Minggu, 13 Januari 2013

Kegagalan Kapitalisme Sekuler Dalam Mensejahterakan Masyarakat

 13581434071405135119



Kebahagiaan telah menjadi tujuan utama dari semua masyarakat manusia. Namun demikian, ada perbedaan pandangan mengenai apa yang membentuk kebahagiaan itu dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan. Pandangan sekuler modern mempercayai bahwa kebahagiaan dapat dijamin bila tujuan-tujuan materi tertentu dapat direalisasikan. Tujuan-tujuan materi itu antara lain adalah pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi semua individu, ketersediaan peluang bagi setiap orang untuk dapat hidup terhormat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Menurut M. Umer Chapra (1995) tidak ada sebuah negara di dunia ini yang telah berhasil merealisasikan sasaran material ini. Menurut beliau, yang terjadi justru ketidakstabilan ekonomi dan ketidakseimbangan makroekonomi dengan terkurasnya sumber-sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan polusi lingkungan dalam skala yang dapat mengancam kehidupan di bumi, serta meningkatnya ketegangan dalam hubungan kehidupan sosial manusia.
Menurut David C. Korten (1999), masalah ancaman kehancuran lingkungan dan sosial semakin besar disebabkan oleh ekses-ekses dalam sebuah sistem ekonomi yang buta terhadap kebutuhan manusia sebagai titik tolaknya. Setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet pada awal dekade 1990-an, yang turut menunjukkan ”kematian” sistem sosialisme, sistem kapitalisme seakan berjalan merajalela meninggalkan bentuk aslinya, bahkan terjadi penghancuran dan pembusukan kapitalisme dari dalam dirinya sendiri. Kapitalisme berkembang menjadi korporatisme, yang membuat semakin terpusatnya kekuasaan di tangan segelintir korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan internasional dan telah melucuti pemerintah dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas. Sejumlah kecil orang menikmati kesenangan material baru, namun kehidupan orang yang lebih banyak jumlahnya telah merosot, dan kesenjangan makin menganga hampir di segala penjuru dunia. Didorong oleh keinginan kuat untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi kepentingan para investornya, korporasi dan lembaga-lembaga keuangan global teleh mengubah kekuasaan ekonominya menjadi kekuasaan politik.
Jhon Perkins (2004), seorang mantan economics hit man, mengakui mengutamakan kapitalisme yang menyerupai masyarakat feodal zaman pertengahan dalam membantu menumbuhkan ekonomi, telah menjadikan segelintir orang yang duduk di puncak piramida menjadi lebih kaya lagi, sementara pertumbuhan ekonomi itu tidak melakukan apapun bagi mereka yang berada di dasar piramida selain mendorong mereka menjadi lebih miskin lagi.
Kapitalisme, dalam arti klasik laissez faire, menurut Chapra (1995), tidak pernah ada di mana pun dan telah mengalami modifikasi terus menerus selama beberapa abad. Dalam pandangan Taqyuddin An-Nabhani (1990), para ekonom kapitalis, tidak pernah memperhatikan masalah-masalah yang semestinya harus dijadikan pijakan oleh masyarakat, seperti ketinggian moral dengan menjadikan sifat-sifat terpuji sebagai dasar bagi interaksinya. Pandangan kapitalisme sangat dipengaruhi oleh gerakan ”pencerahan” (enlightenment) yang berlangsung antara abad 17-19.  Para pemikir ”pencerahan” terkemuka menganugerahkan akal manusia kekuasaan absolut sebagai ganti dari keimanan dan institusi, sehingga ilmu pengetahuan harus diperoleh dari persepsi pancaindra saja.
Ajaran-ajaran ”pencerahan” telah menggerogoti peran agama sebagai kekuatan kolektif dalam masyarakat. Peran agama digantikan oleh sekularisme yang mengurangi wilayah agama hanya sebagai urusan pribadi. Nilai moral telah kehilangan kesakralan kolektif dan penilaian kolektif telah menjadi sebuah anatema. Mata kuliah etika, kemudian menjadi jarang menjadi kewajiban bagi para mahasiswa ekonomi.
Etika moral berlandaskan agama yang dijauhkan dalam sosioekonomi dan politik mengakibatkan akhirnya masyarakat lepas dari mekanisme filter yang secara sosial disepakati. Kepentingan diri sendiri, harga, dan keuntungan menggantikan posisi etika moral sebagai kriteria utama bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk menstabilkan permintaan dan penawaran agregat. Meskipun nurani fitrah individu yang tertanam dalam lubuk kesadarannya masih tersisa sebagi mekanisme filter pada tingkat individual, tetapi hal itu tidak memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai mekanisme filter yang diperlukan untuk menciptakan suatu keharmonisan antara kepentingan diri individu dan kepentingan masyarakat.
Akibat penolakan penggunaan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, dan makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama, menyebabkan perwujudan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan hanyalah sebuah impian. Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkannya dan tidak ada contoh signifikan dalam sejarah yang menemukan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral, tanpa bantuan agama.  
Kesejahteraan masyarakat akan dicapai jika suatu sistem pasar yang sehat dapat tercipta. Pasar yang sehat akan menciptakan suatu sistem ekonomi yang mampu memberikan pendapatan modal yang adil dan cukup, pekerjaan bagi semua orang dengan gaji yang memadai untuk hidup layak, dan alokasi optimal secara sosial dari sumber-sumber produktif masyarakat. Tantangan yang dihadapi untuk mencapai kondisi di atas adalah menciptakan suatu peraturan kerangka kerja yang sejauh mungkin dapat menciptakan sistem pasar yang sehat. Menurut Korten, kapitalisme telah merusak teori pasar sampai tidak dikenal lagi, demi untuk mengabsahkan sebuah ideologi yang mengabdi kepada kepentingan sebuah kelas yang sempit. Kaki tangan kapitalisme dengan kedok pasar dengan bersemangat seolah-olah mengajukan kebijakan-kebijakan publik yang nantinya justru akan menciptakan kondisi yang amat bertolak belakang dengan hal-hal yang diperlukan untuk dapat berfungsi secara sosial. 
Kaum kapitalisme telah berhasil menciptakan kapitalisme uang yang membuat pemilik modal menjadi terpisah dari penggunaannya untuk produksi pada saat kekuasaan dialihkan dari kalangan pengusaha, investor dan kaum industrialis yang benar-benar terlibat dalam aktivitas produktif, kepada pemilik uang dan rentenir yang hanya hidup dari pendapatan yang diperoleh dari asset pemilikan keuangan dan asset-asset lainnya. Pemilik modal dan pasar uang menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari perdagangan praktis. Mereka mengharapkan hasil-hasil yang diperoleh dari tabungan yang semakin menumpuk, namun menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya. Mekanisme yang digunakan kapitalisme uang global untuk membuat uang dengan uang, tanpa keharusan ikut terlibat dalam aktivitas yang produktif, telah memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tuntutan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antar investasi yang produktif dan yang ekstraktif tampaknya merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya.
Demikian pula, telah terjadi, pasar saham sebagai kasino judi canggih dengan watak yang unik. Para pemain saham, melalui interaksinya, dapat memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat lainnya. Menurut Korten, krisis moneter yang terjadi di Asia pada tahun 1997 merupakan sebuah jendela yang sangat menarik untuk menyaksikan berjalannya permainan itu, dan bagaimana perputaran yang diakibatkan di pasar saham dunia punya dampak terhadap kehidupan manusia-manusia yang sesungguhnya. Akibat semua itu, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia.
Menurut Chapra (2001), krisis Asia tersebut terjadi disebabkan ketidakstabilan ekonomi akibat dari kekacauan dalam pasar finansial karena gejolak tingkat bunga, nilai tukar dan komoditas serta harga saham yang berlebihan. Ketidakstabilan tersebut diperburuk oleh semakin besarnya ketergantungan sektor produktif  kepada hutang jangka pendek. Hutang jangka pendek sangat mudah dikonversikan, tetapi pembayarannya kembali akan sulit jika hutang tersebut digunakan untuk investasi jangka panjang yang waktu pengembaliannya lama. Sementara itu, bukan masalah yang berarti, jika sejumlah hutang jangka pendek dalam jumlah yang memungkinkan, kelebihannya dikonversikan pada spekulasi mata uang, saham dan pasar komoditas. 
Pengalaman Asia di atas adalah suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu bentuk kemampuan kapitalisme untuk menciptakan kemakmuran dengan jalan menciptakan suatu demam spekulasi. Hal tersebut sebenarnya dalam kenyataannya menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif. Di bawah kekuasaan kapitalisme uang, kesejahteraan diperoleh oleh mereka yang membuat uang, bukan kepada pekerja yang digaji benar-benar untuk membuat hal-hal yang ingin dibeli oleh para pembuat uang itu.
Dalam suatu ekonomi pasar yang produktif, orang ikut serta dalam banyak peranan dan menjadikan perasaan kemanusiaan mereka terlibat dalam setiap aspek kehidupan ekonomi. Akan tetapi yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini adalah kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikan telah berpindah tangan kepada badan-badan keuangan global yang bukan manusia. Kekuasaan uang telah diputus hubungannya dari perasaan kemanusiaan, sehingga manusia itu sendiri hanya menjadi tawanan dari sebuah sistem yang tidak setia kepada kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Menurut Korten, kapitalisme telah berhasil menciptakan sebuah mesin ekonomi global yang amat berkuasa dan tidak punya perasaan, yang menyerahkan seluruh eksistensinya untuk tujuan mengubah kehidupan menjadi keuntungan dengan jalan menguras modal yang masih ada.  
    Untuk mewujudkan suatu kondisi ideal, dimensi moral harus dikembalikan dalam sebuah sistem ekonomi yang berlaku, meskipun hal itu saja tidak cukup. Kesenjangan suatu ideal dengan realitas akan dapat dijelaskan dengan menggabungkan varabel-variabel psikologi, sosial, politik, dan sejarah tertentu ke dalam analisis yang dilakukan pada dynamic model of Islam yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun. Bila kondisi ini tidak dipenuhi, masyarakat ideal yang diinginkan sangat sulit untuk diwujudkan. Kurangnya ceramah ruhani bukan penyebab utama kerusakan moral, ketiadaan keadilan dan kesejahteraan umum di dunia Islam saat ini (Chapra, 2001). Kutbah dan ceramah ruhani telah cukup banyak dilakukan, namun diperlukan pula penciptaan suatu lingkungan yang sesuai dan strategi untuk mewujudkannya.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Tidak ada komentar: