Selasa, 11 Desember 2012

Konsumsi Untuk Pamer

1355219828779886526
Godaan untuk hidup konsumtif sedmikian besar saat ini. Aneka kartu bukan hanya sekedar ditawarkan oleh penerbitnya, tapi sudah seperti pemaksaan….


Pertumbuhan ekonomi tidak bisa menghasilkan kepuasan atau kebahagiaan yang langgeng. Peningkatan pendapatan memang meningkatkan kebahagiaan, tapi hanya hingga taraf tertentu dan hanya untuk sementara. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kebahagiaan merupakan keadaan relative yang dalam jangka panjang, pada umumnya tidak berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Kebahagiaan ditentukan, terutama, oleh bagaimana kita memandang kehidupan dan pencapaian kita dalam perbandingannya dengan kehidupan dan pencapaian sesama kita.

Saat kemakmuran berkembang, banyak orang takut dengan kompetisi dan perubahan yang mengancam status mereka yang sangat penting bagi harga diri mereka. Kebahagiaan jauh lebih bergantung kepada bagaimana pendapatan orang berbanding dengan pendapatan orang lain yang dianggap berstatus sama daripada seberapa berhasil mereka dalam materi.

Dalam sebuah survey terhadap lulusan Harvard, ditanyakan mana yang membuat mereka lebih bahagia, mendapatkan USD 50 ribu setahun dan sesama mereka memperoleh setengahnya atau memperoleh USD 100 ribu dan sesamanya memperoleh dua kali lipatnya. Mayoritas mereka memilih gaji yang lebih rendah dan orang lain menerima setengah dari mereka. Demikian pula dalam survey yang dilakukan 60 tahun yang lalu (1947) oleh Dorothy Brady dan Rose Friedman, memperlihatkan bahwa porsi pendapatan yang dibelanjakan sebuah keluarga Amerika untuk membeli barang dan jasa ditentukan bukan oleh tingkat pendapatan keluarga, melainkan oleh tingkat pendapatan keluarga dalam perbandingannya dengan pendapatan rata-rata keluarga Amerika. Dengan demikian, penelitian mereka memperlihatkan bahwa suatu keluarga yang memiliki pendapatan rata-rata negara pada tahun 2000 diperkirakan membelanjakan proporsi pendapatan keluarga yang sama dengan pendapatan rata-rata keluarga yang sama dengan pendapatan rata-rata keluarga pada tahun 1900. Meskipun menurut inflasi, pendapatan tahun 1900 hanya sedikit dibandingkan dengan tahun 2000. Jadi, kesimpulannya, perilaku konsumen belum berubah banyak selama satu seperempat abad ini.

Data di atas menunjukkan dengan jelas bahwa berapa banyak orang membelanjakan atau menabung ditentukan bukan oleh tingkat daya beli mereka, melainkan oleh posisi mereka pada skala pendapatan, pendapatan mereka dalam perbandingannya dengan pendapatan orang lain. Hal yang lebih mengesankan lagi tentang temuan ini adalah bahwa hal itu telah disampaikan oleh Thorstein Veblen (1899) dalam bukunya The Theory of the Leisure Class dengan istilah “conspicuous consumption” (konsumsi untuk pamer). Ia memerhatikan bahwa pembelian barang dan jasa suatu individu berkaitan dengan kebiasaan orang untuk memamerkan bahwa dia memiliki uang sebanyak orang lain. Seseorang memiliki kepekaan kompetitif terhadap apa yang diperoleh dan dibelanjakan oleh orang di sekitarnya. Antara satu orang dengan orang lain tersebut mungkin berteman, tetapi mereka juga dipandang sebagai pesaing dalam hal status. Berbagai individu lebih berbahagia dan kurang stress saat pendapatan mereka meningkat bersama peningkatan ekonomi nasional. Orang yang lebih kaya biasanya lebih berbahagia daripada orang yang berada di urutan bawah skala pendapatan. Akan tetapi, mengingat psikologi manusia, euforia awal berupa peningkatan standar kehidupan itu tak lama kemudian pudar saat orang kaya baru itu menyesuaikan diri dengan status mereka yang lebih baik dalam kehidupan. Tingkat yang baru itu segera dianggap sebagai tingkat “normal”. Peningkatan apapun dalam kepuasan manusia hanya bersifat sementara.

Seiring perubahan gaya perekonomian, yang meningkatkan konsumsi untuk pamer, membuat profesi pekerja yang selama ini sangat jarang menjadi debitur perbankan menjadi sasaran penyaluran kredit konsumtif bank-bank. Saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Kaum pekerja terlibat pinjam meminjam dengan pihak bank, bukan hanya sekedar untuk pembiayaan investasi pokok seperti rumah dan mobil, namun sebagian telah terjerumus dalam perlombaan meraih mimpi-mimpi konsumerisme sebagai seorang modernist yang tiada garis akhir.

Seorang kolumnis, Ellen Goodman (dalam Korten, 1999), menggambarkan bagaimana tingkah laku orang-orang (pekerja) yang dianggap normal saat ini. Mereka memakai pakaian yang dibeli untuk bekerja dan berkendaraan melalui jalanan dengan mobil kreditan guna mencapai tempat pekerjaan yang dibutuhkan. Dengan pekerjaan tersebut, mereka dapat membayar pakaian, mobil, dan rumah yang dibiarkan kosong sepanjang hari, agar dapat tinggal di dalam rumah tersebut. Mereka memiliki kartu kredit lebih dari satu dan menggunakan semuanya. Untuk membayar tagihan dan mendapatkan kepentingan yang konvensional, mereka menjadi semakin terperosok ke dalam tekanan karir pada korporasi tempat mereka bekerja. Semakin banyak yang mereka peroleh, maka semakin banyak pula yang mereka belanjakan, dan semakin keras pula mereka harus bekerja untuk  membayar semua itu.

Jika kebahagiaan hanya dikaitkan dengan kesejahteraan materi, maka semua bentuk kapitalisme akan menyatu menjadi model Amerika. Model tersebut terlihat paling dinamis dan produktif, tetapi sekaligus paling membuat stress, terutama di pasar kerja.

Pada abad ke 14, Ibnu Khaldun dalam buku “Muqaddimah‘ telah mengingatkan perlunya “Rasa kebersamaan” dalam kehidupan bermasyarakat. “Rasa Kebersamaan akan membuat masyarakat bekerjasama dengan yang lain untuk tujuan yang sama, membatasi kepentingan pribadi mereka, dan memenuhi kewajiban mereka sehingga dapat terbentuk keharmonisan sosial dan menimbulkan kekuatan yang menentukan bagi pembangunan dan tegaknya suatu peradaban. “Rasa kebersamaan” akan terbentuk dan menguat jika ada keadilan untuk menjamin adanya kesejahteraan masyarakat melalui pemenuhan kewajiban bersama dan pemerataan hasil pembangunan. Jika keadilan hilang, maka cenderung akan timbul ketidakpuasan di antara masyarakat, mengecilkan hati masyarakat, dan berpengaruh buruk terhadap solidaritas masyarakat. Lebih jauh lagi, hal ini tidak hanya mempengaruhi motivasi masyarakat dalam bekerja tapi juga akan melemahkan efisiensi, sikap inovatif, kewirausahaan, dan kualitas kebaikan yang lain, sehingga pada akhirnya menyebabkan disintegrasi dan kemunduran masyarakat yang membuat budaya pamer menjadi berkembang dalam kehidupan bermasyarakat.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Tidak ada komentar: