Selasa, 30 Juli 2013

Continuous Improvement

Continuous Improvement (CI) is a basic philosophy on how to achieve optimal quality standards through systematic corrective steps and implemented on an ongoing basis. CI is more emphasis on some simple remedial actions conducted continuously but which would then grow a lot of ideas or innovation as a solution to the problems that arise. Such actions are not only made for one year or a monthly activity, but rather an ongoing basis and is done by every person in the organization from top management to the employee base. For example, in Japanese companies, such as Toyota and Canon, every employee provide written suggestions for improvements of 60-70, then presented and discussed, and then implemented.Continuous Improvement philosophy is the transformation of the concept of "Kaizen", which fix any errors that appear in the production process and gradually begins to correct errors of up to a little until there was found no error in the production process (zero defect). 

Islamic teachings also recognize the concept of Continuous Improvement. In the Qur'an states that "... Allah does not change the state of a people so that they change the existing situation on themselves. ... "(Surah Ar-Ra'd / 13:11).

Hadith the Prophet also said that if the conditions are the same today as yesterday was a loss and if the conditions are worse then a crash. In addition, the Prophet taught that "the best work is done full diligence although little by little" (Tirmidhi Hadith history). The hadith teaches that a little work is done constantly and professional better than a great work that is done is seasonally and not professional. Thus the spirit of Continuous Improvement greatly encouraged in Islam. 

Continuous Improvement concepts can be applied to any type of company, including Islamic Financial Institutions. The advantage is the application of Continuous Improvement process will be the formation of oriented paradigm of thinking and a culture of innovation within the company. Some barrier application of Continuous Improvement within a company is a process that has not been perfect job, knowledge in a work environment that is not shared atu distributed, more focused on technology than the needs or the ability of users to work.

To implement Continuous Improvement should be taken four basic stages, namely:
1. Companies must be able to define a useful management processes and useful not just generic, but also able to explain the work flow of a clear, step-by-step description of the work, and the identification of clear guidance, resources, information, methods to be used, and a mechanism to help each other each other;
2. The need for a shared understanding between the unit and the unit IT users by collaborating in determining not only the latest technology but also can be adopted by the user unit;
3. Using existing resources within the organization to explore more deeply and to share this knowledge to all personal; 
4. Forgive human error because it can be improved through the management, coaching, training, and experience in the world of sustainable business.

 After the four basic stages passed, the Continuous Improvement process can be applied very well so there was found no error (zero defect) in the production process. Thus expect an outcome without errors (zero defect) without going through the process of Continuous Improvement will only be wishful thinking. Implementation of Continuous Improvement in general, would be beneficial to reduce costs and improve performance possible in the creation of a better working environment.

Author: Merza GAMAL (Islamic Socio-Economic Observer)

Rabu, 24 Juli 2013

As with the impact of Commodity Money

Beginning of the functions of money are as a medium of exchange (medium of exchange) and the unit value (unit of account). Then, in the 17-18 century, the capitalist adds another function of money as a store of value (store of value), which later evolved into the demand for money motive Speculation that alter the function of money as a commodity trading.

Much earlier, Imam al-Ghazali in the 11-12 century, has warned that "money is like imprisoning Trading functions of money, if the money being traded, undoubtedly stay little money that can serve as money." In the Islamic concept, money is not included in the utility function because of the benefits that we get the money instead of directly, but rather from its function as an intermediary to convert an item into another item. The impact of changes in the function of money as a medium of exchange and unit value of becoming a commodity we can feel now, which is known as the theory of "Economic Bubble Gum."

But actually, these impacts have been reminded by Ibn Tamiyah who was born in the reign of the Mamluk Bani year 1263. Ibn Tamiyah in his book "Majmu 'Fatwa of Shaykh al-Islam) delivered an important warning about the five items as commodity money, ie:
1. Trade money will trigger inflation;
2. The loss of confidence in the stability of the currency value will discourage people to do long-term contracts, and oppressing class income earners remain as an employee / employees;
3. Domestic trade will decline because of concerns the stability of the value of money;
4. International trade will decline;
5. Precious metals (gold & silver) which had previously been intrinstik value of the currency will flow out of the country.

In the 14th century, Ibn Khaldun in the book "Prolegomena" explains that the wealth of a country is not determined by the amount of money in the country, but is determined by the level of production and the country's balance of payments is positive. If a country prints money as much as possible, but it is not a reflection of the rapid growth in the production sector, hence the abundance of money has no value. The amount of money that is not in accordance with the value of the resulting production of a country known to cause inflation and bubble gum economics, which eventually led to a multi function crisis. Driver of a country's development is the production sector, not the monetary sector, because the production sector will provide employment, increase labor income, and generate demand (market) to other production.

For that, let us turn to the actual function of the money that has been executed in the Islamic concept, ie, as a means of exchange and unit of value, not as a commodity, and realized that the real money is just as intermediaries to make an item to another item.


Author: Merza GAMAL (Islamic Socio-Economic Observer)

Selasa, 23 Juli 2013

Ironi Kehidupan Ramadhan

Ramadhan sudah berlalu separuh waktu. Ada fenomena yang amat paradok. Getir dan menyayat. Setiap batin. Siapa saja yang masih mempunyai hati. Hari-hari ini Jakarta semakin dipenuhi oleh gelandangan dan pengemis. Entah dari mana mereka. Setiap sudut jalan di Jakarta. Pasti menemukan pengemis, pengamen, dan pemulung. Jumlahnya tak sedikit. Mereka menyeruak. Di tengah-tengah kehidupan Jakarta. Kehidupan yang egois. Di jalan-jalan, di angkutan, di emper-emper toko, di kereta, di pasar-pasar, dan di kolong-kolong jembatan, dan tempat keramaian, mereka mencari kehidupan.

Di mana-mana melihat pemandangan para pemulung yang membawa keluarganya, anak-anak dan isteri, sambil mendorong gerobak. Anak dan isteri mereka wajahnya pias dan letih, mengarungi sepanjang jalan, di tengah padatnya Jakarta. Mereka terkadang tidur di jalan-jalan. Di emper-emper toko. Di stasiun kereta. Dan, di kolong-kolong jembatan. Mereka mengejar harapan. Mereka mengejar belas kasihan. Mereka mengejar kemurahan dan keramahan. Mereka mengejar orang-orang yang masih mempunyai hati. Mungkin itu hanya ilusi. Ilusi orang-orang yang tersisih dalam kehidupan.Ramadhan.

Jakarta tetap padat dan sibuk. Seperti tak nampak Ramadhan. Kehidupan malam. Tak berubah. Hotel-hotel, tempat hiburan, café, dan tempat-tempat keramaian, terus dibanjiri pengunjung. Plaza. Semakin penuh pengunjung. Orang berbelanja ramai. Mereka membawa belanjaan. Tak kira-kira. Belanjaan yang aneka ragam. Orang-orang yang berduit tak peduli. Mereka menumpuk makanan. Seakan besok terjadi prahara. Mereka sudah mempersiapkan hari lebaran (idul fitri). Pakaian dan baju. Mereka mempersiapkan dan memilih. Apa saja yang mereka inginkan. Mereka sudah memilih tempat-tempat berlibur bersama keluarga. Sebagian pergi keluarga negeri. Inilah kehidupan yang paradok.Hotel-hotel dan café ramai.

Menjelang maghrib. Orang-orang yang berduit berkelompok dan berdatangan. Mereka menikmati berbagai macam hidangan. Setiap hotel dan café menyelenggarakan acara buka puasa. Kalangan ekskutif, politisi, birokrat, pengusaha, dan sejumlah artis, menyelenggarakan acara buka puasa, di tempat-tempat yang mewah. Makanan berlebih. Makanan serba nikmat dan lezat.

Di rumah-rumah keluarga menyelenggarakan acara berbuka. Mereka berkumpul. Menikmati suasana Ramadhan. Kadang-kadang makanan yang berlebih dibuang di tempat sampah. Sisa-sisa makanan itu, yang terbuang disampah, dinikmati para pemulung, dan gelandangan.Ramadhan baru lewat separuh, ritme ibadah semakin menyurut.

Masjid-masjid mulai ditinggalkan jamaahnya. Sebagian masjid jamaahnya sudah tidak sampai separuh. Tak terdengar suara orang bertadarus. Membaca al-Qur’an. Sepi. Anak-anak muda hanya duduk-duduk. Ngobrol. Di malam hari lebih banyak mereka berkeliaran berboncengan motor atau mengendarai mobil, tak tentu arah. Laki dan perempuan. Mereka bukan muhrimnya. Ini menandakan kehidupan umat Islam mulai luruh. Masjid jamaahnya yang tersisa, tinggal orang-orang tua. Anak-anak mudanya tak lagi tertarik. Remajanya, bermain, berlari sambil membunyikan petasan. Kekusyukkan beribadah tak nampak.

Tak banyak lagi yang memperhatikan kehidupan remaja. Orangtua juga tidak. Orangtua hanya mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Anak-anak tidak dididik dengan agama dengan ketat. Anak-anak dibiarkan menemukan jalan hidup mereka sendiri-sendiri. Mereka kehilangan identitas dan simbol-simbol Islam. Secara perlahan-lahan mereka hanya tinggal status sebagai penganut Islam. Gaya hidup dan kebiasaan mereka sudah berubah. Karena tak pernah mendapat sentuhan Islam. Mereka mereguk kehidupan modern dengan cara mereka sendiri.

Lebih ironi lagi. Mereka yang dahulu sangat sibuk mengurusi anak-anak muda, dan memberikan arahan, membina, dan mendidik, kini mereka tak nampak lagi. Mereka telah pergi. Pergi menjalani peran baru. Mereka menjadi politisi. Mereka sibuk dengan urusan poliltik. Mereka sibuk dengan urusan kekuasaan. Mereka sibuk dengan hitungan-hitungan angka. Mereka sibuk. Sangat sibuk. Mereka mereguk dan menikmati hasil kekuasaan. Mereka menikmati kehidupan baru. Mereka menikmati dengan peran baru itu. Mereka tak tertarik dengan peran yang lama. Mengarahkan, membina dan mendidik anak-anak muda, yang sangat menentukan masa depan. Mereka memilih hasil yang cepat dan konkrit, dan segera dinikmati. Mereka tak lagi memerlukan peran masa lalu. Inilah jalan menuju bencana bagi masa depan Indonesia.

Semakin banyak orang miskin. Semakin banyak orang yang tersisih dalam kehidupan. Semakin banyak orang yang tidak mengenal agama (Islam). Semakin banyak orang yang ‘riddah’ (murtad). Karena berubahnya orientasi kehidupan. Berubah secara hakiki. Mereka tak faham dan mengerti tentang hakekatnya kehidupan. Mereka tak memahami nilai-nilai kehidupan. Mereka tak memahami dan mengerti tentang hakekat Islam. Mereka tak mendapatkan alternatif, yang dapat menjawab masa depan mereka.

Dari tahun ke tahun Ramadhan tak mempunyai makna apa-apa. Tak mengubah kualitas kehidupan umat. Mereka justru menjadikan Ramadhan sebagai tradisi. Bukan sebuah sarana memperbaharui kehidupannya. Menuju kehidupan baru. Sebagai orang-orang yang muttaqien. Orang-orang yang saling mengasihi. Orang yang saling menguatkan iman saudaranya. Sesama muslim. Ramadhan akan berakhir. Dan, orang semakin sibuk mengejar kehidupan dunia...

Selasa, 16 Juli 2013

Working in the spirit of Islamic Teachings

Islam requires every individual living in the community is worth as a human being, at least he was able to meet basic needs such as food and clothing, a job according to their expertise, or a foster home with enough stock. That is, for every level of life that must be provided in accordance with the conditions, so it is able to perform a variety of duties which Allah imposed as well as various other tasks.

To realize this, Islam teaches, every person is required to work or do business, spread on the face of the earth, and utilizing the provision of sustenance Allah as his word: "He who made the earth's easy for you, so they went up at every turn and eat part of his sustenance. And unto Him you shall (after) are raised. "(Surat al-Mulk: 5)The word "work" in the verses of the Qur'an as a business means a person who, either alone or with others, to produce a commodity or provide services (Qhardawi, 1977). Working or doing business is the main weapon to fight poverty and is also a major factor to earn income and an important element for the prosperity of the earth with humans as God's caliph permission.
Islamic teachings, get rid of all the factors that inhibit a person's barriers to work and do business in the face of the earth. Many idealistic teachings of Islam that motivates a person, often a counter-productive in its practice.

Doctrine "tawakkal" is often interpreted as a resignation does not mean leaving work and effort that is a means to obtain sustenance. Prophet Muhammad, in a Hadith, really appreciate the "work", as one hadith that reads, "If you "tawakal" to God with true resignation truth, God will give you provision as He gives sustenance to the high flying bird from its nest on morning with an empty stomach and go home in the afternoon with a full stomach. "

The above hadith is actually encouraging people to work or do business, and even have to leave the residence in the morning to make a living, not vice versa resigned silence in place just waiting for the availability of the necessities of life. This is exemplified by the companions of the Prophet Muhammad who trade by land and sea with persistent and tenacious. Their work and try to match the skills and expertise of each.

In several verses in the Qur'an, Allah has guaranteed sustenance in one's life, but will not be obtained unless the work or try to, among others, in Surah Al-Jumu'ah verse 10, it is stated: "If the prayer has been fulfilled, then bertebaranlah in earth and seek the grace of God, and remember God a lot that you prosper. "This shows that Islam calls for a high work ethic to fulfill his desire for his people, not merely by praying. Even to motivate trading activity (business), the Prophet SAW said: "Traders are straight and honest will eventually live with the prophets, siddiqin, and the martyrs." (Tirmidhi).

And in another hadith the Prophet Muhammad stated that: "The most excellent food eaten by a person is the result of his own efforts." (Bukhari)

Islam also teaches that when job opportunities or seek shelter at home (my hometown) is closed, then the people who experience it is recommended migrate (hijrah) to improve the conditions of life for the earth of Allah spacious and His provision is not limited to one place, as the Word of God: "He who emigrate in the way of Allah, they would find a place on this earth moved wide and in abundance ......" (Surah an-Nisa ': 100)

In fact, the hadith of the Prophet SAW said that if a person dies in his adopted would be greatly appreciated. For that, he will be rewarded in heaven equal to the distance between the place of his birth to his death place.

Islamic teachings, very motivated person to work or try, and strongly opposed to begging (begging) to others. Islam does not allow the unemployed and the idler accept charity, but people need to be encouraged to work and search for sustenance is halal as the Prophet Muhammad hadith that reads, "If a person begging treasure to someone else to collect it, she actually begging embers. Should he collect his own property." (Muslim)

Islamic teachings, gave a stern warning in terms of begging, as expressed by Ibn Qayyim, that beg to others is an act of injustice against Rabbul'alamin, the right place to ask, and the beggar right itself. Rabbul'alamin despotic action of the right means to ask, hope, humiliating yourself, and subject to other than Allah. He put something out of place, something not present to the beneficiary, and apply unjust towards monotheism and sincerity.

Apply wrongdoers to ask where it means oppressing people who asked for by request, he confronts the man who asked the tough choice between fulfilling his request or reject it. If the person had complied with his request, it is likely accompanied by resentment. But if not given, the person will feel ashamed. While the prevailing unjust to yourself means insulting yourself a beggar, not subservience to the Creator, degrading themselves, and are willing to bow their heads to their fellow creatures. He sold patience and neglect action to prevent yourself from begging to others.

In alleviating poverty, Islam does not solve the problem by providing material assistance to meet immediate needs, but try to involve the poor to actively overcome difficulties in addition to providing a solution that works. Islam leads the poor to utilize all the potential and directs all its might, no matter how small. Islam forbids someone begging while he has something that can be used to open up employment opportunities that will meet their needs.

Islam teaches, that all efforts to bring sustenance is halal is a noble thing, though sustenance was hard earned rather than begging and begging to others. Islam guiding someone to do the work in accordance with the personality, ability, and environmental conditions, and not let the weak be adrift without a handle.Islamic societies, both the ruler and the people, was asked to mobilize all its potential to eliminate poverty. They should make use of all the wealth, human resources and natural resources, which will increase the production and development of various sources of wealth in general that will impact the people of poverty alleviation.

Muslims asked to join hands to eliminate all defects that can damage the building society. Islamic societies are required to create jobs and open the door to try to (do business). In addition, it also must prepare experts who will handle the job. This is a collective obligation of Muslims. However, the reality in the Islamic community today is very far from the ideals of Islam taught in motivating a person to be successful in life.

Author: Merza Gamal (Islamic Socio-Economic Observer)

Jumat, 28 Juni 2013

Used Nail Holes


One time, there was a boy who is grumpy. To reduce the child's angry behavior, his father gave a bag of nails and told the boy to nail a nail that dip behind the house every time he gets angry.

The first day the boy nailed 48 nails into the fence every time he gets angry. Then gradually the amount reduced. He found that are easier to hold his temper than tack nails into the fence.

Finally the day came when the boy was able to control his temper at all and did not lose his temper quickly. He told this to his father, who then suggested that he pull out one nail every day when he is not angry.

The days passed and the boy was finally tell his father that all the nails have been uprooted by it. Then the father led his son to the fence. "Well, you have succeeded with both my son, but, look at the holes in the fence. Fence will never be the same as before." When you say things in anger. Your words leave marks like these holes on the hearts of people. "

"You can stick a nail in someone, then pull out the nail. But no matter how many times you're sorry, the wound will still be there and the wound because the words are just as bad as physical injury ..."

Senin, 13 Mei 2013

Dampak Uang Sebagai Komoditi


Awal mula fungsi uang adalah sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Kemudian, pada abad ke 17-18, para kapitalis menambah  satu lagi fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan.

Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali pada abad ke 11-12, telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.” Dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic.”

Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam) menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :
1.   Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2.   Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan;
3.   Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang;
4.   Perdagangan internasional akan menurun;
5.   Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinstik mata uang akan mengalir keluar negeri.

Pada abad ke-14, Ibnu Khaldun dalam kitab “Muqaddimah” menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Jumlah uang yang tidak sesuai dengan nilai produksi yang dihasilkan suatu negara dikenal menyebabkan terjadinya inflasi dan bubble gum economics, yang pada akhirnya menyebabkan multi function crisis. Penggerak pembangunan suatu negara  adalah sektor produksi, bukan sektor moneter, karena sektor produksi akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.

Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 01 Mei 2013

Human Capital Islami

Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani SDM yang handal harus dilakukan sebagai human capital.

Human capital, bukanlah  memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.

Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif,  dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana  yang  dikemukakan  dalam  Surah Al Ahqaaf  ayat 19,  Surah   Al Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.

Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (H.R. Tirmidzi). Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.

Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.

Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan SDM dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu capital bukan sebagai cost unit. Dengan demikian, penanganan SDM sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami.

Namun demikian, meskipun konsep sumber daya manusia sebagai human capital pada sebuah korporasi dianggap suatu hal yang positif dan merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi, sering kali dalam kenyataan di lapangan, hanya menjadi istilah yang tidak sesuai dengan idealitas. Seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi. 

Banyak korporasi sebagai organisasi saat ini, telah melupakan visi dan misinya yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang memiliki rasa kesetiaan. Kesetiaan usaha, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini dapat berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk. Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, dan pekerja hanya sebagai obyek sewa (outsourcing) tidak heran keresahan pekerja terhadap kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat.

Tindakan memperlakukan pekerja hanya sebagai obyek sewa merupakan pelemahan pembangunan loyalitas sumber daya manusia. Bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas akan dapat menjadi boomerang di masa depan. Rendahnya loyalitas sumber daya manusia akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. Sudah saatnya  kembali kepada ajaran Islam tentang human capital dan tidak menjadikan pekerja hanya sebagai unit cost guna mencapai cita-cita mengembangkan pembangunan ekonomi bangsa yang mensejahterakan umat.

    
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili atau terkait dengan lembaga dan pihak manapun


Selasa, 30 April 2013

Renungan Menjelang May Day

Seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi.  Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan”. Di samping itu menahan pekerja yang ingin keluar dari perusahaan juga dianggap sebagai akan membuat “besar kepala” seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi “biarkan satu pekerja anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan gaji yang lebih rendah akan datang menggantikan”.

Akan tetapi, bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas adalah merupakan sebuah tindakan melemahkan pembangunan loyalitas Sumber Daya Manusia. Tindakan tersebut akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. Manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi.

Namun demikian, banyak korporasi sebagai organisasi saat ini, telah melupakan visi dan misinya yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang memiliki rasa kesetiaan. Kesetiaan usaha, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini dapat berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk. Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, tidak heran keresahan pekerja terhadap kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru. Ketidakpastian kerja, bukan hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja kantoran. Kemajuan teknologi membuat perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau.

Konsep sumber daya manusia sebagai human capital pada sebuah korporasi, sering kali, hanya menjadi istilah yang tidak sesuai dengan idealitas. Idealnya penanganan human capital akan dapat membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagai bagian pembangunan bangsa. Namun seringkali, human capital, hanya  memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Seharusnya, penanganan pekerja sebagai human capital dapat menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.

Berubahnya situasi perekonomian saat ini juga memaksa pekerja menanggung risiko jauh lebih besar dari era ekonomi sebelumnya. Risiko yang mereka tanggung bukan hanya saat mereka bekerja tetapi juga pada saat pensiun. Para pekerja mengandalkan program dana pensiun untuk meningkatkan penghasilan mereka pada masa pensiun nanti. Dalam mengelola dana pensiun, agar mendapatkan hasil yang maksimal, lembaga dana pensiun mempertaruhkan dananya pada saham di pasar modal. Namun, seringkali mereka tidak sadar, bahwa  gelembung saham membuat laba menjadi tampak lebih besar dan membuat gelembung itu sendiri menjadi kian besar lagi. Dengan demikian, sebenarnya semua itu hanya sebuah fatamorgana yang tidak disadari bahwa akan dapat meletus pada suatu saat.
Anjloknya bursa saham, akan menyebabkan lembaga dana pensiun yang menempatkan dananya pada bursa saham akan langsung kekurangan dananya. Kondisi ini pada akhirnya akan berakibat buruk bagi pekerja yang memiliki dana pensiun tersebut, yang tadinya diinvestasikan untuk persiapan penunjang kehidupan mereka di kala sudah tidak dapat bekerja lagi.

Pada era ekonomi baru, saat ini, posisi kaum pekerja berada dalam posisi yang relatif kalah dibandingkan majikan mereka. Sebenarnya hal ini, harus menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan (majikan) tidak mengeksploitir asimetri kekuatan tersebut. Namun di dalam era ekonomi baru , kekuasaan sudah bergeser dari pemerintah kepada korporasi global. Kekuasaan korporasi semakin besar dan terpusat seiring berjalannya mekanisme merger dan akuisisi perusahaan. Akibatnya, tanpa disadari, sistem politik suatu negara semakin tergantung pada korporasi. Para kaki tangan korporasi global dapat mempengaruhi pembuatan semua peraturan pemerintah. Hal itu, berakibat semakin memperkuat hak korporasi, dan sebaliknya akan merugikan hak-hak asasi manusia.

Korporasi global yang mempunyai kekuasaan besar saat ini, bukan manusia atau  makhluk hidup. Ia merupakan sekumpulan yang tidak bernyawa atas hak dan hubungan keuangan yang dijaga secara hukum. Ia direkayasa secara pintar untuk mengabdi kepada uang berikut segala perintahnya. Uanglah yang mengalir dalam urat nadinya, bukan darah. Korporasi tidak memiliki jiwa dan kesadaran sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Pekerja pada korporasi, baik sebagai pegawai biasa maupun CEO dan pengelola keuangannya adalah kuli-kuli kecil yang dibayar untuk mempertahankan nilai-nilai korporasi dan melakukan perintahnya. Sebagai orang yang akan berperan dalam korporasi, pekerja dilatih dengan bahasa uang, sehingga untuk menentukan harga segala sesuatu dan menentukan setiap pilihan harus dapat dinilai dengan uang. Akibat bahasa uang, mereka pun dapat berubah menjadi “leviathan” di antara sesama pekerja. Pada akhirnya, pekerja akan menerima semua itu sebagai suatu kebenaran yang alamiah, sehingga pekerja pun dinilai semata-mata berdasarkan kinerja uang dan dimotivasi oleh dorongan uang belaka.



Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)



Senin, 18 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-8)


Identifikasi Kelemahan Kemitraan di Masa Lampau

Sebagaimana yang telah dipaparkan di bagian-bagian tulisan sebelumnya, bahwa sejak era pemerintahan orde baru telah banyak bentuk kemitraan yang dijalankan. Namun dari ratusan program kemitraan yang pernah dicanangkan, hanya sedikit yang berumur panjang, dan hampir-hampir tidak ada yan berkesinambungan. Di samping itu antara satu program dengan program yang lain berdiri sendiri-sendiri tidak dalam suatu koordinasi yang dapat menjadi sebuah keterpaduan program yang dapat memperkuat fondasi pembangunan yang kuat.
Beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kelemahan system kemitraan yang telah dilakukan di masa lampau, dapat dipaparkan secara singkat di bawah ini, sebagai berikut:
(1) kemitraan program pembiayaan dari pemerintah melalui perbankan kepada pelaku usaha mikro dan kecil banyak mendapat campur tangan dalam operasional oleh pihak pemerintah selaku pemilik program;
(2) kemitraan yang disertai pemberian kredit bersubsidi justru menjadi salah satu faktor kegagalan pembiayaan pada pelaku usaha mikro dan kecil, karena dana kredit tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha melainkan diinvestasikan atau dimanfaatkan dalam bentuk lain, bahkan lebih dinikmati oleh orang kaya dari pada pelaku usaha mikro yang seharusnya mendapatkan pembiaayaan usaha;
(3) kemitraan yang terbentuk antara pengusaha menengah dan besar dengan pelaku usaha mikro dan kecil tidak didasarkan prinsip saling membutuhkan, misalnya BUMN Pertamina membentuk kemitraan dengan usaha kerajinan, sehingga masing-masing tidak memiliki ikatan usaha yang dapat menumbuhkan hubungan saling membutuhkan;
(4) kemitraan yang terbentuk tidak disertai dengan prinsip keadilan distribusi nilai tambah dalam suatu sistem komoditas, misalnya pada kemitraan PIR kelapa sawit nilai tambah yang tercipta dalam sistem komoditas kelapa sawit diambil oleh industri pengolahan sedangkan petani hanya menikmati bagian nilai tambah yang sangat kecil;
(5) kemitraan yang terbentuk tidak disertai dengan prinsip transfer pengetahuan dan pengalaman sehingga tidak tercipta suatu sistem pembinaan dan pengalaman;
(6) kemitraan yang terbentuk tidak didasarkan pada prinsip bisnis, tetapi lebih terpaksa kepada memenuhi kewajiban yang digariskan oleh pemerintah;
(7) kemitraan yang terbentuk seringkali hanya sekedar sebatas rencana dan MOU, tetapi dalam tahap implementasi tidak mampu direalisasikan sesuai harapan;
(8) kemitraan yang terbentuk hanya sekedar jargon politik, jargon prestise pengusaha besar untuk publikasi, atau jargon moral belaka, sehingga kemitraan yang terbentuk seringkali terbukti hanya terbatas untuk seremonial belaka;
(9) kemitraan yang terbentuk hanya didasarkan pada paradigma yang sempit, yaitu hanya sekedar untuk membagikan bantuan kepada pelaku usaha mikro dan kecil tanpa pertanggungjawaban penggunaanya. Hal ini sangat tidak mendidik masyaraka untuk memiliki kemampuan dalam merencanakan dan memperbaiki masa depannya.
Dengan demikian, dalam membuat sebuah program kemitraan, harus mampu menghindari praktek-praktek tersebut di atas yang tidak menciptakan nilai tambah dari pengorbanan dana, waktu, dan tenaga untuk membangun suatu kemitraan. Oleh karena itu, untuk membangun kemitraan atas dasar prinsip bisnis yang saling membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat merupakan implementasi dari kebersamaan berusaha, bertumbuh dan berkembang bersama, bekerjasama sambil bersaing dan berkompetisi, serta keadilan dan keseimbangan dalam pembagian nilai tambah antara pengusaha menengah dan besar dengan pelaku usaha mikro dan kecil. Di samping itu perlu pula dipikirkan suatu kerangka kemitraan yang terpadu antar satu program dengan program kemitraan lainnya. Kemitraan tersebut melibatkan seluruh stakeholders dalam sebuah komunitas daerah. Sehingga dapat menjadi pilar-pilar dalam pembangunan ekonomi suatu daerah dengan memperhatikan dinamika sosial ekonomi yang terjadi pada daerah tersebut.  

T A M A T


13627053671237498514
Selanjutnya, perlu dipikirkan suatu kerangka kemitraan yang terpadu antar satu program dengan program kemitraan lainnya. Kemitraan tersebut melibatkan seluruh stakeholders dalam sebuah komunitas daerah. Sehingga dapat menjadi pilar-pilar dalam pembangunan ekonomi suatu daerah dengan memperhatikan dinamika sosial ekonomi yang terjadi pada daerah tersebut.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
 
 

Minggu, 17 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-7)


3.      Kemitraan Pola Keagenan
Pola keagenan merupakan bentuk kemitraan yang memberikan hak khusus kepada pelaku usaha mikro dan kecil untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau besar sebagai mitranya. Mitra  bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan, sedangkan usaha mikro dan kecil sebagai kelompok mitra berkewajiban untuk memasarkan, disertai target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

Keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha mikro dan kecil dalam pola keagenan yaitu memperoleh komisi atau fee dari hasil pemesaran produk dan jasa dari perusahaan menengah atau besar. Kelompok usaha mikro dan kecil sebagai agen dapat menjadi tulang punggung dan ujung tombak pemasaran usaha menengah dan besar. 

4.      Kemitraan Pola Dagang Umum
Pola dagang umum merupakan bentuk kemitraan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan menengah atau besar selaku perusahaan mitra dengan pihak usaha mikro dan kecil selaku pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan mitra.
Pola kemitraan ini memerlukan dukungan pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik pengusaha menengah atau besar dan pelaku usaha mikro dan kecil. Sifat dari kemitraan dagang umum ini adalah adanya jaminan harga atau produk yang dihasilkan dan kualitas sesuai dengan yang telah ditentukan atau disepakati. Kelemahan pola ini adalah pengusaha besar menentukan dengan sepihak harga dan volume yang sering merugikan pelaku usaha mikro dan kecil. Selain itu, seringkali produk usaha mikro dan kecil berbentuk konsinyasi pada perusahaan menengah dan besar (seperti departemen store dan hyper/ super market) dengan pembayaran yang tertunda. Kondisi ini sangat merugikan perputaran uang pelaku usaha mikro dan kecil yang terbatas. Sehingga akhirnya pertumbuhan usaha mikro dan kecil menjadi tidak optimal bahkan terhambat.

5.      Kemitraan Pola Waralaba
Pola waralaba merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok usaha mikro dan kecil selaku mitra usaha dengan perusahaan menengah dan besar yang memberikan hak lisensi, merk dagang, saluran distribusi disertai dengan bantuan bimbingan manajemen. Perusahaan mitra usaha sebagai pemilik waralaba bertanggungjawab terhadap system operasi, pelatihan, program pemasaran, merk dagang, dan hal-hal lain kepada pelaku usaha mikro dan kecil sebagai pemegang usaha yang diwaralabakan. Pemegang usaha waralaba hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh pemilik waralaba, serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalty dan biaya lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut.
Kekuatan pola waralaba adalah perusahaan menengah atau besar selaku terwaralaba dengan pelaku usaha mikro dan kecil selaku pewaralaba sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Pola waralaba dapat membuka kesempatan kerja yang sangat luas. Sedangkan kelemahan pola ini adalah adanya ketergantungan yang sangat besar dari pewaralaba dalam teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat dari terwaralaba. Sebaliknya pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal penjualan.
Sebagai dampak globalisasi, perkembangan usaha waralaba cukup pesat dan dianggap mempunyai prospek masa depan. Salah satu keberhasilan pola waralaba adalah adanya konsistensi mutu atas produk yang diberikan kepada masyarakat dan pelayanan yang baik. Usaha dengan pola waralaba memberikan kemudahan bagi konsumen yang tidak mempunyai banyak waktu dan membuat mereka cenderung tidak mencoba produk baru yang tidak diketahuinya.

Bersambung....



Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)