Rabu, 23 Januari 2013

Korporatisme


Runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an, bukan saja menyebabkan ideologi kapitalisme menang atas komunisme, tetapi lebih dari itu. Kapitalisme juga memperoleh kemenangan atas demokrasi dan ekonomi pasar. Menurut pengamatan Korten (1999), di dalam kapitalisme era ekonomi baru, demokrasi dapat dijual kepada penawar tertinggi, dan pasar bebas direncanakan secara terpusat oleh mega korporasi global yang ukurannya lebih besar dari banyak negara yang sesungguhnya. Kenyataan yang terjadi saat ini, dunia dikuasai oleh kaum spekulator uang dan bisnis berskala global. Kapitalisme telah berkembang menjadi korporatisme yang bukan saja menguasai perekonomian, tapi juga bergeser ke dalam kekuasaan politik.

Kekuasaan korporasi semakin besar dan terpusat seiring berjalannya mekanisme merger dan akuisisi perusahaan. Akibatnya, tanpa disadari, sistem politik suatu negara semakin tergantung pada korporasi. Para kaki tangan korporasi global dapat mempengaruhi pembuatan persetujuan perdagangan dan investasi internasional baru. Hal itu, berakibat semakin memperkuat hak korporasi, dan sebaliknya akan merugikan hak-hak asasi manusia. Jurang antara kaum yang amat kaya dengan umat manusia yang makin miskin tambah mengangah.

Dampak sebuah sistem ekonomi yang buta terhadap kebutuhan manusia menjadikan ancaman kehancuran sosial dan lingkungan semakin besar.  Kekuasaan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan internasional telah melucuti peran pemerintah. Kemampuan sebuah pemerintahan untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial, dan lingkungan, dalam kerangka kepentingan yang lebih luas, telah jauh berkurang dan beralih kepada korporasi-korporasi global. Demikian pula, usaha yang tidak henti-hentinya mengejar pertumbuhan ekonomi telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di bumi. Akibat yang ditimbulkan, bukan hanya memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, tetapi juga menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat.

Demi keuntungan jangka pendek bagi kaum yang amat kaya dan kelanjutan hidup bagi umat manusia yang amat miskin dalam sebuah proyek pembangunan, lingkungan telah dikuras sedemikian rupa, sehingga tidak mengandung kehidupan lagi. Akibat sebuah proyek pembangunan, sekumpulan manusia telah terusir ke luar dari rumah mereka, dari kampung halaman mereka, dan dari masyarakat mereka. Padahal, sebelumnya hal tersebut telah berhasil memberikan suatu kehidupan yang sederhana namun bermartabat bagi mereka. Berbagai proyek pembangunan telah mengacaubalaukan kehidupan mereka demi tujuan-tujuan yang hanya mengguntungkan kaum yang memang telah kaya raya. Sementara itu, jaringan sosial yang tertanam dengan kokoh dari berbagai budaya yang tadinya kaya menjadi terkelupas dan tercabik-cabik.

Semakin hari, keinginan kuat koporasi global untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi, bersama-sama dengan lembaga-lembaga keuangan global, mereka mengubah kekuasaan ekonomi menjadi kekuasaan politik. Sekarang mereka telah mendominasi proses-proses keputusan pemerintahan. Bahkan mereka telah berhasil mengubah kaidah-kaidah perniagaan dunia melalui perdagangan internasional serta persekutuan investasi. Semua itu, bertujuan agar mereka dapat memperbesar keuntungannya tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkannya yang akan ditanggung oleh masyarakat luas. Hal itu, tentu saja akan menimbulkan kehancuran ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Di sisi lain, untuk meningkatkan keuntungan mereka, korporasi-korporasi global menciptakan permintaan yang lebih besar terhadap produk atau jasa yang mereka hasilkan. Mereka berupaya menggantikan budaya rakyat yang sebelumnya suka berhemat dengan budaya memuaskan nafsu sendiri. Mereka memberikan gambaran surga materialistis di atas dunia dan menggunakan media masa untuk menenggelamkan orang dalam pesan-pesan yang memperkuat kembali budaya hawa nafsu. Nilai-nilai konsumerisme menjadi di semua kalangan usia, mulai dari anak kecil hingga orang tua renta. Menurut Korten (1999), korporasi-korporasi terus bekerja keras mengubah budaya dunia menjadi hedonisme ala Hobbbes. Media masa pun telah berada dalam genggaman korporasi-korporasi global. Mereka mengabdi untuk kepentingan para pemasang iklan serta memilih isu-isu apa saja yang bisa diperdebatkan dan apa yang tidak sesuai dengan keinginan pemiliknya, para korporasi global (Fisgon, 2004).

Korporasi-korporasi global berupaya memantapkan hegemoni budaya kerakusan dan berkelebihan pada setiap negara di dunia. Upaya mereka yang tidak henti-henti tersebut dilakukan untuk mencari lebih banyak lagi pelanggan. Bahkan, mereka tidak segan-segan melakukan perang nilai terhadap budaya-budaya yang tidak mau berubah sesuai dengan kehendak mereka. Mereka merendahkan nilai budaya-budaya yang belum mau berubah dengan ejekan-ejekan kolot, membosankan, dan miskin. Sebagai gantinya, mereka menawarkan janji-janji surga materi yang mengasyikkan, menyenangkan, dan memakmurkan setiap orang tanpa pertimbangan moralitas. Orang-orang yang mempertahankan moralitas dianggap sebagai munafik.

Deregulasi dan globalisasi yang dilakukan selama era ekonomi baru sangat menguntungkan korporasi-korporasi global. Namun, kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikan telah berpindah tangan dari manusia kepada badan-badan keuangan internasional. Manusia menjadi tawanan dari sebuah sistem yang tidak setia kepada kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.

Lembaga-lembaga keuangan yang bertindak sebagai pemilik, tidak mau tahu tentang segala hal, kecuali terhadap akibat keuangan  dari tindakan-tindakan mereka. Mereka menuntut manajemen perusahaan pertumbuhan keuntungan yang semakin besar dari tahun ke tahun. Manajemen (CEO) perusahaan yang gagal menghasilkan pertambahan keuntungan akan mengalami risiko kehilangan kepercayaan dari kalangan masyarakat (investor) dan risiko dipecat oleh para pemegang saham mayoritas. Bahkan, lebih jauh lagi, perusahaan dapat diambil alih oleh pihak lain. Akibat hal itu, koperasi global akan memberikan tanggapan dengan menggunakan kekuasaannya yang besar untuk membentuk kembali nilai, membatasi pilihan konsumen, dan mendesak pemerintah untuk memberikan subsidi, serta mengganti peraturan perdagangan dengan yang menguntungkan mereka.

Kekuasaan korporasi global, merupakan sebuah ironi yang mengubah suatu ekonomi pasar yang mengatur dirinya sendiri, kepada suatu perekonomian yang direncanakan secara terpusat. Skala perencanaan terpusat di bawah kekuasaan korporasi global tersebut melibatkan angka yang sungguh luar biasa. Penjualan kotor sebuah korporasi global bisa menyamai PDB suatu Negara. Menurut pengamatan Korten (1999), dari seratus ekonomi terbesar di dunia, lima puluh satu adalah berkaitan dengan ekonomi internal terhadap korporasi global. Demikian pula, Gilpin & Gilpin (2000), mengakui bahwa perdagangan intra perusahaan telah memiliki porsi besar dalam perdagangan dunia. Perdagangan intra perusahaan di Amerika Serikat pada tahun 1994 mencapai sepertiga ekspor Amerika dan dua perlima dari barang-barang impornya. Sekitar setengah dari perdagangan internasional antara Jepang dan Amerika Serikat, sebenarnya, tidak lebih dari perdagangan intra perusahaan.

Perdagangan intra perusahaan berlangsung pada harga transfer yang disusun oleh perusahaan-perusahaan itu sendiri dan di dalam suatu strategi korporasi global yang tidak mengikuti teori perdagangan konvensional. Korporasi-korporasi global tersebut terlibat aktif dalam hubungan perencanaan di kalangan mereka sendiri melalui asosiasi industri, aliansi strategis, dan kartel yang mempengaruhi kebijakan melalui lobi-lobi agresif, serta membentuk kembali peraturan-peraturan ekonomi global melalui partisipasi mereka dengan pemerintahan mereka dalam perundingan perdagangan dan persetujuan investasi. Selangkah demi selangkah melalui lembaga-lembaga seperti WTO dan IMF, perusahaan-perusahaan itu telah membentuk instrumen-instrumen dari suatu proses perencanaan ekonomi terpusat yang tidak demokratis di tingkat global.

Para perancang korporasi terpusat tersebut mengerahkan semua perhatiannya bukan untuk kepentingan seluruh warga dalam negara mereka, sebagaimana teori ekonomi sosialis. Akan tetapi, korporasi terpusat hanya mengerahkan perhatiannya untuk memaksimalkan hasil bagi para pemegang saham mereka saja. Namun perlu disadari bahwa mereka beroperasi bukan dalam sebuah ekonomi pasar sempurna, tetapi dalam suatu ekonomi kapitalis yang mementingkan uang di atas segalanya. Dengan demikian, keyakinan bahwa manfaat bagi para pemegang saham minoritas (yang memperoleh saham dari bursa) dari pertambahan nilai korporasi akan sangat menguntungkan, perlu disadari bahwa hanya merupakan sebuah mitos.

Secara global, penduduk dunia yang memiliki partisipasi yang bermakna dalam kepemilikan perusahaan hanya kurang dari satu persen. Kondisi tersebut, merupakan sebuah kemenangan yang diperoleh oleh kapitalisme global. Lebih separuh perekonomian dunia direncanakan secara terpusat demi keuntungan kurang dari satu persen umat manusia yang menjadi kaum terkaya di dunia. Menurut Korten, itulah kemenangan perencanaan terpusat yang diswastakan terhadap pasar dan demokrasi, serta kemenangan kaum yang sangat kaya terhadap sebagian besar umat manusia yang sangat miskin di dunia ini. Hasil dari semua itu, adalah terciptanya sebuah mesin ekonomi global yang amat berkuasa dan tidak punya perasaan, yang menyerahkan seluruh eksistensinya untuk tujuan mengubah kehidupan menjadi keuntungan dengan jalan menguras modal yang masih ada.

Korporasi sebagai lembaga yang mengerakkan kapitalisme uang saat ini, bukan manusia atau  makhluk hidup. Ia merupakan sekumpulan yang tidak bernyawa atas hak dan hubungan keuangan yang dijaga secara hukum. Ia direkayasa secara pintar untuk mengabdi kepada uang berikut segala perintahnya. Uanglah yang mengalir dalam urat nadinya, bukan darah. Korporasi tidak memiliki jiwa dan kesadaran sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Pekerja pada korporasi, baik sebagai pegawai biasa maupun CEO dan pengelola keuangannya adalah kuli-kuli kecil yang dibayar untuk mempertahankan nilai-nilai korporasi dan melakukan perintahnya. Sebagai orang yang akan berperan dalam korporasi, pekerja dilatih dengan bahasa uang, sehingga untuk menentukan harga segala sesuatu dan menentukan setiap pilihan harus dapat dinilai dengan uang. Pada akhirnya, pekerja akan menerima itu sebagai suatu kebenaran yang alamiah, sehingga pekerja pun dinilai semata-mata berdasarkan kinerja uang dan dimotivasi oleh dorongan uang belaka.

Era ekonomi baru yang menempatkan kapitalisme uang sebagai sumber kehidupan utama telah menjadikan uang sebagai sebuah kenyataan hidup, sumber makna, dan obyek yang dipuja-puja. Kita telah lupa bahwa manusia itu ada dan menjadi sejahtera hanya selama bersatu dengan kehidupanm itu sendiri. Uang, sebagai pelayan yang berguna sekaligus tuan besar yang jahat, hanya akan setia selama kita menjanjikan apa yang hanya dapat diberikan oleh kehidupan saja. Kehidupan adalah sumber dari segala yang menjaga tubuh dan ruhani kita.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami), 2006
 


Tidak ada komentar: