Seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan”. Di samping itu menahan pekerja yang ingin keluar dari perusahaan juga dianggap sebagai akan membuat “besar kepala” seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi “biarkan satu pekerja anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan gaji yang lebih rendah akan datang menggantikan”.
Akan tetapi, bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas adalah merupakan sebuah tindakan melemahkan pembangunan loyalitas Sumber Daya Manusia. Tindakan tersebut akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. Manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi.
Namun demikian, banyak korporasi sebagai organisasi saat ini, telah melupakan visi dan misinya yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang memiliki rasa kesetiaan. Kesetiaan usaha, tampaknya sudah merupakan sebuah nilai dari era yang telah lewat. Hal ini dapat berarti, bahwa angka penduduk bekerja bisa berkurang lebih cepat begitu kondisi ekonomi terpuruk. Akibat kesetiaan perusahaan kepada pekerja menurun, tidak heran keresahan pekerja terhadap kelangsungan pekerjaannya menjadi meningkat. Kekuatan serikat buruh yang dahulu melindungi para pekerja kasar menjadi kian lemah pada era ekonomi baru. Ketidakpastian kerja, bukan hanya dialami oleh pekerja kasar, tetapi juga menyebar ke pekerja kantoran. Kemajuan teknologi membuat perusahaan melakukan perampingan dari hari ke hari. Dengan demikian, jaminan pekerjaan seumur hidup atau minimal sampai usia pensiun sudah menjadi pembahasan masa lampau.
Konsep sumber daya manusia sebagai human capital pada sebuah korporasi, sering kali, hanya menjadi istilah yang tidak sesuai dengan idealitas. Idealnya penanganan human capital akan dapat membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagai bagian pembangunan bangsa. Namun seringkali, human capital, hanya memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Seharusnya, penanganan pekerja sebagai human capital dapat menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Berubahnya situasi perekonomian saat ini juga memaksa pekerja menanggung risiko jauh lebih besar dari era ekonomi sebelumnya. Risiko yang mereka tanggung bukan hanya saat mereka bekerja tetapi juga pada saat pensiun. Para pekerja mengandalkan program dana pensiun untuk meningkatkan penghasilan mereka pada masa pensiun nanti. Dalam mengelola dana pensiun, agar mendapatkan hasil yang maksimal, lembaga dana pensiun mempertaruhkan dananya pada saham di pasar modal. Namun, seringkali mereka tidak sadar, bahwa gelembung saham membuat laba menjadi tampak lebih besar dan membuat gelembung itu sendiri menjadi kian besar lagi. Dengan demikian, sebenarnya semua itu hanya sebuah fatamorgana yang tidak disadari bahwa akan dapat meletus pada suatu saat.
Anjloknya bursa saham, akan menyebabkan lembaga dana pensiun yang menempatkan dananya pada bursa saham akan langsung kekurangan dananya. Kondisi ini pada akhirnya akan berakibat buruk bagi pekerja yang memiliki dana pensiun tersebut, yang tadinya diinvestasikan untuk persiapan penunjang kehidupan mereka di kala sudah tidak dapat bekerja lagi.
Pada era ekonomi baru, saat ini, posisi kaum pekerja berada dalam posisi yang relatif kalah dibandingkan majikan mereka. Sebenarnya hal ini, harus menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan (majikan) tidak mengeksploitir asimetri kekuatan tersebut. Namun di dalam era ekonomi baru , kekuasaan sudah bergeser dari pemerintah kepada korporasi global. Kekuasaan korporasi semakin besar dan terpusat seiring berjalannya mekanisme merger dan akuisisi perusahaan. Akibatnya, tanpa disadari, sistem politik suatu negara semakin tergantung pada korporasi. Para kaki tangan korporasi global dapat mempengaruhi pembuatan semua peraturan pemerintah. Hal itu, berakibat semakin memperkuat hak korporasi, dan sebaliknya akan merugikan hak-hak asasi manusia.
Korporasi global yang mempunyai kekuasaan besar saat ini, bukan manusia atau makhluk hidup. Ia merupakan sekumpulan yang tidak bernyawa atas hak dan hubungan keuangan yang dijaga secara hukum. Ia direkayasa secara pintar untuk mengabdi kepada uang berikut segala perintahnya. Uanglah yang mengalir dalam urat nadinya, bukan darah. Korporasi tidak memiliki jiwa dan kesadaran sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Pekerja pada korporasi, baik sebagai pegawai biasa maupun CEO dan pengelola keuangannya adalah kuli-kuli kecil yang dibayar untuk mempertahankan nilai-nilai korporasi dan melakukan perintahnya. Sebagai orang yang akan berperan dalam korporasi, pekerja dilatih dengan bahasa uang, sehingga untuk menentukan harga segala sesuatu dan menentukan setiap pilihan harus dapat dinilai dengan uang. Akibat bahasa uang, mereka pun dapat berubah menjadi “leviathan” di antara sesama pekerja. Pada akhirnya, pekerja akan menerima semua itu sebagai suatu kebenaran yang alamiah, sehingga pekerja pun dinilai semata-mata berdasarkan kinerja uang dan dimotivasi oleh dorongan uang belaka.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar