Kamis, 24 Januari 2013

Privatisasi Korupsi & Krisis Global

 

13590724491892781012
Era ekonomi baru yang menimbulkan gejala konsumtivisme, membuat banyak para eksekutif korporasi yang telah berpenghasilan besar ikut pula tidak puas apabila peningkatan hidupnya berjalan tidak beriringan dengan kemajuan perusahaan. Untuk itu, mereka mencari cara-cara lain untuk menggenjot penghasilan.
 
Sebagaimana banyak dilansir oleh berbagai pihak, kondisi krisis keuangan global yang sedang terjadi saat ini, salah satu faktor terbesar, diakibatkan oleh menurunnya moral dan etika stakeholders di dunia keuangan. Menurunnya moral dan godaan materialisme membuat banyak pelaku dunia keuangan melakukan kolusi, manipulasi dan korupsi. Sebelum era ekonomi baru, istilah koruptor (pelaku korupsi) hanya di kenal untuk kalangan birokrat pemerintah. Menurut Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin (2000), di mana kekuatan berada, ia dapat disalahgunakan. Pada era ekonomi baru korporasi-korporasi global telah merupakan konsentrasi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Sebagaimana sebuah institusi besar dan berkekuatan, korporasi global dapat bersikap dengan cara-cara yang korup, arogan, dan secara sosial tidak bertanggungjawab.

Menurut Joseph E. Stiglitz (2003), seharusnya seorang CEO (Chief  Executive Officer) dan eksekutif korporasi lainnya melakukan tindakan terbaik demi kepentingan korporasi, pemegang saham, dan para pekerjanya. Akan tetapi akibat insentif yang berbeda dari era sebelumnya, membuat CEO bertindak mewakili kepentingan pribadi dan seringkali tidak melakukan tugasnya sebagai wakil dari pihak yang diwakilinya dengan baik. Ironinya, perubahan struktur gaji yang menjadi akar sebagian besar permasalahan ini dibela sebagai perbaikan insentif. Di samping itu terdapat pula praktek ganjil korporasi dalam memberikan stock option (hak opsi saham) kepada para eksekutif perusahaan. Para eksekutif perusahaan mempunyai hak membeli saham perusahaan sendiri di bawah harga pasar, bahkan seolah-olah tidak ada nilai yang berpindahtangan.

Berdasarkan catatan Stiglitz, pada tahun 2001 hak opsi mencapai sekitar 80 persen kompensasi manajer korporasi Amerika yang mempunyai dampak yang tidak ringan pada neraca keuangan. Bila sebuah korporasi diminta mengakui nilai opsi saham yang dikeluarkannya pada tahun tersebut, maka laba perusahaan bisa berkurang sepertiganya. Dengan demikian, kontroversi opsi saham, sebenarnya adalah soal kejujuran dalam membeberkan informasi. Melalui logika tersembunyi dan berbahaya, opsi saham berperan penting dalam menyebarkan bentuk-bentuk lain penyelewengan keuangan. Para eksekutif yang nakal, makin lama menunjukkan energi dan kreativitasnya bukan untuk menghasilkan produk-produk dan layanan baru, tetapi malah membuat cara-cara baru untuk memaksimalkan pendapatan eksekutif yang dibebankan kepada para investor yang lengah.

Pada saat hak opsi saham diberikan kepada para eksekutif korporasi, sebuah perusahaan dengan sendirinya menerbitkan saham baru. Hal itu berarti telah menipiskan nilai saham yang sudah ada. Misalkan sejuta lembar saham beredar, masing-masing bernilai Rp 10 ribu. Artinya, nilai perusahaan atau kapitalisasi pasarnya Rp 10 milyar. Jika eksekutif korporasi menerima tambahan sejuta saham gratis, maka pemegang saham yang lama harus berbagi nilai perusahaan beserta labanya di kemudian hari dengan pemegang saham yang baru (dalam hal ini para eksekutif korporasi). Oleh sebab itu, harga masing-masing saham akan turun menjadi Rp 5 ribu. Dengan demikian, sebenarnya para pemegang saham membayar para eksekutif sebesar Rp 5 milyar melalui pengurangan nilai saham mereka, meskipun tidak langsung dari kantong mereka sendiri.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dapat terjadi, pada saat pemberian hak opsi saham, para eksekutif korporasi harus membayar sebagian harga sahamnya. Misalkan pada contoh di atas, para eksekutif membayar dengan harga diskon sebesar Rp 5 ribu. Setelah penambahan saham tersebut, perusahaan mempunyai nilai kapital sebesar Rp 15 milyar, atau bertambah Rp 5 milyar dari sebelumnya. Nilai kapital perusahaan akan dibagi untuk 2 juta lembar saham. Harga masing-masing saham kini menjadi Rp 7,5 ribu. Dengan demikian, para pemegang saham rugi sebesar Rp 5 milyar, persis jumlah yang diperoleh para eksekutif korporasi sebanyak sejuta saham dengan nilai Rp 10 ribu yang dibeli hanya dengan Rp 5 ribu.

Pemberian hak opsi saham kepada para eksekutif korporasi tersebut menimbulkan implikasi pajak dan biaya yang lebih tinggi kepada perusahaan. Ketika seorang menerima gaji dan insentif atau bonus dari perusahaan, maka jumlah yang diterima akan dikenakan pajak. Sebaliknya, apabila seorang eksekutif korporasi menerima insentif berupa hak opsi saham, maka tidak ada pajak yang dikenakan kepadanya. Meskipun, ketika si eksekutif menguangkan hak opsinya, ia akan membayar pajak capital gains atas kelebihan harga jual terhadap harga beli, tetapi manfaat yang telah dinikmatinya dari penyimpangan informasi kepada pemegang saham telah lebih dari cukup.

Sebagian ekonom independen, menurut Stiglitz, menyatakan bahwa hak opsi saham ini sebagai tindak pencurian usaha. Eksekutif korporasi telah mencuri uang dari para pemegang saham yang lengah. Namun karena harga saham, dirasakan naik, maka hanya sedikit pemegang saham yang menyadari hal tersebut. Mereka merasakan bagaikan pemenang, karena tidak sadar bahwa harga saham yang diperdagangkan Rp 10 ribu harusnya Rp 15 ribu, yang Rp 15 ribu seharusnya Rp 20 ribu. Akibat subtilitas pencurian inilah yang memungkinkan banyak eksekutif perusahaan lolos darinya.

Meskipun opsi saham secara aktual telah banyak dipraktekan oleh korporasi-korporasi, namun menurut pengamatan ekonom independen, tidak banyak memberikan insentif untuk melakukan sesuatu yang akan mempertinggi nilai perusahaan dalam jangka panjang. Pemberian opsi saham, berarti, bahwa insentif yang akan diterima oleh eksekutif korporasi bergantung kepada harga saham jangka pendek. Oleh karena itu, lebih mudah bagi seorang CEO untuk meningkatkan “tampilan” laba daripada laba yang sebenarnya.

Era ekonomi baru yang menimbulkan gejala konsumtivisme, membuat banyak para eksekutif korporasi yang telah berpenghasilan besar ikut pula tidak puas apabila peningkatan hidupnya berjalan tidak beriringan dengan kemajuan perusahaan. Untuk itu, mereka mencari cara-cara lain untuk menggenjot penghasilan. Salah satu cara adalah melalui transaksi palsu yang memungkinkan mereka membukukan pendapatan, sekalipun tidak benar-benar ada. Cara lain adalah dengan menghapuskan pengeluaran dari pembukuan atau dengan menggunakan write off berulang-ulang agar dari luar terlihat adanya laba normal yang mantap. Hal-hal tersebut dilakukan dengan tujuan menampilkan kesuksesan yang memukau, dan segera menguangkannya sebelum umum tahu akan perbuatan mereka. Dengan demikian, satu bentuk penipuan yang dilakukan oleh eksekutif korporasi dapat melahirkan begitu banyak penipuan lainnya. Sehingga yang menanggung akibat kerugian yang mereka timbulkan bukan hanya investor, tetapi juga para pembayar pajak lain yang “lugu”.

Sebuah peristiwa monumental, kerakusan para eksekutif korporasi yang mempunyai kekuatan ekonomi yang luar biasa dan telah menjadi contoh sebuah lambang laju kecepatan pertumbuhan sekaligus kerobohan sebuah korporasi global dalam waktu singkat, serta sisi gelap kapitalisme kroni dan penyalahgunaan kekuatan korporasi global di mancanegara terjadi dengan terkuaknya skandal Enron (sebuah perusahaan energi) dan disusul dengan skandal serupa di WorldCom (perusahaan teknologi informasi) pada awal millennium baru. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai negara pada akhir dekade 1990-an. Namun lebih banyak melibatkan para pemilik yang kemudian melarikan dana mereka keluar dari negara asal perusahaan mereka.

Gelembung-gelembung asset dan laba yang diciptakan secara tidak bertanggungjawab oleh eksekutif-eksekutif korporasi, membuat pasar yang minim informasi dalam mempertimbangkan apa yang terjadi, akan memompa harga saham semakin tinggi lagi. Akibat insentif yang akan diterima oleh para eksekutif korporasi tergantung kepada hak opsi saham, maka mereka lantas menjual saham yang telah diangkat nilainya untuk memperoleh laba besar dari penjualannya (capital gain).

Dengan demikian, akibat eksekutif korporasi memperkaya diri sendiri, pihak lain tidak ikut diuntungkan. Pendapatan yang diperoleh para eksekutif korporasi, justru membebani pemegang saham (publik) yang kepentingannya seharusnya mereka layani. Akhirnya, para eksekutif ini telah membawa risiko yang besarnya tidak terbayang oleh para pemegang saham yang telah menggadaikan kekayaannya untuk investasi pada korporasi yang semula diharapkan akan semakin memperbesar kekayaan mereka. Tinggallah mereka gigit jari bahkan bunuh diri setelah gelembung yang diharapkan membesar malah meletus menjadi krisis keuangan global yang dirasakan saat ini.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Tidak ada komentar: