dengan sektor produktif masih berimbang, maka saat ini justru komposisi pembiayaan yang berkaitan dengan konsumsi semakin jauh meninggalkan sektor produktif.

Dengan demikian, jika merujuk kepada tujuan semula didirikannya perbankan syariah, seharusnya perbankan syariah tidak mengucurkan pembiayaan dengan porsi besar kepada pembiayaan konsumsi. Perbankan syariah perlu mengingat kembali, bahwa tujuan semula didirikannya perbankan syariah adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di segmen mikro, kecil, dan menengah. Namun apadaya, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan oleh pelaku bank syariah untuk mencapai sebuah idealisme akibat berbagai faktor dan kepentingan yang melatarbelakanginya.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Beratnya Menghadapi Godaan Menjelang Ikrar Suci

Sejak era 80-an pesta pernikahan seringkali dilakukan di “gedung” daripada di rumah. Semakin lama untuk memperoleh gedung yang dapat digunakan untuk acara pernikahan menjadi semakin jauh dari waktu acara akan dilakukan. Untuk mendapatkan tempat memakan waktu enam bulan, bahkan sampai satu tahun. Hal tersebut, tentu saja membawa pengaruh dalam persiapan mental seseorang yang akan menikah. Jika dahulu sepasang anak manusia yang mau menikah, dapat langsung menikah beberapa saat kemudian Karena tidak perlu memesan gedung berikut aksesori yang terkait dengan pesta pernikahan tersebut. Dengan demikian, seringkali niat suci sepasang manusia yang akan menikah menjadi tertunda untuk dapat melaksanakannya, bahkan terkadang niat suci tersebut terselenggara dalam keadaan tidak suci lagi.

Dalam beberapa kondisi yang penulis temukan, beberapa pasang calon mempelai terjebak melakukan hal-hal yang seharusnya mereka jaga kesuciannya sebelum akad nikah dilaksanakan akibat panjangnya waktu antara niat suci tersebut diikrarkan dengan waktu pelaksanaan ibadah suci tersebut. Kondisi yang serba permisif saat ini turut pula menambah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang belum waktunya dilakukan.

Pernah sebuah kejadian yang penulis temukan, yakni seorang anak muda yang “taat” beribadah melakukan hal yang belum dibenarkan untuk dilakukan dengan calon isterinya beberapa hari sebelum akad dilaksanakan karena kondisi yang membuat mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Sebagaimana banyak ditemukan, semakin dekat dengan akan dilaksanakannya acara pernikahan, maka semakin banyak pula tekanan yang diterima. Sang anak muda dan calon isterinya berkeluh kesah dan saling “curhat” terhadap tekanan-tekanan yang mereka terima baik menyangkut segala “tetek-bengek” acara yang tak kunjung “beres” dan permintaan-permintan dari keluarga dan berbagai pihak yang cukup “memusingkan”. Untuk saling menenangkan hati, maka mereka saling ‘curhat” berduaan, mulai dari kata-kata hingga gerakan dan akhirnya tanpa disadari mereka telah jauh melangkah melakukan hal yang telah mereka jaga selama ini.  

Sang anak muda dengan penuh penyesalan menyampaikan “keteledorannya” kepada penulis. Dia menyesal tidak dapat menjaga kesucian niat suci mereka untuk menempuh kehidupan suci berumahtangga hanya beberapa hari sebelum acara suci tersebut dilakukan. Penulis hanya dapat menyampaikan, bahwa sesuatu yang telah terjadi tidak ada gunanya disesali terus menerus. Hanya minta ampun kepada Allah yang dapat menjadi jalan keluarnya.

Kejadian sepasang anak manusia yang telah berniat suci untuk mengarungi bahtera rumah tangga sakinah mawaddah waramah yang ternoda sebelum niat suci tersebut terlaksana, bukan hanya dialami oleh anak muda di atas. Beberapa kasus yang hampir serupa penulis temui pula pada beberapa pasang anak muda lainnya. Ada yang beberapa hari menjelang pernikahan seperti di atas, ada yang sebulan sebelum akad nikah dilangsungkan, ada yang dua bulan atau tiga bulan sebelum acara suci tersebut dilaksanakan. Mereka berbeda dengan pasangan-pasangan yang menikah karena “kecelakaan” dan berbeda sama sekali dengan orang-orang yang hidup bebas tanpa ikatan pernikahan.

Mereka telah merencanakan suatu kehidupan suci untuk membentuk keluarga sakinah mawadah waramah. Namun di tengah jalan, sebelum kehidupan suci tersebut mereka lalui, mereka “tanpa sadar” telah menodai kesucian niat suci yang mereka ikrarkan. Kondisi ini mungkin lebih berat daripada kondisi orang-orang yang sebelum ketemu pasangan dalam rumah tangga mereka telah terjerumus melakukan pergaulan bebas dengan orang lain, dan kemudian mereka insyaf lalu menikah dengan orang lain. Suatu perbuatan masa lalu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, seringkali menghantui alam bawah sadar seseorang. Seorang yang melakukan perbuatan “terlarang” dengan orang lain mungkin tidak akan seberat orang yang pernah melakukan perbuatan “terlarang” dengan pasangan “syah” nya sendiri. Orang yang taubat dan telah melakukan perbuatan “terlarang” dengan bukan pasangan “syah”nya akan berkurang rasa penyesalannya karena tidak menemui orang yang pernah melakukan dosa bersamanya, sedangkan orang yang melakukan dengan orang yang saat ini telah menjadi pasangan “syah”nya setiap dia ingat dosanya dia akan menemui orang yang pernah bersama melakukan dosa dengannya.

Oleh karena itu, saya sering menghimbau kepada pasangan-pasangan muda yang telah merencanakan pernikahan mereka, tetapi dilakukan dengan jarak waktu yang cukup panjang karena berbagai macam “persiapan” yang harus dilakukan sebelum pernikahan itu sendiri dilakukan, untuk menjaga diri mereka untuk tidak terlalu sering berdua-duaan karena syetan tidak pernah relah melihat anak manusia hidup dengan kesucian. Banyak dari mereka yang merasa yakin bahwa mereka cukup kuat dengan iman yang dimiliki. Namun pada akhirnya, anak-anak manusia yang yakin dengan keimanan mereka tadi, tidak sedikit yang terjerembab menodai ikrar suci yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu, Al Qur’an secara tegas menyatakan bahwa jangan kau dekati zinah. Jadi bukan hanya zinah yang dilarang. Berdua-duaan di tempat yang tak terawasi merupakan pintu untuk mendekati zinah bahkan zinah itu sendiri.

Ketaatan beribadah seseorang tidak menjadi jaminan, bahwa syetan tidak akan menggoda mereka. Semakin kuat iman seseorang akan semakin kuat syetan yang diutus untuk menggoda anak manusia yang sedang berdua-duaan sebelum ikrar suci mereka terlaksana. Akhirnya penyesalan datang karena mereka tidak sempat menikmati malam pertama mereka nan suci. Kondisi tersebut ibarat seorang yang berpuasa sedang menunggu bedug maghrib, tetapi tergoda menikmati makanan yang disiapkannya untuk berbuka puasa menjelang azan maghrib berkumandang. Nauzubillah min zalik.

Penulis: MERZA GAMAL
(Tulisan ini kupersembahkan untuk “anak-anakku” yang sedang menanti pelaksanaan ikrar suci mereka)