Analisa Komparatif Kemitraan Bank
Dalam Pengembangan Usaha Mikro
Persamaan keempat program tersebut adalah merupakan program yang membantu pendanaan para pelaku usaha mikro dalam menjalankan usahanya, yang dilakukan melalui Bank Umum serta ada lembaga donatur yang berperan. Peran para donatur beragam, mulai dari penyediaan dana, hingga pendampingan dalam pembinaan, pelatihan, dan penjaminan.
Pada program BIMAS yang menjadi pengelola program adalah Departemen Pertanian dengan melibatkan Bank Indonesia sebagai penyedia Dana Likuiditas dan Departemen Keuangan sebagai penjamin dana sebesar 50% dari total kredit yang macet. Pada program PHBK yang menjadi pengelola program adalah Bank Indonesia dengan melibatkan GTZ (Pemerintah Jerman) sebagai pendamping dalam konsultasi proyek. Pada program P4K yang menjadi pengelola program adalah Departemen Pertanian dengan melibatkan International for Agricultural Development (IFAD) yang menyediakan 80% dana dan Bank Indonesia yang menyediakan dana 20% melalui KLBI. Disamping lembaga donor yang menyediakan dana kredit, pada program P4K juga melibatkan United Nations Development Program (UNDP) dan Pemerintah Belanda yang berperan sebagai konsultan dalam pelaksanaan proyek. Pada program PPKP yang menjadi pengelola adalah Departemen Koperasi (kemudian pada tahun 1991 diserahkan sepenuhnya kepada Bank BUKOPIN) dengan melibatkan Rabobank Foundation (Pemerintah Belanda) sebagai penyedia dana modal pembiayaan kepada KUD dan konsultan dalam pelaksanaan proyek.
Dalam keputusan pemberian kredit kepada pengguna, tidak semua program menyerahkannya kepada bank pelaksana. Pada program BIMAS, keputusan kredit bukan berada pada BRI tetapi pada Komite Kredit BIMAS yang terdiri dari pejabat Departemen Pertanian dan Pemerintah Daerah. Pada program P4K pada periode 1989-1998 keputusan kredit berada pada Departemen Pertanian, dan pada tahun 1998 diubah kepada BRI sebagai Bank Pelaksana. Perubahan pemberian keputusan kredit tersebut menyebabkan tingkat tunggakan kredit menjadi turun dari periode sebelumnya. Putusan kredit yang tidak diberikan oleh Bank Pelaksana, mengakibatkan Bank memiliki kontrol yang lemah atas pemilihan peminjam sehingga Bank tidak dapat mengelola account pembiayaan secara optimal. Hal ini merupakan potensi besar dalam penyebab kemacetan suatu kredit yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Demikian pula, pada program PPKKP, pada awal proyek, Keputusan Pemberian Kredit diberikan oleh Departemen Koperasi yang menyebabkan tingginya tingkat tunggakan. Akan tetapi begitu Keputusan Kredit kepada Koperasi diserahkan sepenuhnya kepada Bank BUKOPIN sebagai Bank Pelaksana, tingkat pengembalian menjadi 99% dari pembiayaan yang diberikan.
Materi pemberian kredit berupa uang tunai pada tiga program, kecuali pada program BIMAS yang memberikan berupa paket input. Pada program BIMAS pagu kredit, jenis input, kriteria peminjam telah ditentukan oleh Pemerintah, sehingga seringkali antara kebutuhan petani dengan input yang diberikan tidak tidak sesuai. Hal ini malah menyebabkan permasalahan tersendiri bagi petani sebagai penerima kredit yang akhirnya menimbulkan ketidakmampuan petani untuk melunasi pinjamannya. Demikian pula, hal ini sempat terjadi pada program P4K pada periode 1989-1998, dimana PPL dari Departemen Pertanian yang menentukan jumlah kredit kelompok (KPK) sehingga terjadi ketidaksesuaian kebutuhan kredit dengan jumlah yang dibutuhkan dan pada akhirnya menimbulkan permasalahan kredit. Akan tetapi ketika diubah, kebutuhan ditentukan oleh para pengguna yang didiskusikan dengan pihak Bank, maka permasalahan kredit menjadi berkurang.
Penerima kredit dan pengguna dana kredit akhir dalam keempat program berbeda-beda. Pada program BIMAS penerima akhir adalah petani yang diberikan oleh BRI Unit. Pada program PHBK penerima kredit akhir adalah anggota KSM melalui KSM yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Pada program P4K penerima kredit adalah kelompok usaha (KPK) yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Sedangkan pada program PPKKP yang menerima kredit adalah pelaku usaha yang tergabung dalam kelompok melalui Kelompok Usaha yang diberikan oleh Koperasi sebagai lembaga keuangan mikro, sedangkan Bank Pelaksana memberikan modal kredit kepada Koperasi untuk dikelola secara mandiri. Dalam program BIMAS dan PPKKP ada suatu program pemberdayaan dan penguatan fungsi lembaga keuangan mikro formal. Sedangkan dalam program PHBK, P4K, dan PPKKP ada upaya pembangunan kelompok swadaya dalam mengelola keuangan bersama antara anggota kelompoknya. Pada program PHBK dan PPKP selain upaya pembangunan kelompok juga ada upaya pemandirian pelaku usaha sebagai pribadi, yang tidak terdapat pada program P4K. Dengan demikian program PPKKP yang paling lengkap dalam pemberdayaan berbagai pihak, yakni penguatan fungsi lembaga keuangan mikro, pemberdayaan kelompok usaha, pemandiriaan pelaku usaha mikro.
Keempat program mempunyai petugas pendamping di lapangan untuk membina dan melatih kemampuan pelaku usaha mikro atau petani. Namun yang paling lengkap ada pada program PHBK dan PPKKP karena disamping pembinaan dan pelatihan teknis juga memberikan pendamping pembina keuangan/ kredit. Sehingga, kemampuan pelaku usaha dalam kedua program tersebut terlihat menonjol dan berhasil menjalankan usahanya dengan dana kredit yang diperoleh dengan baik dan optimal.
Sumber dana kredit pada program BIMAS dan P4K (sebelum fase tahun 1998) berasal dari dana KLBI bersubsidi yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Kondisi yang demikian, justru menjadi salah satu faktor kegagalan kredit, karena dana kredit tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha melainkan diinvestasikan atau dimanfaatkan dalam bentuk lain, bahkan lebih dinikmati oleh petani kaya dari pada petani kecil atau pelaku usaha mikro. Menurut Ali Wardhana, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Ekonomi (Introduction dalam Robinson, 2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1980-an pemerintah mulai menyadari pinjaman bersubsidi menjadi tidak tepat sasaran dan tidak efektif, sehingga bukannya membantu perkembangan pedesaan, tetapi justru memperlambat pertumbuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar