Kamis, 07 Maret 2013

Kajian Kemitraan Ekonomi Rakyat Masa Orde Baru (Bagian Ke-2)

Program PHBK dimulai dengan pilot proyek pada empat Provinsi, meliputi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali pada tahun 1989. Pilot Proyek berakhir pada tahun 1992, dan dikembangkan menjadi proyek pada tahun 1992 tersebut.  Program ini dikelola oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Bank Umum, BPR, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), serta mendapat bantuan dari GTZ (Pemerintah Jerman Barat).
Program ini bertujuan untuk membangun sistim keuangan yang layak bagi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Kelompok Simpan Pinjam Pedesaan (KSP). KSM/ KSP ini merupakan lembaga keuangan informal yang melayani petani kecil dan pelaku usaha mikro yang belum terlayani oleh Bank. KSM/ KSP yang dapat ikut dalam program kemitraan ini harus telah memenuhi kriteria:
a.   Kemantapan organisasi;
b.   Kondisi administrasi organisasi;
c.   Kondisi administrasi keuangan;
d.   Usaha produktif kelompok/ anggota yang memerlukan kredit.
Pada awalnya kriteria di atas sulit untuk dipenuhi oleh KSM/ KSP yang sudah ada. Kesulitan ini, kemudian diatasi dengan melibatkan LPSM untuk memotivasi, memberikan pelatihan, pembinaan dan konsultasi kepada KSM/KSP. Program PHBK menerapkan tiga model, yaitu:
(1) Model hubungan langsung antara Bank dengan KSM, dengan LPSM sebagai pembina dan pemberi bantuan teknis;
(2) Model hubungan tidak langsung antara Bank dan KSM, dengan LPSM berperan sebagai perantara keuangan antara Bank dengan KSM;
(3) Model kerjasama kemitraan antara Bank, KSM/ KSP, dan LPSM dengan pola tanggung renteng pada kelompok anggota.
Pada model (1) Bank menyalurkan kredit langsung kepada KSM setelah mendapat rekomendasi dari LPSM selaku pembinanya. Pada model (2) Bank menyalurkan kredit melalui LPSM, dan LPSM menyalurkan kepada KSM, kemudian diteruskan kepada masing-masing anggota peminjam. Sedangkan pada model (3) Bank menyalurkan kredit langsung kepada KSM tanpa perantara LPSM, dan KSM telah menabung pada Bank pemberi kredit dengan ratio tabungan 1:4 untuk pemula dan 1:6 untuk KSM yang telah mempunyai konduite baik dalam pinjaman sebelumnya. Pada model (3) KSM tidak diwajibkan menyediakan jaminan fisik, tetapi dijamin oleh tabungan beku KSM dan tanggung renteng anggota KSM. Berbeda dengan model (1) dan (2), kredit tetap memerlukan jaminan fisik sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Pada model (3) yang berbentuk kemitraan tersebut, pelaksanaan program ini memerlukan bantuan teknis pada proyek sebelum pelaksanaan kredit kepada KSM atau anggota. Pengelolaan bantuan teknis dilakukan melalui organisasi program mulai dari tingkat pusat sampai daerah dengan melibatkan lembaga-lembaga peserta program dan dipimpin oleh Bank Indonesia. Bantuan teknis tersebut meliputi:
a.   Pelatihan bagi petugas LPSM, Bank Peserta, dan Pengurus KSM;
b.   Pembinaan KSM;
c.   Pelayanan konsultasi khusus kepada LPSM mengenai perbankan kepada bank dalam aspek non perbankan;
d.   Pelatihan bagi staf pelaksana proyek.
Besar pinjaman per anggota KSM paling besar Rp 1 juta, sedangkan pinjaman per KSM tidak dibatasi tergantung dari jumlah total pinjaman anggota dan kelayakannya. Pinjaman KSM maupun anggota dapat dilakukan beberapa kali tergantung dari keragaan pengembalian kredit sebelumnya, kelayakan usaha, dan kemampuan pengembalian oleh KSM/ Anggota. Penggunaan kredit untuk modal usaha atau kegiatan produktif. Pengembalian kredit dilakukan secara cicilan per bulanan atau mingguan, dan bisa pula musiman untuk kondisi tertentu yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara Bank dengan KSM.
Program PHBK ini cukup menarik, karena memungkinkan Bank melayani masyarakat kecil melalui kelompok yang tidak memiliki cukup jaminan fisik dan kelembagaan formal. Dengan melayani pelaku usaha mikro melalui kelompok, bank mempunyai keuntungan dalam hal:
a.   Mengurangi biaya transaski yang bila dilakukan per orang menjadi tinggi dan tidak sebanding dengan kredit yang diberikan;
b.   Memungkinkan terjaminnya keamanan kredit yang diberikan karena adanya jaminan alternatif berupa tanggung renteng dan adanya social pressure dalam kelompok.
Dari pengalaman lapangan, program PHBK telah berjalan baik. Sejak dirintis pada tahun 1989 hingga tahun 2001, telah terlaksana di 23 provinsi, mencakup 1.000 kantor bank partisipan, 257 LPSM, 34.227 KSM dengan 1.026.810 kepala keluarga, menyalurkan kredit (akumulasi) Rp 331 milyar, memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp 29,5 milyar, dan tingkat pengembalian kredit 97,3%.
Namun sayang, meski program ini berlangsung cukup baik, setelah keluarnya UU Bank Sentral No. 23/1999 menjadi tersendat. Hal ini karena Bank Indonesia tidak diperkenankan lagi menjalankan kredit program. Akan tetapi, program ini direplikasi oleh India dan mengalami kesuksesan besar dalam melayani sekitar 20 juta masyarakat mikro pelaku usaha mikro di negara tersebut (Ismawan, 2005).

Bersambung

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Tidak ada komentar: