Senin, 26 November 2007

Fenomena Subprime Mortgage & Dilema Kredit Konsumtif Indonesia


Belakangan di mass media banyak ditulis, bahwa salah satu permasalahan krisis keuangan yang melanda Amerika adalah berkaitan dengan industri “subprime mortgage” (KPR Subprima). Diawali pada akhir tahun 2006, industri KPR subprima di Amerika memasuki suatu masa yang disebut "masa kehancuran KPR subprima". Tingginya angka penyitaan jaminan KPR subprima ini telah menyebabkan lebih dari 24 perusahaan pemberi pinjaman KPR subprima mengalami kepailitan, salah satunya adalah perusahaan terkemuka yaitu New Century Financial Corporation, yang merupakan perusahaan KPR subprima terbesar kedua di Amerika. Kehancuran dari perusahaan-perusahaan KPR subprima ini telah mengakibatkan harga pasar saham berbasis real estate investment trust senilai 6.5 triliun USD jatuh dan membawa pengaruh meluas terhadap bursa saham Amerika serta ekonomi secara keseluruhan. Krisis ini masih berlanjut terus dan telah mendapatkan perhatian serius dari media massa di Amerika serta pembuat undang-undang pada awal tahun 2007.
Permasalahan yang terjadi di Amerika tersebut, tampaknya tidak menjadi sebuah pelajaran berharga bagi praktisi keuangan di Indonesia. Dalam berita media masa pada awal November disampaikan bahwa perbankan mengenjot kredit konsumtif menjelang akhir tahun 2007 untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat. Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.

Dari catatan perbankan nasional Indonesia per September 2007, terlihat bahwa Rp 267 trilyun dari Rp 913 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 98,269T) merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 21,65% (Rp 198T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia tahun 2007. Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,4% (Rp 49,8T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 20,9% (Rp 191T) saja dari total outstanding kredit.

Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai.

Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Mereka membuktikan dari kecilnya angka NPL (Non Performing Loan) sektor ini, pada tahun 2005 hanya 2,26% saja. Namun keyakinan itu agak menurun karena mulai naiknya NPL sektor konsumtif menjadi 3,3% per September 2007. Apakah keyakinan para pelaku perbankan terhadap kredit konsumtif yang menjanjikan benar adanya, dapat kita resapi dari bahasan Stiglitz pada bukunya di atas, meskipun ia tidak secara khusus membahas permasalahan tersebut.

Seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas hidup masyarakat, termasuk profesi pekerja. Apabila resesi yang terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output hanya naik 1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan pengangguran.

Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas, dalam jangka pendek, bisa jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja. Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.

Era “Ekonomi Baru” setelah tahun 1990 yang sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut merubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa dikontrak (outsourcing) lagi nanti saat diperlukan”.

Munculnya era ekonomi baru beserta budaya baru yang ditimbulkannya, akan sangat berpengaruh terhadap pinjaman konsumtif yang diberikan bank kepada nasabahnya, yang hampir seluruhnya, merupakan pekerja. Kerentanan kondisi pekerja yang ada saat ini akan membuat pekerja mudah sekali kehilangan pekerjaannya. Pada saat seseorang kehilangan pekerjaan, hal utama yang akan dipenuhi adalah kebutuhan pokok mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Dari sisi psikologi, pada saat seseorang mempunyai sumber daya yang terbatas, maka pemenuhan kewajiban (hutang) akan menjadi urutan pemenuhan yang terakhir. Dengan demikian, risiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank yang mempunyai portfolio pembiayaan konsumtif yang besar turut menjadi besar setiap siklus resesi terjadi pada roda perekonomian.

Permasalahan penting lainnya yang membayangi portfolio pinjaman konsumtif yang besar adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiliglitz, suku bunga tinggi sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada tiga hitungan, yaitu:
Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.

Bila dikaji lebih lanjut, sistem bunga pada sebuah pembiayaan mempunyai pengaruh yang tidak baik bukan saja pada saat suku bunga tinggi, melainkan juga pada saat suku bunga rendah. Menurut Umer Chapra (1985), sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah.
Suku bunga yang tinggi akan “menghukum” pengusaha sehingga akan:
- menghambat investasi dan formasi modal;
- menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja;
- menyebabkan laju pertumbuhan yang rendah.
Suku bunga yang rendah akan “menghukum” para penabung yang akan:
- menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan;
- mengurangi rasio tabungan kotor;
- merangsang pengeluaran konsumtif yang menimbulkan tekanan inflasioner;
- mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif;
- menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.

Bagi seorang pekerja yang sangat tergantung kepada perusahaan pada era ekonomi baru dengan budaya perusahaan yang berbeda dengan masa lalu, kondisi suku bunga yang tinggi maupun rendah mempunyai dampak yang signifikan dalam pemanfaatan dana yang mereka peroleh maupun miliki dari hasil pekerjaan mereka.

Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan, pendapat sebagian pihak yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumtif merupakan portfolio yang menguntungkan dan aman pada saat ini, sebenarnya kurang tepat. Sebaliknya, pelaku perbankan sadar bahwa terlalu besar mengelolah portfolio pembiayaan konsumtif merupakan sebuah “api dalam sekam”, yang tiba-tiba akan dapat menghabiskan semua yang ada pada saat yang tidak dapat diduga sebelumnya, dan dapat saja menjadi sebuah “dilemma” masa depan. Apakah fenomena “subprime mortgage” di Amerika tidak cukup menggugah para pelaku keuangan di Indonesia????


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Tidak ada komentar: