Sejak era 80-an pesta pernikahan seringkali dilakukan di “gedung” daripada di rumah. Semakin lama untuk memperoleh gedung yang dapat digunakan untuk acara pernikahan menjadi semakin jauh dari waktu acara akan dilakukan. Untuk mendapatkan tempat memakan waktu enam bulan, bahkan sampai satu tahun. Hal tersebut, tentu saja membawa pengaruh dalam persiapan mental seseorang yang akan menikah. Jika dahulu sepasang anak manusia yang mau menikah, dapat langsung menikah beberapa saat kemudian Karena tidak perlu memesan gedung berikut aksesori yang terkait dengan pesta pernikahan tersebut. Dengan demikian, seringkali niat suci sepasang manusia yang akan menikah menjadi tertunda untuk dapat melaksanakannya, bahkan terkadang niat suci tersebut terselenggara dalam keadaan tidak suci lagi.
Dalam beberapa kondisi yang penulis temukan, beberapa pasang calon mempelai terjebak melakukan hal-hal yang seharusnya mereka jaga kesuciannya sebelum akad nikah dilaksanakan akibat panjangnya waktu antara niat suci tersebut diikrarkan dengan waktu pelaksanaan ibadah suci tersebut. Kondisi yang serba permisif saat ini turut pula menambah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang belum waktunya dilakukan.
Pernah sebuah kejadian yang penulis temukan, yakni seorang anak muda yang “taat” beribadah melakukan hal yang belum dibenarkan untuk dilakukan dengan calon isterinya beberapa hari sebelum akad dilaksanakan karena kondisi yang membuat mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Sebagaimana banyak ditemukan, semakin dekat dengan akan dilaksanakannya acara pernikahan, maka semakin banyak pula tekanan yang diterima. Sang anak muda dan calon isterinya berkeluh kesah dan saling “curhat” terhadap tekanan-tekanan yang mereka terima baik menyangkut segala “tetek-bengek” acara yang tak kunjung “beres” dan permintaan-permintan dari keluarga dan berbagai pihak yang cukup “memusingkan”. Untuk saling menenangkan hati, maka mereka saling ‘curhat” berduaan, mulai dari kata-kata hingga gerakan dan akhirnya tanpa disadari mereka telah jauh melangkah melakukan hal yang telah mereka jaga selama ini.
Sang anak muda dengan penuh penyesalan menyampaikan “keteledorannya” kepada penulis. Dia menyesal tidak dapat menjaga kesucian niat suci mereka untuk menempuh kehidupan suci berumahtangga hanya beberapa hari sebelum acara suci tersebut dilakukan. Penulis hanya dapat menyampaikan, bahwa sesuatu yang telah terjadi tidak ada gunanya disesali terus menerus. Hanya minta ampun kepada Allah yang dapat menjadi jalan keluarnya.
Kejadian sepasang anak manusia yang telah berniat suci untuk mengarungi bahtera rumah tangga sakinah mawaddah waramah yang ternoda sebelum niat suci tersebut terlaksana, bukan hanya dialami oleh anak muda di atas. Beberapa kasus yang hampir serupa penulis temui pula pada beberapa pasang anak muda lainnya. Ada yang beberapa hari menjelang pernikahan seperti di atas, ada yang sebulan sebelum akad nikah dilangsungkan, ada yang dua bulan atau tiga bulan sebelum acara suci tersebut dilaksanakan. Mereka berbeda dengan pasangan-pasangan yang menikah karena “kecelakaan” dan berbeda sama sekali dengan orang-orang yang hidup bebas tanpa ikatan pernikahan.
Mereka telah merencanakan suatu kehidupan suci untuk membentuk keluarga sakinah mawadah waramah. Namun di tengah jalan, sebelum kehidupan suci tersebut mereka lalui, mereka “tanpa sadar” telah menodai kesucian niat suci yang mereka ikrarkan. Kondisi ini mungkin lebih berat daripada kondisi orang-orang yang sebelum ketemu pasangan dalam rumah tangga mereka telah terjerumus melakukan pergaulan bebas dengan orang lain, dan kemudian mereka insyaf lalu menikah dengan orang lain. Suatu perbuatan masa lalu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, seringkali menghantui alam bawah sadar seseorang. Seorang yang melakukan perbuatan “terlarang” dengan orang lain mungkin tidak akan seberat orang yang pernah melakukan perbuatan “terlarang” dengan pasangan “syah” nya sendiri. Orang yang taubat dan telah melakukan perbuatan “terlarang” dengan bukan pasangan “syah”nya akan berkurang rasa penyesalannya karena tidak menemui orang yang pernah melakukan dosa bersamanya, sedangkan orang yang melakukan dengan orang yang saat ini telah menjadi pasangan “syah”nya setiap dia ingat dosanya dia akan menemui orang yang pernah bersama melakukan dosa dengannya.
Oleh karena itu, saya sering menghimbau kepada pasangan-pasangan muda yang telah merencanakan pernikahan mereka, tetapi dilakukan dengan jarak waktu yang cukup panjang karena berbagai macam “persiapan” yang harus dilakukan sebelum pernikahan itu sendiri dilakukan, untuk menjaga diri mereka untuk tidak terlalu sering berdua-duaan karena syetan tidak pernah relah melihat anak manusia hidup dengan kesucian. Banyak dari mereka yang merasa yakin bahwa mereka cukup kuat dengan iman yang dimiliki. Namun pada akhirnya, anak-anak manusia yang yakin dengan keimanan mereka tadi, tidak sedikit yang terjerembab menodai ikrar suci yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu, Al Qur’an secara tegas menyatakan bahwa jangan kau dekati zinah. Jadi bukan hanya zinah yang dilarang. Berdua-duaan di tempat yang tak terawasi merupakan pintu untuk mendekati zinah bahkan zinah itu sendiri.
Ketaatan beribadah seseorang tidak menjadi jaminan, bahwa syetan tidak akan menggoda mereka. Semakin kuat iman seseorang akan semakin kuat syetan yang diutus untuk menggoda anak manusia yang sedang berdua-duaan sebelum ikrar suci mereka terlaksana. Akhirnya penyesalan datang karena mereka tidak sempat menikmati malam pertama mereka nan suci. Kondisi tersebut ibarat seorang yang berpuasa sedang menunggu bedug maghrib, tetapi tergoda menikmati makanan yang disiapkannya untuk berbuka puasa menjelang azan maghrib berkumandang. Nauzubillah min zalik.
(Tulisan ini kupersembahkan untuk “anak-anakku” yang sedang menanti pelaksanaan ikrar suci mereka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar