Program BIMAS (Bimbingan Masal)
Dalam rangka mencapai swasembada pangan, melalui intensifikasi padi, pada tahun 1973 Pemerintah Republik Indonesia membuat program Bimbingan Masal (BIMAS) berdasarkan Instruksi Presiden No. 4/1973. Program ini didahului dengan uji coba BIMAS di Yogyakarta pada tahun 1969, dan diperbaiki menjadi BIMAS Nasional pada tahun 1970/1971 sebelum diberlakukan sebagai program nasional pada tahun 1973.
Inti pendekatan BIMAS adalah program pelayanan dalam 4 (empat) bagian yang terdiri dari penyuluhan pertanian, kredit bersubsidi, pasokan input, dan jasa pemasaran output. Program ini diterapkan dalam blok-blok, dan setiap blok terdiri dari 2 sampai 7 desa dengan 600 sampai 1.000 hektar sawah. Setiap blok BIMAS memiliki empat fasilitas dasar, yaitu:
(1) Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)
(2) Sebuah toko eceran, yang dijalankan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) atau pedagang swasta untuk memasok pupuk dan input-input lainnya;
(3) Sebuah agen yang mengelola perolehan, penyimpanan, dan pemrosesan beras;
(4) BRI Unit sebagai Bank Desa yang akan menyediakan kredit yang disubsidi untuk petani secara langsung.
Program BIMAS, saat dibuat, memiliki dua sasaran utama, yakni:
(1) Untuk memainkan peranan yang penting dalam sasaran program intensifikasi padi dalam meningkatkan produksi beras secara cepat. Program BIMAS menekankan pinjaman untuk pengolahan varietas padi yang meningkatkan hasil panen di sawah dengan sistem irigasi yang baik;
(2) Untuk meningkatkan pendapatan para petani miskin. Diasumsikan bahwa tanpa kredit, para petani tidak akan mampu untuk membeli input yang dibutuhkan dalam perkembangan teknologi padi baru yang memungkinkan hasil panen yang lebih signifikan.
Pelaksana kredit dalam program BIMAS diserahkan kepada BRI sebagai intermediary institution. Untuk mencapai ke lokasi program di desa-desa, didirikan BRI unit di tingkat Kecamatan di daerah pedesaan seluruh Indonesia . BRI Unit diawasi oleh jaringan cabang BRI yang terletak di tingkat kabupaten. Sumber dana kredit disediakan dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan suku bunga 3% per tahun, sedangkan tingkat suku bunga pasar, saat itu, 15% per tahun. Resiko pengembalian KLBI ditanggung oleh BRI 25%, Departemen Keuangan 50%, dan Bank Indonesia 25%. Di samping itu, pemerintah juga mensubsidi biaya administrasi BRI Unit.
Dalam Program BIMAS, pemberian kredit kepada petani tidak berupa uang tunai melainkan dipasok dalam bentuk materi, seperti benih, pupuk, dan insektisida, oleh KUD. Namun pengembalian kredit berupa uang tunai. Jumlah pinjaman ditentukan sesuai dengan luas lahan yang akan diolah oleh seorang petani. Keputusan pemberian pinjaman bukan berada pada BRI Unit Desa selaku Bank Desa ataupun Cabang BRI selaku intermediary institution, tetapi ditentukan oleh para pejabat Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah, serta Komite yang ditugaskan untuk memenuhi sasaran pemerintah dalam pinjaman BIMAS.
Oleh karena keputusan pinjaman BIMAS bukan pada lembaga keuangan yang mengelola kredit tersebut, maka kredit yang seharusnya dicairkan untuk setiap petani yang berpartisipasi pada sebelum musim tanam, seringkali diterima para peminjam tidak tepat pada waktunya. Dengan demikian, para petani terpaksa menanam tanpa pupuk atau input lainnya, atau harus membeli dengan dana dari sumber penghasilan lainnya. Sumber dana tersebut berasal dari tabungan atau pinjaman informal. Paket pinjaman yang datang setelah petani melakukan penanaman menimbulkan permasalahan sendiri bagi petani. Akibat dari hal tersebut, para petani harus menggunakan meskipun musim tanam telah lewat atau menjual dengan harga murah atau menyimpan input-input pinjaman BIMAS yang telah diterima.
Pinjaman untuk pengolahan padi disediakan secara terpisah untuk musim kemarau dan musim hujan. Untuk mayoritas periode BIMAS, pinjaman jatuh tempo tepat setelah penuaian panen yang menggunakan input BIMAS. Akibatnya, para petani yang membayar pinjaman mereka dari hasil penjualan beras harus menjual dari hasil panennya pada saat harga berada pada titik terendah.
Program BIMAS mencapai puncaknya pada musim hujan tahun 1975/1976 dengan jumlah sekitar Rp 55 miliar (setara USD 133 juta pada waktu itu) yang diberikan kepada lebih 2,5 juta peminjam mencakup 2,2 juta hektar sawah. Akan tetapi, setelah masa itu terjadi kegagalan panen yang meluas. Kegagalan yang disertai dengan kelemahan dalam perancangan program, paket input yang tidak cocok untuk tanah banyak petani, dan strategi implementasi yang salah bimbingan telah mengakibatkan tingkat kegagalan pembayaran yang lebih tinggi. Pinjaman mengalami keterlambatan pembayaran hingga 90 hari atau lebih. Partisipasi terhadap program BIMAS pun mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni tidak sampai 0,5 juta peminjam dengan luas lahan tidak sampai 0,5 juta hektar pada musim tanam 1983/1984. (Data BRI dalam Robinson, 2001).
Pada masa 1974-1984, pelunasan tepat waktu kredit BIMAS hanya rata-rata 57%, dan yang menjadi peserta umumnya petani-petani yang lebih kaya dari periode sebelumnya. Hal itu terjadi karena besar kredit BIMAS rata-rata adalah untuk satu hektar lahan per petani. Padahal, hanya sebagian kecil petani yang memiliki sawah seluas satu hektar atau lebih. Di Pulau Jawa, rumah tangga petani kebanyakan mempunyai luas sawah di bawah 0,25 hektar, bahkan sebagian besar tidak mempunyai lahan.
Akhirnya pada tahun 1985, program BIMAS diberhentikan secara resmi oleh pemerintah karena dinilai tidak mampu menjangkau para petani miskin secara effektif maupun memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya intensifikasi padi. Akan tetapi, meskipun program BIMAS gagal, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan beras pada tahun 1985 yang merupakan tahun berakhirnya program BIMAS.
Kegagalan program BIMAS terjadi karena banyak faktor. Faktor-faktor kegagalan BIMAS berbeda di tiap desa, namun dapat ditarik satu kesimpulan yang mendasari adalah sama (Robinson, 2001), yakni:
- Tingkat bunga yang disubsidi mencegah kelangsungan institusional;
- BRI tidak diperbolehkan memilih peminjamnya sendiri;
- Pinjaman dikaitkan dengan paket yang sudah ditentukan dan seringkali tidak cocok atau bahkan kadang-kadang merusak tananam padi;
- Di banyak daerah subsidi kredit diberikan kepada warga desa yang telah kaya;
- Di beberapa daerah, peminjam dipilih oleh para pejabat pemerintah demi memenuhi target, meskipun tanah peminjam tidak cocok dengan input yang disediakan atau bahkan untuk penanaman padi;
- Dalam beberapa tahun terjadi kegagalan panen yang parah, seringkali sebagai akibat langsung dari insektisida yang didistribusikan dalam paket BIMAS;
- Kebijakan Pemerintah untuk penjadwalan ulang pinjaman direncanakan dengan buruk dan seringkali diimplementasikan dengan korup;
- Staf BRI Unit tidak dilatih dengan baik, bergaji rendah, tidak termotivasi, dan umumnya tidak dipedulikan dan dipandang rendah oleh bagian BRI yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar