Jumat, 23 November 2012

Etos Kerja Islami


Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha, menyebar di muka bumi, dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT.

Kata “bekerja” mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa. Kerja atau berusaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.

Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan berusaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran “tawakkal” yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai “kerja”, seperti salah satu haditsnya yang berbunyi, “Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang.

Hadits di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja, bahkan harus meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Dalam beberapa ayat di Al Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah Al-Jumu’ah ayat 10, dinyatakan; “Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda: “Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: “Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…...” (QS. an-Nisa’:100)

Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.” (H.R. Muslim). Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras kepada yang meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.

Tindakan zalim terhadap hak Rabbul’alamin artinya meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memnuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa dongkol. Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama makhluk. Ia menjual kesabaran, ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada orang lain.

Islam menuntun setiap orang untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya.

Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan.

Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan.

Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya. Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya.

Faktor utama untuk kembali kepada ajaran motivasi Islam yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat, adalah membangkitkan kembali semangat ukhuwah islamiyah di antara kita. Hal ini merupakan tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang peduli terhadap keluarga kita umat Islam di seluruh jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu kita sadari, bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib kita tanpa kita sendiri mengubah nasib kita, dan oleh karena itu kita harus menjaga dan meningkatkan etos kerja kita agar kita tidak tertinggal oleh yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehinga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri………” (QS.13/ ar-Ra’d: 11)


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Jumat, 16 November 2012

Islam Tidak Mengajarkan Kepasrahan Terhadap Nasib


Ada beberapa praktek terhadap ajaran Islam yang dipahami dengan keliru di tengah-tengah umat Islam, antara lain, seperti isltilah “sabar”, “qana’ah” (sikap menerima), “tawakkal” (sikap pasrah), “insya Allah” (jika Allah menghendaki), “zuhud” (anti keduniaan), dan sejenisnya. Istilah-istilah ini dalam pemahaman sehari-hari sering dijadikan landasan hidup, seolah memberikan justifikasi kepada umat Islam terhadap apa yang dilakukan dengan konotasi yang negatif, yakni lamban, terbelakang, kemalasan, dan semacamnya, sehingga pemahaman yang diperoleh adalah kepasrahaan terhadap nasib. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif, tidak menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangnnya, sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

(a). Sabar mengandung arti proses menuju keberhasilan yang tidak mengenal kegagalan, karena disertai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti, tabah, dan tidak mudah putus asa, namun pemahaman yang terjadi pada umat adalah sabar dianggap sebagai sikap yang tidak cepat-cepat dan perlahan, sehingga identik dengan lamban.

(b). Qana’ah mengandung arti sikap yang jujur untuk menerima hasil sesuai dengan kerjanya, tidak serakah, tidak menuntut hasil yang lebih dengan kualitas kerja yang rendah, tidak iri dan dengki, tidak menghayal di luar kemampuannya, atau dengan kata lain qana’ah berarti produktivitas yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan dan tingkat kerja yang dilakukan, tetapi dalam pemahaman umat, qana’ah dipahami sebagai sikap menerima apa adanya dan berkonotasi mudah menyerah, sehingga tuntutan untuk kemajuan dianggap sebagai hal yang tidak perlu.


(c). Tawakkal mengandung arti sikap akhir setelah bekerja dan berusaha keras secara maksimal dan dilakukan berulangkali dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, tetapi dalam pemahaman yang terjadi adalah sikap yang menyerahkan diri dan cita-cita kepada keadaan tanpa perlu adanya suatu usaha maksimal atau sikap fatalis.


(d). Insya Allah mengandung arti kesanggupan seseorang memenuhi janji secara serius dan hanya alasan di luar kekuasaan dirinya yang dapat membatalkan janji tersebut, tetapi dalam pemahaman dan pengamalannya terdapat kekeliruan besar terhadap perkataan insya Allah tersebut, yakni dijadikan alat untuk menghindari atau mengelakkan janji di balik nama Allah.


1353115026406220418
Memahami Kehidupan, Pantang Menyerah Menjemput Rizki nan Halal

(e). Zuhud, mengandung arti meninggalkan hal-hal yang menyebabkan jauh dari Allah atau dipahami sebagai anti keserakahan, namun yang terjadi dalam praktek dipahami sebagai anti keduniaan atau anti harta. Menurut Qardhawi (1977) hadits-hadits yang memuji sikap zuhud bukan berarti memuji kemiskinan, tetapi berarti memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana. Orang zahid adalah mereka yang memiliki dunia dengan meletakkannya di tangan bukan di dalam hati. Menurut ajaran Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri, dan kemiskinan adalah masalah bahkan musibah yang harus dilenyapkan, serta tidak ada satu pun ayat Al Quran yang memuji kemiskinan dan tidak ada sebaris hadits sahih yang memujanya.

Kesalahpahaman terhadap beberapa ajaran Islam tersebut, dinilai para ahli sebagai hal yang membawa kemunduran dalam kehidupan umat Islam. Menurut Chapra (2001) kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan kelimuan, pemberontakan-pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, dan faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16 pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut.

Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu, bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan guna menghentikan kemunduran itu, namun karena sebab utama tetap ada, maka kemerosotan terus berlangsung hingga saat ini. Faktor utama untuk menghindari kemunduran tersebut adalah dengan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang berorientasi kepada falah oriented , yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tugas ini adalah tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang peduli terhadap keluarga kita umat Islam di seluruh jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu kita sadari, bahwa Rasullullah telah memberikan tauladan terhadap prinsip-prinsip kehidupan yang dapat kita jalankan dalam kehidupan kita semua hingga akhir masa menjelang.

Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.33/ Al-Ahzab: 21)


Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Memasak; Hobby Kreatif yang Memberiku Energi Positif


Memasak merupakan hobby utamaku selain travelling, membaca, dan menulis. Memasak adalah salah satu hobby-ku yang membuatku menemukan banyak ide dan menimbulkan kreativitasku…

Dari kecil (kelas 4 SD) aku sudah sering berkreasi membuat masakan di dapur ibuku. Untung ibuku tak pernah marah jika aku membuat dapurnya berantakan dan persediaan bahan mentah di kulkas dan lemari dapurnya aku gunakan. Besoknya bahan-bahan yang kuhabiskan telah terisi lagi di kulkas dan lemari.

Pada saat kuliah, aku tinggal terpisah dengan keluargaku di daerah Dago Atas Bandung bersama teman-temanku. Di sana aku pun sering mempraktekkan hobby-ku dalam masak memasak. Hasil kreasi masakanku kami makan bersama-sama…

Pada saat sudah berumahtangga, hobby masakku tak surut. Anak-anakku jika aku di rumah sudah menuntut untuk memakan masakanku.
 
1353051327878113356
Memasak juga menjadi sarana kegiatan bersama untuk mendekatkan hubungankeluarga…
 
13530514932077115953
Anakku yang terkecil pun menjadi hobby memasak. Dia ingin punya pabrik cokies kelak…

Memasak bagiku adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan yang dapat menimbulkan berbagai ide dan kreativitas….

1353053422377173589
Ket. Photo: Salah satu kreasi masakanku, alkulturasi kue Melayu dengan Barat, Brownies Kemojo…

Senin, 12 November 2012

Prasati Peninggalan Kolonial yang Tak Terawat



Ternyata di daerah Tanah Abang Jakarta ada sebuah taman bekas pemakaman kolonial Belanda. Tempat itu dahulu dikenal sebagai Kebon Jahe Kober. Pemakaman itu berdiri sejak tahun 1795, dan diperuntukkan bagi para bangsawan dan pejabat tinggi Belanda pada masa VOC berkuasa di Batavia. Pada tahun 1975, pemakaman ini ditutup dan jenazah-jenazah yang ada di pemakaman ini dipindahkan ke pemakaman lain, bahkan ada yang dibawa ke negeri Belanda.


Walaupun jenazah-jenazah yang ada di Pemakaman Kebon Jahe Kober ini dipindahkan, namun sebagian prasasti-prasasti pemakaman tetap ada di lokasi tersebut. Pemakaman ini dipugar pada tahun 1977 oleh Gubernur DKI saat itu, Bang Ali Sadikin dan dijadikan Museum Taman Prasasti. Museum Taman Prasasti menjadi bukti sejarah sisa taman pemakaman umum dari akhir abad ke 18. Taman ini menyimpan koleksi nisan-nisan makam abad ke 16 dan ke 17 yang bernilai seni tinggi. Namun sayang, sepertinya taman ini tak terawat, padahal prasasti atau nisan-nisan itu merupakan benda-benda seni yang dibuat oleh tangan-tangan terampil di abad ke 16-18.


Andaikan Taman Prasasti ini terawat, pasti bisa menjadi asset wisata Jakarta yang akan menarik wisatawan mancanegara. Apabila kita lihat di luar negeri, dengan peninggalan yang sedikit atau keindahan alam yang tak seberapa, tapi pemerintah mereka berhasil menyulap peninggalan atau tempat tersebut menjadi menarik dan dijual ke wisatawan mancanegara. Saya pun berangan-berangan menyaksikan keindahan benda-benda seni yang terawat di negeri sendiri…

Selasa, 06 November 2012

Anak-Anakku, Titipan Sang Pencipta


Alhamdulillah aku dikarunia 3 anak yang menggemaskan, setelah aku & isteriku lama menunggu kehadiran mereka. Isteriku mengalami 5 kali kegagalan dalam kehamilannya. Mungkin karena itu kami begitu sayang dan mencemaskan setiap perkembangan mereka di lingkungan yang serba permisif seperti saat ini.

Si sulung, Viga Sakina Ramadhanty, hadir setelah sekian lama ditunggu dan bunda berkali-kali harus merelakan kakak-kakaknya dikeluarkan dokter karena tidak berkembang di bulan keempat atau bulan kelima dalam kandungan.

Kemudian hampir 4 tahun kemudian lahir si jagoan M. Virza Fathullah. Lengkaplah buah hati kami sepasang. Di antara kelahiran Viga dan Virza, bunda masih sempat mengalami kehamilan tak berkembang seperti masa-masa Viga belum lahir.

Kami sangat bersyukur telah memperoleh sepasang buah hati, dan saat itu kami sudah tidak punya keinginan lagi untuk menambah buah hati karena kami sadar betapa besar cobaan dan rintangan yang kami lewati untuk meperoleh sepasang buah hati kami yang kata orang-orang menggemaskan dengan wajah cantik dan tampan.


Kami sangat bersykur kepada-NYA... Tapi,Allah berkehendak lain. 3 tahun kemudian kami pun mendapatkan kembali seorang buah hati. Buah hati yang kami peroleh tanpa berusaha, tanpa biaya besar, tanpa perawatan khusus seperti kedua kakaknya. Dialah Vimel Rafifa Qonita yang biasa dipanggil Meme..... Anak yang lucu dan kepintarannya di atas rata-rata. Kami sangat bersyukur atas tambahan titipan itu.


Dari sini kami mendapatkan hikmah, bahwa tidak ada satu pun yang tidak mungkin di jalan Allah. Tidak ada satu pun yang bisa merintangi jika DIA sudah berkehendak.

Kini kami senantiasa berdoa kepadaNYA, " Ya Allah mampukanlah kami membesarkan anak-anak kami dengan kasih-sayang MU. Semoga mereka kelak dapat menjadi tauladan bagi lingkungannya..."

Senin, 22 Oktober 2012

SEBARAN KREDIT PERBANKAN & PEMBIAYAAN SYARIAH

Selama tahun 2007, ekonomi global berada dalam gejolak yang dipicu oleh berlebihnya likuidiats dunia yang mendorong peningkatan arus modal jangka pendek, kemungkinan contagion effect dari krisis subprime mortgage, serta domino effect dan kecenderungan kenaikan harga minyak. Akibat kondisi tersebut, sebagian pihak khawatir, bahwa target pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit dicapai. Namun, hingga akhir triwulan III-2007, kekhawatiran tersebut belum mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berdasarkan pengumuman yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 15 November 2007 yang lalu, pertumbuhan PDB triwulan III-2007 mencapai 6,5% (y.o.y) atau meningkat sebesar 3,9% terhadap triwulan sebelumnya. Apabila pertumbuhan ini dapat dipertahankan hingga akhir tahun, maka target pertumbuhan sebesar 6,3% (y.o.y) pada tahun 2007, dapat dicapai. Sumber pertumbuhan terbesar pada triwulan III-2007 disumbang oleh sektor pertanian (1,3%), industri pengolahan (1,2%), serta perdagangan, hotel dan restoran (1,2%). Sektor industri pengolahan, masih merupakan penyumbang terbesar PDB tahun 2007. Sektor pertanian berhasil melewati sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai penyumbang kedua terbesar PDB Indonesia. Pertumbuhan yang besar pada sektor pertanian, terutama, ditunjang oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada sub sektor perkebunan (33,7%).

Pertumbuhan ekonomi akan optimal apabila stabilitas sistem keuangan dapat terpelihara dengan prospek yang baik. Di Indonesia, perbankan masih mendominasi sektor keuangan. Hal ini menimbulkan tingginya ketergantungan kepada perbankan sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan perekonomian. Dengan demikian, apabila perbankan tidak dapat menyalurkan pendanaan kepada sektor riil, maka pengaruh kelambatan pertumbuhan ekonomi menjadi terasa.

Kondisi ekonomi global yang tidak menguntungkan tersebut, ternyata, tidak menghambat penyaluran kredit perbankan Indonesia. Bahkan, pertumbuhan kredit yang diberikan sampai dengan triwulan III-2007 telah mencapai 15,35% dibandingkan akhir tahun 2006. Pertumbuhan kredit tersebut sudah melebihi pertumbuhan kredit perbankan selama tahun 2006.

Sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan kredit paling besar adalah sektor konstruksi (32,60%) diikuti oleh sektor keuangan dan jasa dunia usaha (25,26%). Sektor ekonomi lain yang mengalami pertumbuhan kredit cukup tinggi adalah sektor pertambangan (23,10%). Akan tetapi, pertumbuhan sektor pertambangan tidak stabil pada tiap triwulan. Pada triwulan II-2007, pertumbuhan sektor ini mencapai 44,80%, namun pada triwulan III pertumbuhan tinggal 23,10%. Hal ini terjadi, karena sebagian besar kredit yang diberikan untuk sektor ini merupakan kredit modal kerja berjangka sangat pendek. Di samping itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran juga mengalami kenaikan cukup tinggi (21,09%). Peningkatan kredit perbankan di sektor ini, dipicu oleh peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga pada PDB Indonesia yang mencapai 5,3% (y.oy) pada triwulan III-2007 dengan nominal sebesar Rp 644,5 trilyun.

Sektor ekonomi lain-lain (yang merupakan pembiayaan konsumsi) mempunyai pangsa paling besar dalam kredit yang diberikan oleh perbankan nasional (29,23%). Pertumbuhan kredit yang diberikan kepada sektor ini masih tetap tinggi (17,31%), meskipun tidak sebesar tahun 2005 dan sebelumnya yang mencapai di atas 30% per tahun. Pada sektor produktif terjadi pergeseran pada sektor ekonomi yang memiliki pangsa paling besar dalam kredit yang diberikan. Jika sebelum tahun 2007 yang paling banyak mendapatkan kredit adalah sektor industri pengolahan, maka per triwulan III-2007 sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi sektor produktif yang paling banyak mendapatkan kredit perbankan.

Sektor keuangan dan jasa dunia usaha mengalami peningkatan outstanding kredit yang cukup tinggi pada triwulan III-2007 (Rp 98.269 milyar) dibanding tahun 2006 yang masih sebesar Rp 78.455 milyar. Kredit sektor ini, merupakan kredit yang ditujukan kepada lembaga-lembaga pembiayaan yang sebagian besar diteruskan menjadi pembiayaan konsumer di berbagai sub sektor.

Sektor pertanian, meskipun masih mempunyai pangsa yang kecil terhadap total kredit yang diberikan oleh perbankan, secara perlahan meningkat pangsanya dari tahun ke tahun. Sektor pertanian secara tidak diduga oleh banyak pihak, dapat menjadi penyumbang petumbuhan PDB Indonesia terbesar pada triwulan III-2007.

Berdasarkan jenis penggunaan, outstanding kredit yang diberikan perbankan nasional, merupakan kredit modal kerja. Akan tetapi pertumbuhan paling tinggi terjadi pada kredit yang digunakan untuk konsumsi yang mencapai 17,38% dalam tiga triwulan dibandingkan dengan akhir tahun 2006. Kredit yang diberikan untuk investasi hanya Rp 172,462 milyar (18,87%) dari Rp 913.960 milyar total outstanding kredit perbankan nasional.

Perbankan syariah sebagai bagian perbankan nasional turut berkontribusi dalam sektor keuangan untuk membiayai sektor-sektor ekonomi dalam PDB Indonesia. Pangsa pembiayaan syariah per triwulan III-2007 masih 2,80% dari total kredit yang diberikan oleh perbankan nasional. Pertumbuhan pembiayaan syariah selama triwulan III-2007 masih jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit yang diberikan perbankan nasional, yakni 25,16% dibandingkan akhir tahun 2006.

Pangsa pembiayaan syariah terbesar diberikan pada sektor jasa dunia usaha (30,25%), diikuti oleh sektor lain-lain/konsumsi (22,94%) dan sektor perdagangan (15,62%). Dari komposisi tersebut, dapat dilihat bahwa lebih dari separuh pembiayaan syariah terdistribusi untuk penggunaan konsumsi. Hal ini menunjukkan komposisi pembiayaan yang berkaitan dengan konsumsi pada perbankan syariah jauh lebih besar dari komposisi yang ada pada perbankan umum nasional.

Sektor-sektor ekonomi produktif, seperti sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, dan sektor konstruksi mengalami penurunan pangsa dari tahun ke tahun pada komposisi pembiayaan yang diberikan oleh perbankan Syariah..

Sektor pertanian, yang saat ini dapat menjadi penyumbang pertumbuhan PDB terbesar, bukan hanya mengalami penurunan pangsa pada pembiayaan syariah, tetapi juga mengalami penurunan outstanding dari tahun ke tahun dibandingkan pada tahun 2004. Sektor pertanian hanya memiliki pangsa 2,54% dari total pembiayaan yang diberikan perbankan syariah pada triwulan III-2007. Padahal pada tahun 2004, sektor pertanian, sempat mendapatkan 7,59% dari pangsa pembiayaan Syariah.

Sektor produktif, di luar pertanian, meskipun mengalami peningkatan outstanding pembiayaan syariah, namun mengalami penurunan pangsa dibandingkan total pembiayaan yang diberikan. Sektor industri yang menjadi penyumbang PDB hanya mendapat pangsa 4,68% dari total pembiayaan syariah. Sektor ini mengalami penurunan pangsa secara bertahap sejak tahun 2004. Sedangkan sektor produktif lainnya hanya memperoleh pangsa masing-masing 1,92% untuk sektor pertambangan, 8,91% untuk sektor konstruksi, serta 6,12% untuk sektor transportasi dan komunikasi.

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa pembiayaan syariah di Indonesia saat ini belum terpola. Jika pada tahun 2004 dan sebelumnya, komposisi pembiayaan yang berkaitan dengan konsumsi dengan sektor produktif masih berimbang, maka saat ini justru komposisi pembiayaan yang berkaitan dengan konsumsi semakin jauh meninggalkan sektor produktif.

Dengan demikian, jika merujuk kepada tujuan semula didirikannya perbankan syariah, seharusnya perbankan syariah tidak mengucurkan pembiayaan dengan porsi besar kepada pembiayaan konsumsi. Perbankan syariah perlu mengingat kembali, bahwa tujuan semula didirikannya perbankan syariah adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di segmen mikro, kecil, dan menengah. Namun apadaya, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan oleh pelaku bank syariah untuk mencapai sebuah idealisme akibat berbagai faktor dan kepentingan yang melatarbelakanginya.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Beratnya Menghadapi Godaan Menjelang Ikrar Suci

Sejak era 80-an pesta pernikahan seringkali dilakukan di “gedung” daripada di rumah. Semakin lama untuk memperoleh gedung yang dapat digunakan untuk acara pernikahan menjadi semakin jauh dari waktu acara akan dilakukan. Untuk mendapatkan tempat memakan waktu enam bulan, bahkan sampai satu tahun. Hal tersebut, tentu saja membawa pengaruh dalam persiapan mental seseorang yang akan menikah. Jika dahulu sepasang anak manusia yang mau menikah, dapat langsung menikah beberapa saat kemudian Karena tidak perlu memesan gedung berikut aksesori yang terkait dengan pesta pernikahan tersebut. Dengan demikian, seringkali niat suci sepasang manusia yang akan menikah menjadi tertunda untuk dapat melaksanakannya, bahkan terkadang niat suci tersebut terselenggara dalam keadaan tidak suci lagi.

Dalam beberapa kondisi yang penulis temukan, beberapa pasang calon mempelai terjebak melakukan hal-hal yang seharusnya mereka jaga kesuciannya sebelum akad nikah dilaksanakan akibat panjangnya waktu antara niat suci tersebut diikrarkan dengan waktu pelaksanaan ibadah suci tersebut. Kondisi yang serba permisif saat ini turut pula menambah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang belum waktunya dilakukan.

Pernah sebuah kejadian yang penulis temukan, yakni seorang anak muda yang “taat” beribadah melakukan hal yang belum dibenarkan untuk dilakukan dengan calon isterinya beberapa hari sebelum akad dilaksanakan karena kondisi yang membuat mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Sebagaimana banyak ditemukan, semakin dekat dengan akan dilaksanakannya acara pernikahan, maka semakin banyak pula tekanan yang diterima. Sang anak muda dan calon isterinya berkeluh kesah dan saling “curhat” terhadap tekanan-tekanan yang mereka terima baik menyangkut segala “tetek-bengek” acara yang tak kunjung “beres” dan permintaan-permintan dari keluarga dan berbagai pihak yang cukup “memusingkan”. Untuk saling menenangkan hati, maka mereka saling ‘curhat” berduaan, mulai dari kata-kata hingga gerakan dan akhirnya tanpa disadari mereka telah jauh melangkah melakukan hal yang telah mereka jaga selama ini.  

Sang anak muda dengan penuh penyesalan menyampaikan “keteledorannya” kepada penulis. Dia menyesal tidak dapat menjaga kesucian niat suci mereka untuk menempuh kehidupan suci berumahtangga hanya beberapa hari sebelum acara suci tersebut dilakukan. Penulis hanya dapat menyampaikan, bahwa sesuatu yang telah terjadi tidak ada gunanya disesali terus menerus. Hanya minta ampun kepada Allah yang dapat menjadi jalan keluarnya.

Kejadian sepasang anak manusia yang telah berniat suci untuk mengarungi bahtera rumah tangga sakinah mawaddah waramah yang ternoda sebelum niat suci tersebut terlaksana, bukan hanya dialami oleh anak muda di atas. Beberapa kasus yang hampir serupa penulis temui pula pada beberapa pasang anak muda lainnya. Ada yang beberapa hari menjelang pernikahan seperti di atas, ada yang sebulan sebelum akad nikah dilangsungkan, ada yang dua bulan atau tiga bulan sebelum acara suci tersebut dilaksanakan. Mereka berbeda dengan pasangan-pasangan yang menikah karena “kecelakaan” dan berbeda sama sekali dengan orang-orang yang hidup bebas tanpa ikatan pernikahan.

Mereka telah merencanakan suatu kehidupan suci untuk membentuk keluarga sakinah mawadah waramah. Namun di tengah jalan, sebelum kehidupan suci tersebut mereka lalui, mereka “tanpa sadar” telah menodai kesucian niat suci yang mereka ikrarkan. Kondisi ini mungkin lebih berat daripada kondisi orang-orang yang sebelum ketemu pasangan dalam rumah tangga mereka telah terjerumus melakukan pergaulan bebas dengan orang lain, dan kemudian mereka insyaf lalu menikah dengan orang lain. Suatu perbuatan masa lalu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, seringkali menghantui alam bawah sadar seseorang. Seorang yang melakukan perbuatan “terlarang” dengan orang lain mungkin tidak akan seberat orang yang pernah melakukan perbuatan “terlarang” dengan pasangan “syah” nya sendiri. Orang yang taubat dan telah melakukan perbuatan “terlarang” dengan bukan pasangan “syah”nya akan berkurang rasa penyesalannya karena tidak menemui orang yang pernah melakukan dosa bersamanya, sedangkan orang yang melakukan dengan orang yang saat ini telah menjadi pasangan “syah”nya setiap dia ingat dosanya dia akan menemui orang yang pernah bersama melakukan dosa dengannya.

Oleh karena itu, saya sering menghimbau kepada pasangan-pasangan muda yang telah merencanakan pernikahan mereka, tetapi dilakukan dengan jarak waktu yang cukup panjang karena berbagai macam “persiapan” yang harus dilakukan sebelum pernikahan itu sendiri dilakukan, untuk menjaga diri mereka untuk tidak terlalu sering berdua-duaan karena syetan tidak pernah relah melihat anak manusia hidup dengan kesucian. Banyak dari mereka yang merasa yakin bahwa mereka cukup kuat dengan iman yang dimiliki. Namun pada akhirnya, anak-anak manusia yang yakin dengan keimanan mereka tadi, tidak sedikit yang terjerembab menodai ikrar suci yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu, Al Qur’an secara tegas menyatakan bahwa jangan kau dekati zinah. Jadi bukan hanya zinah yang dilarang. Berdua-duaan di tempat yang tak terawasi merupakan pintu untuk mendekati zinah bahkan zinah itu sendiri.

Ketaatan beribadah seseorang tidak menjadi jaminan, bahwa syetan tidak akan menggoda mereka. Semakin kuat iman seseorang akan semakin kuat syetan yang diutus untuk menggoda anak manusia yang sedang berdua-duaan sebelum ikrar suci mereka terlaksana. Akhirnya penyesalan datang karena mereka tidak sempat menikmati malam pertama mereka nan suci. Kondisi tersebut ibarat seorang yang berpuasa sedang menunggu bedug maghrib, tetapi tergoda menikmati makanan yang disiapkannya untuk berbuka puasa menjelang azan maghrib berkumandang. Nauzubillah min zalik.

Penulis: MERZA GAMAL
(Tulisan ini kupersembahkan untuk “anak-anakku” yang sedang menanti pelaksanaan ikrar suci mereka)