Rabu, 04 November 2015

Pedulikah Kita Membiarkan Apa Yang Terjadi...???



Saya pernah 14 tahun bergabung dengan dunia perbankan syariah. Pada saat awal sulit mencari insan yang mau bergabung bahu membahu membangun perbankan syariah sebagai aplikasi Ekonomi Islam di Negeriku Tercinta Indonesia. Penyebabnya adalah masih kecilnya gaji bekerja di perbankan syariah dan belum jelasnya pertumbuhan bank syariah ke depan. Namun berbeda dengan 5 tahun terakhir, bekerja di bank syariah telah menjadi pilihan. Gaji & fasilitas tidak kalah dengan di bank konvensional. Tapi sayang niat dan tekad pun ikut berubah mengikuti kondisi perkembangan zaman.
Sekarang yang dituntut adalah pertumbuhan angka, bukan sejauh mana kesesuaian syariah dalam perkembangan maqasid syariah.
Sekarang semakin menjamur lembaga-lembaga konsultan perbankan syariah yang mengajarkan bagaimana penerapan akad dalam bisnis keuangan syariah. Dan lembaga ini sangat menguntungkan dan profit oriented.
Namun sangat disayangkan, sebagian pihak yang berkecimpung di dunia keuangan & perbankan syariah seakan-akan lupa bahwa based keuangan syariah bukanlah monetary, tapi berbasiskan underlying transactions.
Dan banyak yang lupa membekali para pelaku keuangan & perbankan syariah dengan akidah syariah itu sendiri, tetapi semata-mata membekali para pelaku hanya dengan hitung-hitungan angka di atas kertas saja...
Lalu, sekarang apa bedanya perbankan syariah dengan perbankan non syariah...???
Belum lagi semakin banyaknya pelaku fraud di dunia perbankan syariah.
Apakah ini yang kita banggakan dengan berkembangnya perbankan syariah di Negeri Tercinta Indonesia...???
Atau kita memang berharap perbankan syariah hancur atau tidak ada lagi di Tanahair Tercinta Indonesia...???
Tapi ingat, kehancuran lembaga perbankan syariah di Negeriku Tercinta Indonesia, bukan hanya akan merugikan lembaga dan para pegawainya, tapi secara politis akan menghancurkan sendi-sendi ekonomi berbasiskan Islam di negeri ini. Semua orang akan bersorak, bahwa memang Islam tidak becus membangun ekeonomi...
Siapa yang bersalah....????
Kita semua yang mengaku bergerak dalam Masyarakat Ekonomi Syariah, tapi terlena semata-mata dalam mencari keuntungan dengan embel-embel syariah.
Saya hanya bisa berharap, mari kita tatap masa depan ekonomi Islam, dan bangkit kembali dengan niat awal mendirikan lembaga perbankan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi & keuangan Islam dengan tujuan membangun maqasid syariah di Negeri Tercinta Indonesia, bukan sekedar memenuhi ambisi pribadi tanpa peduli dengan akidah syariah itu sendiri...

Terus Semangat!!!
Tetap Semangat...

Selasa, 31 Maret 2015

Transformasi Modal Ekonomi Menjadi Modal Cultural



Dalam kehidupan nyata terbentuk adanya hirarki kelas social berdasarkan pada perbedaan tingkat ekonomi. Si kaya berada di tingkat atas, dan seterusnya menurun ke bawah sampai tingkat yang termiskin.
Orang kaya di tingkat atas menentukan symbol status berdasarkan kemewahan, eksklusifitas, dan selebritas. Masyarakat yang ada pada strata di bawahnya berharap bisa menjadi orang kaya dan tekenal, sehingga mereka ingin meniru pola konsumsi orang yang berada pada kelas di atasnya dan ini akan menciptakan permintaan symbol status.
Oleh karena itu, terciptalah peluang pasar untuk merancang penawaran yang aspiratif dan sesuai dengan aturan cultural dalam hal kemewahan, eksklusifitas, dan selebritas yang menampilkan kesan kemakmuran.
Namun perlu diiingat  bahwa konsumsi status tidak hanya terdiri dari persaingan para elit ekonomi dalam mengejar kemewahan dan popularitas (atau dikenal sebagai modal ekonomi), tetapi juga persaingan para elite budaya dalam meraih cita rasa yang tinggi dan khas (disebut sebagai modal cultural).
Perubahan demografis akan turut mengubah konsumsi status kalangan menengah ke atas. Perjuangan untuk meraih modal cultural pada kalangan ini menjadi jauh lebih penting daripada beberapa generasi masyarakat menengah ke atas di era sebelumnya.
Aturan budaya baru menjadi minat  bagi kalangan menengah ke atas  sebagai sarana untuk menyampaikan kecanggihan cultural, termasuk kosmopolitanisme dan seni artistik. Aturan kecanggihan cultural ini dirintis oleh sub culture dan gerakan elite. Sub culture ini memberikan materi cultural baku untuk menghasilkan inovasi cultural yang menetes ke tingkat hirarki kelas cultural di bawahnya dengan cara yang sama dengan motivasi orang yang mendapatkan barang mewah berdasarkan model kelas social konvensional. Dinamika inovasi ini dikenal sebagai model tetesan cultural.
Pada kelompok modal ekonomi, peningkatan taraf hidup seseorang ditentukan dengan peningkatan strata social hingga mencapai tingkat “kehidupan yang mapan”, yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumsi konvensional, seperti rumah besar yang bagus, mobil keluaran terbaru, alat elektronik tercanggih, dan barang-barang mewah lainnya.
Transformasi dinamika strata masyarakat terjadi dari orang yang hanya memikirkan kekayaan ekonomi menjadi masyarakat yang berpikir secara multidimensi untuk mendapatkan keunggulan cultural. Dalam transformasi ini terbentuk generasi strata social 

Dalam kehidupan nyata terbentuk adanya hirarki kelas social berdasarkan pada perbedaan tingkat ekonomi. Si kaya berada di tingkat atas, dan seterusnya menurun ke bawah sampai tingkat yang termiskin.
Orang kaya di tingkat atas menentukan symbol status berdasarkan kemewahan, eksklusifitas, dan selebritas. Masyarakat yang ada pada strata di bawahnya berharap bisa menjadi orang kaya dan tekenal, sehingga mereka ingin meniru pola konsumsi orang yang berada pada kelas di atasnya dan ini akan menciptakan permintaan symbol status.
Oleh karena itu, terciptalah peluang pasar untuk merancang penawaran yang aspiratif dan sesuai dengan aturan cultural dalam hal kemewahan, eksklusifitas, dan selebritas yang menampilkan kesan kemakmuran.
Namun perlu diiingat  bahwa konsumsi status tidak hanya terdiri dari persaingan para elit ekonomi dalam mengejar kemewahan dan popularitas (atau dikenal sebagai modal ekonomi), tetapi juga persaingan para elite budaya dalam meraih cita rasa yang tinggi dan khas (disebut sebagai modal cultural).
Perubahan demografis akan turut mengubah konsumsi status kalangan menengah ke atas. Perjuangan untuk meraih modal cultural pada kalangan ini menjadi jauh lebih penting daripada beberapa generasi masyarakat menengah ke atas di era sebelumnya.
Aturan budaya baru menjadi minat  bagi kalangan menengah ke atas  sebagai sarana untuk menyampaikan kecanggihan cultural, termasuk kosmopolitanisme dan seni artistik. Aturan kecanggihan cultural ini dirintis oleh sub culture dan gerakan elite. Sub culture ini memberikan materi cultural baku untuk menghasilkan inovasi cultural yang menetes ke tingkat hirarki kelas cultural di bawahnya dengan cara yang sama dengan motivasi orang yang mendapatkan barang mewah berdasarkan model kelas social konvensional. Dinamika inovasi ini dikenal sebagai model tetesan cultural.
Pada kelompok modal ekonomi, peningkatan taraf hidup seseorang ditentukan dengan peningkatan strata social hingga mencapai tingkat “kehidupan yang mapan”, yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumsi konvensional, seperti rumah besar yang bagus, mobil keluaran terbaru, alat elektronik tercanggih, dan barang-barang mewah lainnya.

Transformasi dinamika strata masyarakat terjadi dari orang yang hanya memikirkan kekayaan ekonomi menjadi masyarakat yang berpikir secara multidimensi untuk mendapatkan keunggulan cultural. Dalam transformasi ini terbentuk generasi strata social yang menghargai nilai-nilai cultural sama seperti menghargai materi. Namun status mereka lebih mendekati keunggulan cultural daripada generasi sebelumnya.
Generasi ini ingin meniru para elite cultural, di samping ingin menjadi orang kaya dan berkuasa. Mereka berjuang untuk menciptakan gaya hidup yang estetik, lebih canggih, dan lebih kreatif daripada generasi orangtua mereka. Fenomena demografis ini dikenal sebagai kelompok modal cultural.
Pengaruh dari munculnya kelompok modal cultural ini adalah berkembangnya pengusaha yang mampu menciptakan pertumbuhan bisnis yang pesat dan menawarkan ekspresi konsumsi yang modern. Beraneka macam produk, mulai dari hotel, otomotif, busana, makanan dan minuman, perabotan, hingga ke produk elektronik memanfaatkan peluang pemikiran ini.
Agar dapat memenuhi permintaan barang dan jasa yang sarat akan modal cultural, para pengusaha mengeksploitasi bahan baku yang dipasok oleh beberapa kelompok sub culture di tataran atas hirarki modal cultural dan mengestafetkan ke tingkat di bawahnya.
Model bisnis estafet modal cultural bekerja melalui inovasi cultural yang sangat cepat untuk asuk ke dalam pasar dengan cepat untuk memasarkan produk yang mengalahkan produk lainnya yang terkenal di kalangan masyarakat atas. Pembangunan model bisnis estafet modal cultural bukan hanya meniru kalangan kelas atas, tetapi juga harus mampu menciptakan inovasi modal cultural yang memerlukan penyesuaian dan pemahaman mendalam tentang pemikiran, mitos, dan aturan cultural sub culture elite, serta demokratisasi aturan yang dilakukan dengan cermat untuk menciptakan pengalaman yang terbaik dan terjangkau.
Sebuah perusahaan yang berhasil memasukan merk mereka ke dalam model bisnis estafet modal cultural harus mampu memahami kekuatan apa yang dapat dipertahankan sebagai pemimpin pasar. Untuk mempertahankan posisi terdepan, sebuah merk harus selalu melakukan inovasi cultural secara bertahap (dan rentan ditiru oleh pesaing) dengan menyesuaikan diri dengan aturan konsumerisme etis agar tidak terjadi perubahan yang mengancam pangsa pasarnya.


Penulis: Merza Gamal
Corporate Culture Specialist 


Caution: The information enclosed in this email (and any attachments) may be legally privileged and/or confidential and is intended only for the use of the addressee(s). No addressee should forward, print, copy, or otherwise reproduce this message in any manner that would allow it to be viewed by any individual not originally listed as a recipient. If the reader of this message is not the intended recipient, you are here by notified that any unauthorized disclosure, dissemination, distribution, copying or the taking of any action in reliance on the information herein is strictly prohibited. If you have received this communication in error, please immediately notify the sender and delete this message. Unless it is made by the authorized person, any views expressed in this message are those of the individual sender and may not necessarily reflect the views of PT Bank Syariah Mandiri. No representation is made that this e-mail and any files attached are free of viruses or other defects. Virus scanning is recommended and is the responsibility of the recipient.

Minggu, 22 Februari 2015

Pilihan Jalan Hidup


Perjalanan hidup kita akan ditentukan oleh pilihan arah tujuan yang kita tetapkan. Demikian pula dalam mencapai kesuksesan kita di dunia ini, cara mana yang mau kita gunakan menyebut kan kesuksesan kita.

Kita bisa mencapai sukses dengan menjalankan "idealisme" kita, dan bisa pula dengan jalan menjadi "pecundang". Namun satu hal yang harus kita ingat, jika kita ingin menjalankan "idealisme", maka jadilah seorang idealistic sejati. Dan, jika kita memilih menjadi seorang "pecundang", maka jadilah seorang pecundang sejati. Jangan memilih setengah-setengah di antara keduanya.

Bila kita memilih menjadi idealistic sejati, mungkin saja kita tidak mencapai puncak kesuksesan dalam arti "material", karena akan banyak pecundang yang senantiasa "membungkam" kita. Tapi, seorang idealistic sejati akan menggantungkan hidupnya kepada Sang Maha Pencipta, bukan kepada makhluk, maka hidupnya senantiasa dilindungi oleh Allah, walau secara materi mungkin dia tidak berlebihan. Hidupnya akan tenang, tak banyak gejolak, bagai air jernih yang mengalir ke muara.

Berbeda dengan jika kita memilih jalan sebagai pecundang sejati, mungkin saja secara "material" kita berlebihan, tapi hidup kita penuh dengan ketidaktenangan. Semua itu karena sebagai pecundang, gantungan hidup kita adalah sesama makhluk. Ketenangan kita selalu terusik, hidup penuh ketakutan akan dipecundangi oleh setiap orang. Setiap ganti atasan atau pemimpin, kita harus pandai berakrobat agar kursi kita tak digeser. Hidup kita bagai di atas bara api yang setiap saat siap meledakkan percik api.

Hidup adalah pilihan, mau memilih jadi seorang idealistic atau menjadi seorang pecundang adalah pilihan kita masing-masing. Namun ingat jangan memilih setengah-setengah jika kita mau meraih sukses di dunia fana ini...

Sabtu, 21 Februari 2015

Benarkah Setiap Masalah Adalah Ujian Allah




Seringkali kita menyebut bahwa masalah yang kita hadapi adalah ujian dari Allah. Tapi ingatkah sahabat pada saat kita sekolah atau kuliah dulu? Apakah setiap orang boleh mengikuti ujian? Bukankah kita harus mengikuti pelajaran dan menyelesaikan sejumlah tugas, baru kita bisa ikut ujian?

Pada saat kuliah, kita baru bisa ikut ujian setelah mengumpulkan absen perkuliahan minimal 80%, bahkan ada yg mensyaratkannya minimal 90%, dan mengumpulkan tugas perkuliahan per semester.

Lantas, benarkah jika kita menyatakan masalah yang sedang kita hadapi adalah ujian dari Allah? Sementara kita tak pernah mengikuti pelajaran dari Allah dan mengumpulkan tugas-tugas yang diberikan-Nya kepada kita sebagai syarat layaknya kita mengikuti ujian...???

Pantaskah kita mengaku-aku sedang diuji oleh Allah sementara kita tidak pernah terdaftar di"sekolah"Nya dan tak pernah menginjakkan kaki di "kampus"Nya, serta tak pernah tahu dengan "tugas-tugas" dari-Nya yang harus kita kumpulkan agar kita memenuhi syarat mengikuti "ujian"Nya...???