Dampak pinjaman internasional yang dianggap sebagai bantuan luar negeri pada dekade 70-90 yang menyebabkan multi krisis pada tahun 1997-1998 masih terasa hingga sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang dibiayai oleh pinjaman tersebut diyakini akan memberi trickle down effect kepada masyarakat, dalam kenyataan malah menimbulkan bubble gum economic.
Menurut Jhon Perkins (2004), yang pernah terlibat sebagai seorang Economic Hit Man (EHM), bantuan-bantuan kepada negara berkembang oleh lembaga “donor” internasional memuat persyaratan, bahwa perusahaan rekayasa dan konstruksi negara asal pemberi bantuan yang harus membangun semua proyek bantuan. Dengan demikian, sebenarnya, uang yang ditransfer dari kantor perbankan yang memberikan pinjaman kepada kantor bagian rekayasa atau konstruksi yang membangun proyek, tidak pernah meninggalkan negara pemberi bantuan. Meskipun, faktanya, uang yang diterima negara penerima bantuan hampir dengan seketika dikembalikan kepada korporasi yang merupakan anggota corporatocracy (kreditur), tetapi penerima bantuan diharuskan membayar semuanya beserta bunganya. Apabila pinjaman mengalami gagal bayar pada waktu berikutnya, maka anggota corporatocracy akan menuntut pembayaran penuh, dan disertai dengan tindakan-tindakan pengendalian atas hak pilih di PBB, instalasi pangkalan militer, atau akses kepada sumber daya yang berharga. Walaupun negara penerima bantuan menerima tindakan tersebut, pinjaman yang belum dibayar tetap masih terhutang.
Dampak yang dirasakan oleh negara penerima bantuan, adalah mereka berada dalam situasi yang jauh lebih buruk daripada sebelum menerima bantuan dua puluh tahun sebelumnya. Misalnya seperti Ekuador, tingkat kemiskinan meningkat dari 50% menjadi 70% setelah menerima bantuan. Pengangguran bertambah dari 15% menjadi 70%. Hutang Negara meningkat dari USD 240 juta menjadi USD 16 milyar dalam rentang 2 dekade. Bagian sumber daya nasional yang dialokasikan untuk segmen penduduk paling miskin menciut dari 20% menjadi 6%.
Bertolak belakang dengan sebagian besar badan dan lembaga dari negara berkembang yang dengan suka cita menerima bantuan luar negeri dan ternyata kemudian menyeret mereka ke dalam masalah keuangan yang lebih pelik, Grameen Bank dari Bangladesh di bawah pimpinan Muhammad Yunus berani menolak “bantuan” Bank Dunia sebesar USD 200juta pada tahun 1986. Beliau menolak karena tidak ingin seorang pun turut campur dalam sistem atau memerintah Grameen Bank bagaimana harus bertindak. Dari awal, beliau tidak suka dengan cara para pakar dan konsultan Bank Dunia yang seringkali mengambil alih proyek-proyek yang mereka danai, dan tidak akan berhenti sampai sesuatu terbentuk sesuai keinginan mereka.
Penolakan Grameen Bank yang tidak mau menerima bantuan Bank Dunia berupa pinjaman lunak dengan bunga sangat rendah, membuat Bank Dunia memutuskan membentuk organisasi kredit mikro sendiri di Bangladesh dengan memadukan sejumlah metodologi program kredit mikro. Sebagai seorang ekonom, Profesor Muhammad Yunus memandang ide Bank Dunia tersebut tidak realistis dan tidak merekomendasikan kepada pemerintah Bangladesh. Pemerintah Bangladesh, akhirnya menerima pendapat beliau dan menolak inisiatif Bank Dunia. Akibatnya, Bank Dunia mencoret nama Bangladesh dari dokumen proyek yang ditolak dan menawarkannya kepada pemerintah Sri Lanka.
Secara finansial, Yunus yakin bahwa sebuah bantuan berupa pinjaman lunak dengan tenggat waktu sangat panjang bukanlah hibah, dan akan memaksa negara untuk terperangkap dalam masalah yang tidak berkesudahan. Pinjaman lunak luar negeri untuk kredit mikro tidak akan pernah dapat dikembalikan sepenuhnya, sekalipun tingkat pengembalian kredit 100 persen. Hal itu terjadi karena proyek di dalam negeri berpatokan kepada kurs lokal setara saat pinjaman diterima, namun ketika membayar harus dalam dolar Amerika. Akibat pergerakan kurs, seringkali pengembalian pinjaman dalam kurs dolar yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang dipinjamkan, sehingga meninggalkan sisa hutang yang tidak akan pernah habis.
Pada akhir tahun 2006, Grameen Bank membuktikan pada dunia, bahwa usaha yang mereka rintis dengan modal sendiri dengan menggerakkan sumber daya yang mereka miliki diakui dunia sebagai sebuah proyek memberantas kemiskinan. Atas prestasi tersebut, mereka memperoleh Nobel Perdamaian. Grameen Bank telah membantu tujuh juta orang miskin di 73 ribu desa Bangladesh menjadi pelaku usaha melalui pembiayaan mikro senilai empat milyar dolar dan membangun 640 ribu rumah bagi mereka. Di samping itu, dengan 1.181 cabang yang dimilikinya, Grameen Bank dapat membuka lapangan kerja bagi hampir 12 ribu staff mereka. Meskipun dengan bangkitnya rakyat miskin menjadi pelaku usaha di Bangladesh tidak serta-merta menjadikan Bangladesh sebagai negara kaya dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi mampu mengubah kualitas hidup 50 persen populasi terbawah sebagai hakikat pembangunan.
Grameen Bank telah mampu membuktikan bahwa masyarakat miskin mampu mandiri mengubah nasibnya dengan memberdayakan kemampuan artistik dan kreatif yang mereka miliki dalam merealisasikan kesejahteraan masing-masing. Bahkan sebagai negara yang sering dilanda bencana alam, para anggota Grameen Bank tetap mampu bangkit kembali setiap bencana berlalu dan dapat melunasi semua pembiayaan yang mereka terima setelah recovery.
Pengalaman sebaliknya yang dirasakan pada saat ini oleh negara-negara berkembang yang membangun proyek-proyek melalui pembiayaan dengan pinjaman dari lembaga keuangan internasional dan perbankan negara-negara maju yang pada awalnya dirasakan sebagai bantuan telah menyeret mereka dalam hutang luar negeri yang tidak pernah habis dan entah kapan akan berakhir. Mereka mesti mempersembahkan porsi yang luar biasa besarnya dari anggaran nasionalnya untuk membayar hutang-hutang mereka, sebagai ganti memakai modalnya untuk membantu jutaan warga mereka yang secara resmi digolongkan sebagai melarat pada tingkat yang berbahaya.
Dapat kita simak bagaimana pengalaman David C. Korten (1999), sebagai penasehat manajemen pembangunan bagi USAID (United State Agency for International Development), selama 15 tahun beliau tinggal di Asia ternyata terasa menyedihkan. Beliau mengamati bahwa setiap tahun beberapa juta orang digusur dari rumah tempat tinggal mereka dan dari tempat mereka mencari kehidupan demi proyek-proyek pembangunan yang mendapat “bantuan” luar negeri. Proyek-proyek pembangunan tersebut telah merampas tanah, air, dan tempat perikanan mereka, yang kemudian digunakan sebagai bendungan, perkebunan, kawasan pabrik, tempat pemeliharaan udang, jalan tol, lapangan golf, kawasan wisata, dan instalasi militer. Dalam banyak kasus, mereka yang tergusur telah didorong dari miskin menjadi total miskin. Sementara itu orang yang lebih kaya meraup keuntungan dari penggusuran tersebut. Sumber-sumber yang diambil dari orang-orang miskin tersebut, penggunaannya beralih dari yang berkelanjutan menjadi tidak berkelanjutan. Semua hal tersebut yang semula ditujukan untuk mengejar pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), ternyata, tidak dinikmati oleh orang-orang miskin yang terus bertambah. Pembangunan tersebut akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang yang telah memiliki lebih dari apa yang mereka perlukan sebelumnya, serta menyisakan permasalahan hutang negara-negara Asia yang semakin menumpuk dari hari ke hari.
Dengan demikian, keputusan Grameen Bank dari Bangladesh menolak bantuan berupa pinjaman lunak dengan bunga rendah dua dekade yang lalu dirasakan sebagai langkah tepat pada saat ini. Di saat angka kemiskinan meningkat setiap tahun di seluruh dunia, Bangladesh justru mengalami penurunan angka keluarga miskin.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)