Merza berpengalaman di berbagai unit kerja perbankan, mulai dari dunia Marketing, baik di bidang Funding maupun Lending hingga menjadi Branch Manager. Selain itu, berpengalaman pula mensupervisi beberapa Department di Head Office pada bidang yang berkaitan dengan Business Research, Network Development, Service Quality Management, Marketing Strategy, Fraud Prevention, Corporate Culture Building, SWOT Analysis, dan Human Resource Development, serta menyusun Business Plan dan Feasibility Study.
Senin, 26 November 2007
Menempatkan SDM Sebagai Human Capital
Seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Oleh karena itu, memiliki “pekerja tetap” dianggap merugikan dibandingkan dengan outsourcing, sehingga pekerja tidak lebih dari sebuah obyek sewa pelengkap produksi. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa disewa lagi nanti saat diperlukan”. Di samping itu menahan pekerja yang ingin keluar dari perusahaan juga dianggap sebagai akan membuat “besar kepala” seorang pekerja, sehingga muncul idiom yang berbunyi “biarkan satu pekerja anda pergi, karena masih ada seribu lamaran dengan gaji yang lebih rendah akan datang menggantikan”.
Akan tetapi, bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas adalah merupakan sebuah tindakan melemahkan pembangunan loyalitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tindakan tersebut akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. SDM adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi. Selanjutnya, Manajemen SDM (MSDM) berarti mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi perusahaan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara optimal.
Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani SDM yang handal harus dilakukan sebagai human capital. Para manajer harus mengaitkan pelaksanaan MSDM dengan strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas. Peran strategis SDM dalam organisasi bisnis dapat dielaborasi dari segi teori sumber daya. Fungsi perusahaan adalah mengerahkan seluruh sumber daya atau kemampuan internal untuk menghadapi kepentingan pasar sebagai faktor eksternal utama. Sumber daya sebagaimana disebutkan di atas, adalah SDM strategis yang memberikan nilai tambah (added value) sebagai tolok ukur keberhasilan bisnis. Kemampuan SDM ini merupakan competitive advantage dari perusahaan. Dengan demikian, dari segi sumber daya, strategi bisnis adalah mendapatkan added value yang maksimum yang dapat mengoptimumkan competitive advantage. Adanya SDM ekspertis: manajer strategis (strategic managers) dan SDM yang handal yang menyumbang dalam menghasilkan added value tersebut merupakan value added perusahaan. Value added adalah SDM strategis yang menjadi bagian dari human capital perusahaan.
Manajemen sekarang telah banyak berubah dari keadaan 20-30 tahun lampau, di mana human capital menggantikan mesin-mesin sebagai basis keberhasilan kebanyakan perusahaan. Peter Drucker (1998), pakar manajemen terkenal bahkan mengemukakan bahwa tantangan bagi para manajer sekarang adalah tenaga kerja kini cenderung tak dapat diatur seperti tenaga kerja generasi yang lalu. Titik berat pekerjaan kini bergerak sangat cepat dari tenaga manual dan clerical ke knowledge-worker yang menolak menerima perintah (“komando”) ala militer, sebagaimana cara yang diadopsi oleh dunia bisnis 100 tahun yang lalu. Kecenderungan yang kini berlangsung adalah, angkatan kerja dituntut memiliki pengetahuan baru (knowledge-intensive, high tech-knowledgeable), high tech-knowledgeable) yang sesuai dinamika perubahan yang tengah berlangsung. Tenaga kerja di sektor jasa di negara maju (kini sekitar 70 persen) dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan tenaga paruh waktu (part-timer) juga semakin meningkat. Pola yang berubah ini menuntut “pengetahuan” baru dan “cara penanganan” (manajemen) yang baru. Moskowitz, R. and Warwick D. (1996) berpendapat, bahwa Human capital yang mengacu kepada pengetahuan, pendidikan, latihan, keahlian, dan ekspertis tenaga kerja perusahaan kini menjadi sangat penting, dibandingkan dengan waktu-waktu lampau.
Malcolm Baldrige, menyatakan bahwa penanganan SDM sebagai Human Capital telah berhasil jika MSDM sudah merencanakan penerapan dan intergrasi pertumbuhan pegawai secara penuh, mencakup program pelatihan, alur pengembangan karier, penilaian/proses kesadaran pribadi, kompensasi, pemberian wewenang, dan hasil terukur. Di samping itu manajemen senior dan madya terlibat secara penuh dan mendukung serta turut berlatih bersama untuk membangun perkembangan organisasi dan pegawai. Semua personalia dalam organisasi sudah merasakan bekerja dalam kelompok (bukan hanya sebagai individu). Setiap unit kerja sudah menguasai pegawai mereka melalui kelompok fungsional dan pembagian informasi yang sesuai dengan fungsi masing-masing. Perusahaan sebagai organisasi telah mempunyai suatu rencana menyeluruh dan secara penuh terhadap pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap penigkatan kualitas secara penuh. Dan, setiap pegawai mendapatkan reward untuk setiap prestasi.
Untuk mencapai penanganan SDM sebagai Human Capital dapat dinilai dari komponen-komponen sebagai berikut:
1. Perencanaan dan Pengelolaan SDM
a. Seberapa jauh perencanaan SDM dikaitkan dengan strategi;
b. Seberapa jauh SDM dikaitkan dengan tujuan peningkatan kualitas;
c. Seberapa besar penggunaan data pegawai untuk peningkatan pengelolaan SDM.
2. Peningkatan Pegawai
a. Seberapa besar insentif bagi keterlibatab pegawai dalam peningkatan kualitas;
b. Seberapa besar wewenang yang diberikan kepada pegawai dalam area kerja mereka;
c. Bagaimana pengukuran dan pemantauan pegawai dalam peningkatan kualitas;
d. Bagaimana indicator monitoring keterlibatan pegawai pada semua tingkatan.
3. Pendidikan dan Pelatihan
a. Bagaimana sistematika pengembangan program pelatihan dan pendidikan;
b. Bagaimana mengukur kaitan pelatihan dan pendidikan dengan pekerjaan pegawai;
c. Seberapa jauh pengaruh hasil pelatihan berhubungan dengan area pekerjaan pegawai;
d. Bagaimana mengukur pelatihan pegawai dengan kategori pekerjaan
4. Kinerja Pegawai dan Pengakuan
a. Seberapa jauh reward program mendukung tujuan peningkatan mutu;
b. Bagaimana intensitas organisasi meninjau ulang dan meningkatan reward program;
c. Bagaimana pengelolaan data dan bukti pengenalan setiap pegawai;
d. Bagaimana keberlanjutan peningkatan program untuk mencapai kepuasan pegawai.
5. Kepuasan Pegawai
a. Seberapa jauh program pengembangan pelayanan kepada pegawai;
b. Bagaimana system penilaian & evaluasi kepuasan pegawai;
c. Bagaimana kelengkapan data dalam peningkatan dan pelayanan pegawai.
Dengan demikian, human capital, bukanlah memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif, dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.
Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (H.R. Tirmidzi). Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.
Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan SDM dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu capital bukan sebagai cost unit. Dengan demikian, penanganan SDM sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Akan tetapi, bagi perusahaan yang ingin menjadi sebuah perusahaan jangka panjang dan bertahan dari masa ke masa, maka tindakan di atas adalah merupakan sebuah tindakan melemahkan pembangunan loyalitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tindakan tersebut akan menyebabkan tingginya cost of employee turn-over. SDM adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi. Selanjutnya, Manajemen SDM (MSDM) berarti mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi perusahaan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara optimal.
Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani SDM yang handal harus dilakukan sebagai human capital. Para manajer harus mengaitkan pelaksanaan MSDM dengan strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas. Peran strategis SDM dalam organisasi bisnis dapat dielaborasi dari segi teori sumber daya. Fungsi perusahaan adalah mengerahkan seluruh sumber daya atau kemampuan internal untuk menghadapi kepentingan pasar sebagai faktor eksternal utama. Sumber daya sebagaimana disebutkan di atas, adalah SDM strategis yang memberikan nilai tambah (added value) sebagai tolok ukur keberhasilan bisnis. Kemampuan SDM ini merupakan competitive advantage dari perusahaan. Dengan demikian, dari segi sumber daya, strategi bisnis adalah mendapatkan added value yang maksimum yang dapat mengoptimumkan competitive advantage. Adanya SDM ekspertis: manajer strategis (strategic managers) dan SDM yang handal yang menyumbang dalam menghasilkan added value tersebut merupakan value added perusahaan. Value added adalah SDM strategis yang menjadi bagian dari human capital perusahaan.
Manajemen sekarang telah banyak berubah dari keadaan 20-30 tahun lampau, di mana human capital menggantikan mesin-mesin sebagai basis keberhasilan kebanyakan perusahaan. Peter Drucker (1998), pakar manajemen terkenal bahkan mengemukakan bahwa tantangan bagi para manajer sekarang adalah tenaga kerja kini cenderung tak dapat diatur seperti tenaga kerja generasi yang lalu. Titik berat pekerjaan kini bergerak sangat cepat dari tenaga manual dan clerical ke knowledge-worker yang menolak menerima perintah (“komando”) ala militer, sebagaimana cara yang diadopsi oleh dunia bisnis 100 tahun yang lalu. Kecenderungan yang kini berlangsung adalah, angkatan kerja dituntut memiliki pengetahuan baru (knowledge-intensive, high tech-knowledgeable), high tech-knowledgeable) yang sesuai dinamika perubahan yang tengah berlangsung. Tenaga kerja di sektor jasa di negara maju (kini sekitar 70 persen) dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan tenaga paruh waktu (part-timer) juga semakin meningkat. Pola yang berubah ini menuntut “pengetahuan” baru dan “cara penanganan” (manajemen) yang baru. Moskowitz, R. and Warwick D. (1996) berpendapat, bahwa Human capital yang mengacu kepada pengetahuan, pendidikan, latihan, keahlian, dan ekspertis tenaga kerja perusahaan kini menjadi sangat penting, dibandingkan dengan waktu-waktu lampau.
Malcolm Baldrige, menyatakan bahwa penanganan SDM sebagai Human Capital telah berhasil jika MSDM sudah merencanakan penerapan dan intergrasi pertumbuhan pegawai secara penuh, mencakup program pelatihan, alur pengembangan karier, penilaian/proses kesadaran pribadi, kompensasi, pemberian wewenang, dan hasil terukur. Di samping itu manajemen senior dan madya terlibat secara penuh dan mendukung serta turut berlatih bersama untuk membangun perkembangan organisasi dan pegawai. Semua personalia dalam organisasi sudah merasakan bekerja dalam kelompok (bukan hanya sebagai individu). Setiap unit kerja sudah menguasai pegawai mereka melalui kelompok fungsional dan pembagian informasi yang sesuai dengan fungsi masing-masing. Perusahaan sebagai organisasi telah mempunyai suatu rencana menyeluruh dan secara penuh terhadap pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap penigkatan kualitas secara penuh. Dan, setiap pegawai mendapatkan reward untuk setiap prestasi.
Untuk mencapai penanganan SDM sebagai Human Capital dapat dinilai dari komponen-komponen sebagai berikut:
1. Perencanaan dan Pengelolaan SDM
a. Seberapa jauh perencanaan SDM dikaitkan dengan strategi;
b. Seberapa jauh SDM dikaitkan dengan tujuan peningkatan kualitas;
c. Seberapa besar penggunaan data pegawai untuk peningkatan pengelolaan SDM.
2. Peningkatan Pegawai
a. Seberapa besar insentif bagi keterlibatab pegawai dalam peningkatan kualitas;
b. Seberapa besar wewenang yang diberikan kepada pegawai dalam area kerja mereka;
c. Bagaimana pengukuran dan pemantauan pegawai dalam peningkatan kualitas;
d. Bagaimana indicator monitoring keterlibatan pegawai pada semua tingkatan.
3. Pendidikan dan Pelatihan
a. Bagaimana sistematika pengembangan program pelatihan dan pendidikan;
b. Bagaimana mengukur kaitan pelatihan dan pendidikan dengan pekerjaan pegawai;
c. Seberapa jauh pengaruh hasil pelatihan berhubungan dengan area pekerjaan pegawai;
d. Bagaimana mengukur pelatihan pegawai dengan kategori pekerjaan
4. Kinerja Pegawai dan Pengakuan
a. Seberapa jauh reward program mendukung tujuan peningkatan mutu;
b. Bagaimana intensitas organisasi meninjau ulang dan meningkatan reward program;
c. Bagaimana pengelolaan data dan bukti pengenalan setiap pegawai;
d. Bagaimana keberlanjutan peningkatan program untuk mencapai kepuasan pegawai.
5. Kepuasan Pegawai
a. Seberapa jauh program pengembangan pelayanan kepada pegawai;
b. Bagaimana system penilaian & evaluasi kepuasan pegawai;
c. Bagaimana kelengkapan data dalam peningkatan dan pelayanan pegawai.
Dengan demikian, human capital, bukanlah memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif, dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.
Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi “Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.” (H.R. Tirmidzi). Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.
Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan SDM dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu capital bukan sebagai cost unit. Dengan demikian, penanganan SDM sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Fenomena Subprime Mortgage & Dilema Kredit Konsumtif Indonesia
Belakangan di mass media banyak ditulis, bahwa salah satu permasalahan krisis keuangan yang melanda Amerika adalah berkaitan dengan industri “subprime mortgage” (KPR Subprima). Diawali pada akhir tahun 2006, industri KPR subprima di Amerika memasuki suatu masa yang disebut "masa kehancuran KPR subprima". Tingginya angka penyitaan jaminan KPR subprima ini telah menyebabkan lebih dari 24 perusahaan pemberi pinjaman KPR subprima mengalami kepailitan, salah satunya adalah perusahaan terkemuka yaitu New Century Financial Corporation, yang merupakan perusahaan KPR subprima terbesar kedua di Amerika. Kehancuran dari perusahaan-perusahaan KPR subprima ini telah mengakibatkan harga pasar saham berbasis real estate investment trust senilai 6.5 triliun USD jatuh dan membawa pengaruh meluas terhadap bursa saham Amerika serta ekonomi secara keseluruhan. Krisis ini masih berlanjut terus dan telah mendapatkan perhatian serius dari media massa di Amerika serta pembuat undang-undang pada awal tahun 2007.
Permasalahan yang terjadi di Amerika tersebut, tampaknya tidak menjadi sebuah pelajaran berharga bagi praktisi keuangan di Indonesia. Dalam berita media masa pada awal November disampaikan bahwa perbankan mengenjot kredit konsumtif menjelang akhir tahun 2007 untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat. Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.
Dari catatan perbankan nasional Indonesia per September 2007, terlihat bahwa Rp 267 trilyun dari Rp 913 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 98,269T) merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 21,65% (Rp 198T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia tahun 2007. Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,4% (Rp 49,8T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 20,9% (Rp 191T) saja dari total outstanding kredit.
Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai.
Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Mereka membuktikan dari kecilnya angka NPL (Non Performing Loan) sektor ini, pada tahun 2005 hanya 2,26% saja. Namun keyakinan itu agak menurun karena mulai naiknya NPL sektor konsumtif menjadi 3,3% per September 2007. Apakah keyakinan para pelaku perbankan terhadap kredit konsumtif yang menjanjikan benar adanya, dapat kita resapi dari bahasan Stiglitz pada bukunya di atas, meskipun ia tidak secara khusus membahas permasalahan tersebut.
Seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas hidup masyarakat, termasuk profesi pekerja. Apabila resesi yang terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output hanya naik 1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan pengangguran.
Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas, dalam jangka pendek, bisa jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja. Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.
Era “Ekonomi Baru” setelah tahun 1990 yang sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut merubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa dikontrak (outsourcing) lagi nanti saat diperlukan”.
Munculnya era ekonomi baru beserta budaya baru yang ditimbulkannya, akan sangat berpengaruh terhadap pinjaman konsumtif yang diberikan bank kepada nasabahnya, yang hampir seluruhnya, merupakan pekerja. Kerentanan kondisi pekerja yang ada saat ini akan membuat pekerja mudah sekali kehilangan pekerjaannya. Pada saat seseorang kehilangan pekerjaan, hal utama yang akan dipenuhi adalah kebutuhan pokok mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Dari sisi psikologi, pada saat seseorang mempunyai sumber daya yang terbatas, maka pemenuhan kewajiban (hutang) akan menjadi urutan pemenuhan yang terakhir. Dengan demikian, risiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank yang mempunyai portfolio pembiayaan konsumtif yang besar turut menjadi besar setiap siklus resesi terjadi pada roda perekonomian.
Permasalahan penting lainnya yang membayangi portfolio pinjaman konsumtif yang besar adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiliglitz, suku bunga tinggi sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada tiga hitungan, yaitu:
Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.
Bila dikaji lebih lanjut, sistem bunga pada sebuah pembiayaan mempunyai pengaruh yang tidak baik bukan saja pada saat suku bunga tinggi, melainkan juga pada saat suku bunga rendah. Menurut Umer Chapra (1985), sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah.
Suku bunga yang tinggi akan “menghukum” pengusaha sehingga akan:
- menghambat investasi dan formasi modal;
- menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja;
- menyebabkan laju pertumbuhan yang rendah.
Suku bunga yang rendah akan “menghukum” para penabung yang akan:
- menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan;
- mengurangi rasio tabungan kotor;
- merangsang pengeluaran konsumtif yang menimbulkan tekanan inflasioner;
- mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif;
- menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.
Bagi seorang pekerja yang sangat tergantung kepada perusahaan pada era ekonomi baru dengan budaya perusahaan yang berbeda dengan masa lalu, kondisi suku bunga yang tinggi maupun rendah mempunyai dampak yang signifikan dalam pemanfaatan dana yang mereka peroleh maupun miliki dari hasil pekerjaan mereka.
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan, pendapat sebagian pihak yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumtif merupakan portfolio yang menguntungkan dan aman pada saat ini, sebenarnya kurang tepat. Sebaliknya, pelaku perbankan sadar bahwa terlalu besar mengelolah portfolio pembiayaan konsumtif merupakan sebuah “api dalam sekam”, yang tiba-tiba akan dapat menghabiskan semua yang ada pada saat yang tidak dapat diduga sebelumnya, dan dapat saja menjadi sebuah “dilemma” masa depan. Apakah fenomena “subprime mortgage” di Amerika tidak cukup menggugah para pelaku keuangan di Indonesia????
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Permasalahan yang terjadi di Amerika tersebut, tampaknya tidak menjadi sebuah pelajaran berharga bagi praktisi keuangan di Indonesia. Dalam berita media masa pada awal November disampaikan bahwa perbankan mengenjot kredit konsumtif menjelang akhir tahun 2007 untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat. Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.
Dari catatan perbankan nasional Indonesia per September 2007, terlihat bahwa Rp 267 trilyun dari Rp 913 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 98,269T) merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 21,65% (Rp 198T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia tahun 2007. Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,4% (Rp 49,8T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 20,9% (Rp 191T) saja dari total outstanding kredit.
Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-orang yang menjadi pegawai.
Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Mereka membuktikan dari kecilnya angka NPL (Non Performing Loan) sektor ini, pada tahun 2005 hanya 2,26% saja. Namun keyakinan itu agak menurun karena mulai naiknya NPL sektor konsumtif menjadi 3,3% per September 2007. Apakah keyakinan para pelaku perbankan terhadap kredit konsumtif yang menjanjikan benar adanya, dapat kita resapi dari bahasan Stiglitz pada bukunya di atas, meskipun ia tidak secara khusus membahas permasalahan tersebut.
Seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas hidup masyarakat, termasuk profesi pekerja. Apabila resesi yang terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output hanya naik 1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan pengangguran.
Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas, dalam jangka pendek, bisa jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja. Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.
Era “Ekonomi Baru” setelah tahun 1990 yang sangat menekankan teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut merubah pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu bisa dikontrak (outsourcing) lagi nanti saat diperlukan”.
Munculnya era ekonomi baru beserta budaya baru yang ditimbulkannya, akan sangat berpengaruh terhadap pinjaman konsumtif yang diberikan bank kepada nasabahnya, yang hampir seluruhnya, merupakan pekerja. Kerentanan kondisi pekerja yang ada saat ini akan membuat pekerja mudah sekali kehilangan pekerjaannya. Pada saat seseorang kehilangan pekerjaan, hal utama yang akan dipenuhi adalah kebutuhan pokok mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Dari sisi psikologi, pada saat seseorang mempunyai sumber daya yang terbatas, maka pemenuhan kewajiban (hutang) akan menjadi urutan pemenuhan yang terakhir. Dengan demikian, risiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank yang mempunyai portfolio pembiayaan konsumtif yang besar turut menjadi besar setiap siklus resesi terjadi pada roda perekonomian.
Permasalahan penting lainnya yang membayangi portfolio pinjaman konsumtif yang besar adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiliglitz, suku bunga tinggi sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada tiga hitungan, yaitu:
Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.
Bila dikaji lebih lanjut, sistem bunga pada sebuah pembiayaan mempunyai pengaruh yang tidak baik bukan saja pada saat suku bunga tinggi, melainkan juga pada saat suku bunga rendah. Menurut Umer Chapra (1985), sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah.
Suku bunga yang tinggi akan “menghukum” pengusaha sehingga akan:
- menghambat investasi dan formasi modal;
- menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja;
- menyebabkan laju pertumbuhan yang rendah.
Suku bunga yang rendah akan “menghukum” para penabung yang akan:
- menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan;
- mengurangi rasio tabungan kotor;
- merangsang pengeluaran konsumtif yang menimbulkan tekanan inflasioner;
- mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif;
- menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.
Bagi seorang pekerja yang sangat tergantung kepada perusahaan pada era ekonomi baru dengan budaya perusahaan yang berbeda dengan masa lalu, kondisi suku bunga yang tinggi maupun rendah mempunyai dampak yang signifikan dalam pemanfaatan dana yang mereka peroleh maupun miliki dari hasil pekerjaan mereka.
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan, pendapat sebagian pihak yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumtif merupakan portfolio yang menguntungkan dan aman pada saat ini, sebenarnya kurang tepat. Sebaliknya, pelaku perbankan sadar bahwa terlalu besar mengelolah portfolio pembiayaan konsumtif merupakan sebuah “api dalam sekam”, yang tiba-tiba akan dapat menghabiskan semua yang ada pada saat yang tidak dapat diduga sebelumnya, dan dapat saja menjadi sebuah “dilemma” masa depan. Apakah fenomena “subprime mortgage” di Amerika tidak cukup menggugah para pelaku keuangan di Indonesia????
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Minggu, 25 November 2007
PERAN NEGARA DALAM EKONOMI ISLAMI
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Berdasarkan beberapa literatur dapat disimpulkan, bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).
Salah satu teori ekonomi syariah yang dikembangkan oleh ahli pemikir Islam, Ibnu Khaldun, berupa sebuah rumusan berupa kebijaksanaan politik pembangunan, mungkin, dapat diaplikasikan dalam perkembangan Ilmu Ekonomi Islam saat ini. Rumusan Ibnu Khaldun tersebut dikenal sebagai “Dynamic Model of Islam” atau Model Dinamika. Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan prinsip kebijaksanaan politik yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan, terdiri atas:
1. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syariah;
2. Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan;
3. Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat;
4. Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan;
5. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan;
6. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan;
7. Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi Allah pada umat-Nya;
8. Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.
Masyarakat dalam sebuah pemerintahan sesuai kodratnya merupakan manusia yang lebih suka hidup secara bersama. Hal ini disebabkan dengan kapasitas individu yang ada, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok guna mempertahankan kehidupan mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan suasana kehidupan yang saling menolong dan bekerjasama. Akan tetapi, mereka tidak dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana penuh konflik dan permusuhan serta ketidakadilan. Untuk itu diperlukan adanya sebuah “rasa kebersamaan” dan “pemerintah” sebagai pengendali kekuasaan untuk mencegah terjadinya konflik dan ketidakadilan guna mempersatukan mereka.
Dalam ajaran welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti ajaran Syariah dalam urusan duniawi mereka merupakan hal yang penting. Negara harus tetap mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan pembangunan berdasarkan keadilan. Selain itu, negara harus menjamin pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat.
Apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan karena kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk kepentingan itu, diperoleh melalui sistem pajak yang adil dan efisien. Di samping itu, perlu dicermati bahwa apabila, jika pemerintah tidak menerapkan nilai-nilai syariah secara efisien, maka tidak akan ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka “rasa kebersamaan” tidak akan ada, dan jika tidak ada “rasa kebersamaan”, maka tidak akan ada lingkungan yang mendukung terlaksananya implementasi Syariah, hukum dan perundang-undangan, pembangunan dan kemakmuran. Ketiadaan semua itu, akan membuat administrasi pemerintah menjadi lemah dan tidak efektif.
Konsep Ibnu Khaldun dalam “Model Dinamika” menyatakan bahwa negara harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan memperlakuan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, negara tidak perlu terlibat secara langsung sebagai pelaku pasar, namun harus melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan usaha mereka secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan.
Menurut Stiglitz (2003), pasar yang berhasil, mensyaratkan adanya keseimbangan peran antara pemerintah dan pasar. Keseimbangan tersebut mungkin berbeda dari satu negara dengan negara lain dan dari waktu ke waktu, juga antara satu sektor dengan sektor lainnya, serta dari satu masalah dengan masalah lain. Tercapainya keseimbangan itu mensyaratkan adanya kejelasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh masing-masing dan bagaimana cara melakukannya. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memastikan bahwa kepentingan publik juga terperhatikan.
Namun keadaan sebaliknya terjadi pada saat ini. Era ekonomi baru dengan rezim perdagangan bebas, mengharuskan minimalisasi peran pemerintah suatu negara dalam mengatur perekonomian suatu negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ikut campur dalam perekonomian dianggap telah menghambat pasar bahkan laju perekonomian. Dengan demikian, deregulasi dianggap sebuah kewajiban bagi rezim perdagangan bebas. Para penyokong rezim perdagangan bebas, mempromosikan, mengurangi regulasi berarti membiarkan kekuatan pasar bekerja. Kekuatan pasar akan menghasilkan lebih banyak efisiensi. Manfaat kekuatan pasar, melalui kompetisi, akan mengalir langsung ke konsumen dan masyarakat luas. Dengan demikian, menurut mereka, perlu dilakukan deregulasi-deregulasi perekonomian, termasuk sektor-sektor strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Deregulasi-deregulasi yang dilakukan secara otomatis mengurangi peran pemerintah dalam mengatur perekonomian yang dibutuhkan oleh semua golongan. Pihak yang diuntungkan terutama golongan pemilik modal atau eksekutif korporasi global. Para penganjur deregulasi, yakin bahwa semakin ramping pemerintahan dan semakin rendah tarif pajak akan semakin baik bagi perekonomian. Menurut mereka, uang yang dibelanjakan oleh pemerintah umumnya terbuang mubazir, sedangkan jika digunakan oleh sektor swasta akan termanfaatkan dengan baik.
Pandangan yang menyetujui peran minimalis pemerintah didasari oleh sebuah ideologi simplistic yang dikenal sebagai “fundamentalisme pasar”. Secara umum ideologi ini menyatakan bahwa pasar dengan sendirinya stabil dan efisien. Akan tetapi ideologi tersebut tanpa landasan teori ekonomi yang dapat diterima. Pasar yang stabil dan efisien akan terwujud, menurut teori, jika ada informasi yang sempurna, kompetisi sempurna, pasar yang lengkap, dan lainnya yang tidak pernah ada di negara paling maju sekalipun. Kenyataan yang terjadi, adalah, pasar seringkali tidak berjalan baik. Pasar sering menyebabkan terjadinya pengangguran. Pasar tidak bisa dengan sendirinya memberikan jaminan terhadap berbagai risiko penting yang dihadapi perorangan, termasuk risiko menganggur.
Pasar adalah alat untuk meraih tujuan, terutama, standar hidup yang lebih tinggi. Pasar bukanlah tujuan itu sendiri, sehingga langkah-langkah kebijakan yang digencarkan seperti privatisasi dan liberalisasi, janganlah dipandang sebagai tujuan, melainkan sebagai alat. Menurut Stiglitz, meskipun tujuan pasar itu sempit (hanya menyangkut kesejahteraan material, bukan nilai-nilai keadilan sosial), pasar bebas seringkali gagal mencapai tujuan-tujuan yang sempit sekalipun. Era 1990-an menunjukkan pasar tidak bisa menjamin stabilitas, sementara pada era 1970-an dan 1980-an, pasar tidak bisa menimbulkan pertumbuhan tinggi, bahkan kemiskinan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Awal-awal millennium, menunjukkan kondisi bahwa pasar bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk menampung pendatang baru dalam angkatan kerja. Namun lebih dari yaitu, yakni juga tidak mampu mengimbangi berkurangnya pekerjaan yang ada akibat meningkatnya produktivitas. Pengangguran menunjukkan kegagalan pasar yang paling dramatis sebab menjadikan sumber daya yang paling berharga menjadi mubazir.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).
Salah satu teori ekonomi syariah yang dikembangkan oleh ahli pemikir Islam, Ibnu Khaldun, berupa sebuah rumusan berupa kebijaksanaan politik pembangunan, mungkin, dapat diaplikasikan dalam perkembangan Ilmu Ekonomi Islam saat ini. Rumusan Ibnu Khaldun tersebut dikenal sebagai “Dynamic Model of Islam” atau Model Dinamika. Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan prinsip kebijaksanaan politik yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan, terdiri atas:
1. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syariah;
2. Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan;
3. Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat;
4. Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan;
5. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan;
6. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan;
7. Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi Allah pada umat-Nya;
8. Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.
Masyarakat dalam sebuah pemerintahan sesuai kodratnya merupakan manusia yang lebih suka hidup secara bersama. Hal ini disebabkan dengan kapasitas individu yang ada, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok guna mempertahankan kehidupan mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan suasana kehidupan yang saling menolong dan bekerjasama. Akan tetapi, mereka tidak dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana penuh konflik dan permusuhan serta ketidakadilan. Untuk itu diperlukan adanya sebuah “rasa kebersamaan” dan “pemerintah” sebagai pengendali kekuasaan untuk mencegah terjadinya konflik dan ketidakadilan guna mempersatukan mereka.
Dalam ajaran welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti ajaran Syariah dalam urusan duniawi mereka merupakan hal yang penting. Negara harus tetap mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan pembangunan berdasarkan keadilan. Selain itu, negara harus menjamin pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat.
Apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan karena kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk kepentingan itu, diperoleh melalui sistem pajak yang adil dan efisien. Di samping itu, perlu dicermati bahwa apabila, jika pemerintah tidak menerapkan nilai-nilai syariah secara efisien, maka tidak akan ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka “rasa kebersamaan” tidak akan ada, dan jika tidak ada “rasa kebersamaan”, maka tidak akan ada lingkungan yang mendukung terlaksananya implementasi Syariah, hukum dan perundang-undangan, pembangunan dan kemakmuran. Ketiadaan semua itu, akan membuat administrasi pemerintah menjadi lemah dan tidak efektif.
Konsep Ibnu Khaldun dalam “Model Dinamika” menyatakan bahwa negara harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan memperlakuan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, negara tidak perlu terlibat secara langsung sebagai pelaku pasar, namun harus melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan usaha mereka secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan.
Menurut Stiglitz (2003), pasar yang berhasil, mensyaratkan adanya keseimbangan peran antara pemerintah dan pasar. Keseimbangan tersebut mungkin berbeda dari satu negara dengan negara lain dan dari waktu ke waktu, juga antara satu sektor dengan sektor lainnya, serta dari satu masalah dengan masalah lain. Tercapainya keseimbangan itu mensyaratkan adanya kejelasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh masing-masing dan bagaimana cara melakukannya. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memastikan bahwa kepentingan publik juga terperhatikan.
Namun keadaan sebaliknya terjadi pada saat ini. Era ekonomi baru dengan rezim perdagangan bebas, mengharuskan minimalisasi peran pemerintah suatu negara dalam mengatur perekonomian suatu negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ikut campur dalam perekonomian dianggap telah menghambat pasar bahkan laju perekonomian. Dengan demikian, deregulasi dianggap sebuah kewajiban bagi rezim perdagangan bebas. Para penyokong rezim perdagangan bebas, mempromosikan, mengurangi regulasi berarti membiarkan kekuatan pasar bekerja. Kekuatan pasar akan menghasilkan lebih banyak efisiensi. Manfaat kekuatan pasar, melalui kompetisi, akan mengalir langsung ke konsumen dan masyarakat luas. Dengan demikian, menurut mereka, perlu dilakukan deregulasi-deregulasi perekonomian, termasuk sektor-sektor strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Deregulasi-deregulasi yang dilakukan secara otomatis mengurangi peran pemerintah dalam mengatur perekonomian yang dibutuhkan oleh semua golongan. Pihak yang diuntungkan terutama golongan pemilik modal atau eksekutif korporasi global. Para penganjur deregulasi, yakin bahwa semakin ramping pemerintahan dan semakin rendah tarif pajak akan semakin baik bagi perekonomian. Menurut mereka, uang yang dibelanjakan oleh pemerintah umumnya terbuang mubazir, sedangkan jika digunakan oleh sektor swasta akan termanfaatkan dengan baik.
Pandangan yang menyetujui peran minimalis pemerintah didasari oleh sebuah ideologi simplistic yang dikenal sebagai “fundamentalisme pasar”. Secara umum ideologi ini menyatakan bahwa pasar dengan sendirinya stabil dan efisien. Akan tetapi ideologi tersebut tanpa landasan teori ekonomi yang dapat diterima. Pasar yang stabil dan efisien akan terwujud, menurut teori, jika ada informasi yang sempurna, kompetisi sempurna, pasar yang lengkap, dan lainnya yang tidak pernah ada di negara paling maju sekalipun. Kenyataan yang terjadi, adalah, pasar seringkali tidak berjalan baik. Pasar sering menyebabkan terjadinya pengangguran. Pasar tidak bisa dengan sendirinya memberikan jaminan terhadap berbagai risiko penting yang dihadapi perorangan, termasuk risiko menganggur.
Pasar adalah alat untuk meraih tujuan, terutama, standar hidup yang lebih tinggi. Pasar bukanlah tujuan itu sendiri, sehingga langkah-langkah kebijakan yang digencarkan seperti privatisasi dan liberalisasi, janganlah dipandang sebagai tujuan, melainkan sebagai alat. Menurut Stiglitz, meskipun tujuan pasar itu sempit (hanya menyangkut kesejahteraan material, bukan nilai-nilai keadilan sosial), pasar bebas seringkali gagal mencapai tujuan-tujuan yang sempit sekalipun. Era 1990-an menunjukkan pasar tidak bisa menjamin stabilitas, sementara pada era 1970-an dan 1980-an, pasar tidak bisa menimbulkan pertumbuhan tinggi, bahkan kemiskinan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Awal-awal millennium, menunjukkan kondisi bahwa pasar bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk menampung pendatang baru dalam angkatan kerja. Namun lebih dari yaitu, yakni juga tidak mampu mengimbangi berkurangnya pekerjaan yang ada akibat meningkatnya produktivitas. Pengangguran menunjukkan kegagalan pasar yang paling dramatis sebab menjadikan sumber daya yang paling berharga menjadi mubazir.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
TANTANGAN PEMBERIAN PEMBIAYAAN SYARIAH YANG SEHAT
Pertumbuhan pembiayaan yang tinggi di tengah pasar perbankan syariah yang sedang berkembang di Indonesia merupakan suatu yang didambakan. Akan tetapi, pertumbuhan pembiayaan yang tinggi bukan segalanya. Hal yang didambakan adalah pembiayaan dengan portfolio sehat dan tumbuh sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena semangat tinggi dalam pertumbuhan, seringkali setelah pembiayaan diberikan bukan peningkatan pendapatan yang diperoleh. Hal yang muncul, justru permasalahan pembiayaan.
Pembiayaan bermasalah pada perbankan syariah mengalami peningkatan cukup berarti dalam dua tahun terakhir. Pada akhir 2005 gross NPF (Non Performance Finance) baru sekitar 2,82%, namun pada akhir 2006 meningkat tajam menjadi 4,75%, dan hingga akhir triwulan III-2007 berada pada posisi 6,63%. Peningkatan pembiayaan bermasalah pada industri perbankan syariah terjadi karena berbagai faktor, baik dari internal bank, internal nasabah, ataupun masalah eksternal.
a. Permasalahan Pembiayaan Bank Syariah
Permasalahan internal dari pihak bank syariah sebagai pemberi pembiayaan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- petugas pembiayaan, baik marketing maupun analis kurang memahami seluk beluk sektor usaha pada pembiayaan yang diberikan;
- pembidangan pembiayaan belum dilakukan melalui spesialisasi segmen usaha, sehingga analis belum memiliki pendalaman terhadap satu atau beberapa sektor usaha yang dianalisanya;
- pemutus pembiayaan kurang mendapat informasi mengenai usaha dan sektor ekonomi yang dibiayai;
- akad pembiayaan memiliki kelemahan, sehingga posisi bank syariah menjadi lemah;
- ketidakdisiplinan dalam melakukan monitoring, baik untuk pemenuhan persyaratan akad pembiayaan maupun perkembangan usaha nasabah;
- kurang cepat tanggap dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh nasabah atas usaha yang dibiayai.
Permasalahan internal dari pihak nasabah pembiayaan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kurang terbukanya atau kurang lengkapnya informasi yang diberikan nasabah pada saat proses pembiayaan;
- pembiayaan yang diberikan digunakan tidak sesuai dengan peruntukkan yang diperjanjikan dalam akad pembiayaan;
- terjadi mismanagement pada usaha yang dijalankan nasabah;
- kondisi keuangan nasabah memburuk;
- manajemen tidak memiliki kemampuan prima dalam mengelola perusahaan;
- nasabah tidak mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan kewajiban;
- penerapan good corporate governance pada debitur lemah.
Permasalahan eksternal di luar pihak bank syariah ataupun nasabah yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kondisi makro perekonomian kurang kondusif yang dapat mempengaruhi dunia usaha secara menyeluruh;
- regulasi domestik dan internasional yang dapat mempengaruhi usaha-usaha tertentu yang telah berjalan;
- fluktuasi suku bunga bank kovensional masih menjadi pertimbangan dan alasan masyarakat dalam transaksi pembiayaan bank syariah;
- kondisi persaingan usaha yang semakin ketat menuntut modifikasi dan diversifikasi usaha secara terus menerus;
- munculnya produk subtitusi terhadap sebuah produk pembiayaan yang dikenal selama ini;
- kelangkaan bahan baku yang dapat memperlambat atau menghentikan produksi;
- terjadinya musibah bencana alam yang dapat menghambat proses produksi baik parsial maupun secara menyeluruh.
Memperhatikan hal-hal yang telah diidentifikasi di atas, maka semua lini dalam pembiayaan pada sebuah bank syariah harus dapat memahami kondisi-kondisi yang terjadi sehingga dapat meminimalisasi pembiayaan bermasalah baik saat pemberian maupun pada masa yang akan datang. Di samping masalah teknis pemberian pembiayaan, para personal yang terkait dengan pembiayaan harus memahami kondisi perekonomian pada saat pembiayaan diberikan serta prediksi ke masa depan.
b. Proyeksi Pembiayaan Perbankan Nasional
Berdasarkan survei Bank Indonesia, selama tahun 2007 secara umum permintaan masyarakat terhadap pembiayaan baru perbankan mengalami peningkatan. Faktor utama yang mendorong meningkatnya permintaan adalah peningkatan kebutuhan pembiayaan dan penurunan suku bunga kredit. Namun demikian, pembiayaan yang diberikan perbankan nasional masih di bawah target yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena kondisi perekonomian yang belum membaik serta tingginya risiko usaha nasabah, sehingga bank masih menahan diri untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor ril.
Sektor-sektor usaha yang masih dihindari oleh perbankan dalam menyalurkan pembiayaan adalah:
- industri tekstil/garment karena kebijakan pemerintah dirasakan belum mendukung;
- industri pengolahan plywood dan produk dari kayu disebabkan untuk menghindari risiko illegal logging yang masih marak;
- bangunan (khususnya mall) karena over supply sehingga berisiko tinggi.
Pada tahun 2008 diperkirakan pemberian kredit baru masih akan meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena tersedianya rasio kecukupan modal bank dan likuiditas perbankan di sisi internal bank. Sedangkan dari sisi eksternal, peningkatan terjadi karena kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong penurunan suku bunga serta tingkat persaingan antar bank dalam menyalurkan kredit.
Prioritas utama penyaluran pembiayaan pada tahun 2008, diperkirakan sebagian besar berupa modal kerja namun pembiayaan investasi juga akan mengalami peningkatan dari periode sebelumnya.
c. Sektor Unggulan Pembiayaan
Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga dibandingkan produksi dunia usaha, maka hal ini juga tercermin pada kredit yang diberikan perbankan. Pemberian kredit baru paling besar terjadi pada pembiayaan konsumer serta sektor-sektor ekonomi yang mendukung konsumsi, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa dunia usaha.
Sebagian besar isi dari pembiayaan kepada sektor jasa dunia usaha merupakan kredit konsumsi yang diteruskan kepada masyakat melalui multi finance, koperasi simpan pinjam, dan lembaga-lembaga pembiayaan pemilikan rumah, kendaraan bermotor, dan barang konsumsi lainnya.
Pertumbuhan pembiayaan konsumsi, selama 5 tahun terakhir, sangat signifikan. Pada akhir tahun 2002, baru berjumlah Rp80 trilyun atau 21,5% dari total kredit perbankan. Pada akhir September 2007 telah berjumlah Rp266 trilyun atau meningkat lebih tiga kali lipat dalam jangka tidak sampai lima tahun. Komposisi pembiayaan konsumsi terbesar ada pada segmen konsumsi lainnya (bukan kredit pemilikan rumah, ruko ataupun apartemen) yang mencapai 70% lebih dari total kredit konsumsi nasional. Pada tahun 2002, pembiayaan konsumer dianggap sebagai primadona karena memiliki NPL segmen relatif hanya 2,63% dengan nilai absolut sebesar Rp 2,1 trilyun. Namun per triwulan III-2007, NPL absolut segmen pembiayaan konsumer telah ikut berkembang lebih dari empat kali lipat, yakni mencapai Rp 8,8 trilyun. NPL relatif pembiayaan consumer, saat ini, mencapai 3,3%. Dengan demikian, meskipun NPL pembiayaan konsumer masih di bawah 5%, namun perlu diwaspadai lebih lanjut agar tidak menjadi permasalahan besar di kemudian hari.
Dari kondisi di atas, seharusnya perbankan syariah tidak mengikuti langkah perbankan konvensional yang mengucurkan pembiayaan dengan porsi besar terhadap pembiayaan konsumsi. Apalagi tujuan semula didirikannya perbankan syariah adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di segmen mikro, kecil, dan menengah. Namun apadaya, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan oleh pelaku bank syariah untuk mencapai sebuah idealisme akibat berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Pembiayaan bermasalah pada perbankan syariah mengalami peningkatan cukup berarti dalam dua tahun terakhir. Pada akhir 2005 gross NPF (Non Performance Finance) baru sekitar 2,82%, namun pada akhir 2006 meningkat tajam menjadi 4,75%, dan hingga akhir triwulan III-2007 berada pada posisi 6,63%. Peningkatan pembiayaan bermasalah pada industri perbankan syariah terjadi karena berbagai faktor, baik dari internal bank, internal nasabah, ataupun masalah eksternal.
a. Permasalahan Pembiayaan Bank Syariah
Permasalahan internal dari pihak bank syariah sebagai pemberi pembiayaan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- petugas pembiayaan, baik marketing maupun analis kurang memahami seluk beluk sektor usaha pada pembiayaan yang diberikan;
- pembidangan pembiayaan belum dilakukan melalui spesialisasi segmen usaha, sehingga analis belum memiliki pendalaman terhadap satu atau beberapa sektor usaha yang dianalisanya;
- pemutus pembiayaan kurang mendapat informasi mengenai usaha dan sektor ekonomi yang dibiayai;
- akad pembiayaan memiliki kelemahan, sehingga posisi bank syariah menjadi lemah;
- ketidakdisiplinan dalam melakukan monitoring, baik untuk pemenuhan persyaratan akad pembiayaan maupun perkembangan usaha nasabah;
- kurang cepat tanggap dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh nasabah atas usaha yang dibiayai.
Permasalahan internal dari pihak nasabah pembiayaan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kurang terbukanya atau kurang lengkapnya informasi yang diberikan nasabah pada saat proses pembiayaan;
- pembiayaan yang diberikan digunakan tidak sesuai dengan peruntukkan yang diperjanjikan dalam akad pembiayaan;
- terjadi mismanagement pada usaha yang dijalankan nasabah;
- kondisi keuangan nasabah memburuk;
- manajemen tidak memiliki kemampuan prima dalam mengelola perusahaan;
- nasabah tidak mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan kewajiban;
- penerapan good corporate governance pada debitur lemah.
Permasalahan eksternal di luar pihak bank syariah ataupun nasabah yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kondisi makro perekonomian kurang kondusif yang dapat mempengaruhi dunia usaha secara menyeluruh;
- regulasi domestik dan internasional yang dapat mempengaruhi usaha-usaha tertentu yang telah berjalan;
- fluktuasi suku bunga bank kovensional masih menjadi pertimbangan dan alasan masyarakat dalam transaksi pembiayaan bank syariah;
- kondisi persaingan usaha yang semakin ketat menuntut modifikasi dan diversifikasi usaha secara terus menerus;
- munculnya produk subtitusi terhadap sebuah produk pembiayaan yang dikenal selama ini;
- kelangkaan bahan baku yang dapat memperlambat atau menghentikan produksi;
- terjadinya musibah bencana alam yang dapat menghambat proses produksi baik parsial maupun secara menyeluruh.
Memperhatikan hal-hal yang telah diidentifikasi di atas, maka semua lini dalam pembiayaan pada sebuah bank syariah harus dapat memahami kondisi-kondisi yang terjadi sehingga dapat meminimalisasi pembiayaan bermasalah baik saat pemberian maupun pada masa yang akan datang. Di samping masalah teknis pemberian pembiayaan, para personal yang terkait dengan pembiayaan harus memahami kondisi perekonomian pada saat pembiayaan diberikan serta prediksi ke masa depan.
b. Proyeksi Pembiayaan Perbankan Nasional
Berdasarkan survei Bank Indonesia, selama tahun 2007 secara umum permintaan masyarakat terhadap pembiayaan baru perbankan mengalami peningkatan. Faktor utama yang mendorong meningkatnya permintaan adalah peningkatan kebutuhan pembiayaan dan penurunan suku bunga kredit. Namun demikian, pembiayaan yang diberikan perbankan nasional masih di bawah target yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena kondisi perekonomian yang belum membaik serta tingginya risiko usaha nasabah, sehingga bank masih menahan diri untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor ril.
Sektor-sektor usaha yang masih dihindari oleh perbankan dalam menyalurkan pembiayaan adalah:
- industri tekstil/garment karena kebijakan pemerintah dirasakan belum mendukung;
- industri pengolahan plywood dan produk dari kayu disebabkan untuk menghindari risiko illegal logging yang masih marak;
- bangunan (khususnya mall) karena over supply sehingga berisiko tinggi.
Pada tahun 2008 diperkirakan pemberian kredit baru masih akan meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena tersedianya rasio kecukupan modal bank dan likuiditas perbankan di sisi internal bank. Sedangkan dari sisi eksternal, peningkatan terjadi karena kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong penurunan suku bunga serta tingkat persaingan antar bank dalam menyalurkan kredit.
Prioritas utama penyaluran pembiayaan pada tahun 2008, diperkirakan sebagian besar berupa modal kerja namun pembiayaan investasi juga akan mengalami peningkatan dari periode sebelumnya.
c. Sektor Unggulan Pembiayaan
Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga dibandingkan produksi dunia usaha, maka hal ini juga tercermin pada kredit yang diberikan perbankan. Pemberian kredit baru paling besar terjadi pada pembiayaan konsumer serta sektor-sektor ekonomi yang mendukung konsumsi, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa dunia usaha.
Sebagian besar isi dari pembiayaan kepada sektor jasa dunia usaha merupakan kredit konsumsi yang diteruskan kepada masyakat melalui multi finance, koperasi simpan pinjam, dan lembaga-lembaga pembiayaan pemilikan rumah, kendaraan bermotor, dan barang konsumsi lainnya.
Pertumbuhan pembiayaan konsumsi, selama 5 tahun terakhir, sangat signifikan. Pada akhir tahun 2002, baru berjumlah Rp80 trilyun atau 21,5% dari total kredit perbankan. Pada akhir September 2007 telah berjumlah Rp266 trilyun atau meningkat lebih tiga kali lipat dalam jangka tidak sampai lima tahun. Komposisi pembiayaan konsumsi terbesar ada pada segmen konsumsi lainnya (bukan kredit pemilikan rumah, ruko ataupun apartemen) yang mencapai 70% lebih dari total kredit konsumsi nasional. Pada tahun 2002, pembiayaan konsumer dianggap sebagai primadona karena memiliki NPL segmen relatif hanya 2,63% dengan nilai absolut sebesar Rp 2,1 trilyun. Namun per triwulan III-2007, NPL absolut segmen pembiayaan konsumer telah ikut berkembang lebih dari empat kali lipat, yakni mencapai Rp 8,8 trilyun. NPL relatif pembiayaan consumer, saat ini, mencapai 3,3%. Dengan demikian, meskipun NPL pembiayaan konsumer masih di bawah 5%, namun perlu diwaspadai lebih lanjut agar tidak menjadi permasalahan besar di kemudian hari.
Dari kondisi di atas, seharusnya perbankan syariah tidak mengikuti langkah perbankan konvensional yang mengucurkan pembiayaan dengan porsi besar terhadap pembiayaan konsumsi. Apalagi tujuan semula didirikannya perbankan syariah adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di segmen mikro, kecil, dan menengah. Namun apadaya, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan oleh pelaku bank syariah untuk mencapai sebuah idealisme akibat berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Langganan:
Postingan (Atom)