Rabu, 30 Januari 2013

Kemandirian vs Bantuan Menyengsarakan


Dampak pinjaman internasional yang dianggap sebagai bantuan luar negeri pada dekade 70-90 yang menyebabkan multi krisis pada tahun 1997-1998 masih terasa hingga sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang dibiayai oleh pinjaman tersebut diyakini akan memberi trickle down effect kepada masyarakat, dalam kenyataan malah menimbulkan bubble gum economic.

Menurut Jhon Perkins (2004), yang pernah terlibat sebagai seorang Economic Hit Man (EHM), bantuan-bantuan kepada negara berkembang oleh lembaga “donor” internasional memuat persyaratan, bahwa perusahaan rekayasa dan konstruksi negara asal pemberi bantuan yang harus membangun semua proyek bantuan. Dengan demikian, sebenarnya, uang yang ditransfer dari kantor perbankan yang memberikan pinjaman kepada kantor bagian rekayasa atau konstruksi yang membangun proyek, tidak pernah meninggalkan negara pemberi bantuan. Meskipun, faktanya, uang yang diterima negara penerima bantuan hampir dengan seketika dikembalikan kepada korporasi yang merupakan anggota corporatocracy (kreditur), tetapi penerima bantuan diharuskan membayar semuanya beserta bunganya. Apabila pinjaman mengalami gagal bayar pada waktu berikutnya, maka anggota corporatocracy akan menuntut pembayaran penuh, dan disertai dengan tindakan-tindakan pengendalian atas hak pilih di PBB, instalasi pangkalan militer, atau akses kepada sumber daya yang berharga. Walaupun negara penerima bantuan menerima tindakan tersebut, pinjaman yang belum dibayar tetap masih terhutang.

Dampak yang dirasakan oleh negara penerima bantuan, adalah mereka berada dalam situasi yang jauh lebih buruk daripada sebelum menerima bantuan dua puluh tahun sebelumnya. Misalnya seperti Ekuador, tingkat kemiskinan meningkat dari 50% menjadi 70% setelah menerima bantuan. Pengangguran bertambah dari 15% menjadi 70%. Hutang Negara meningkat dari USD 240 juta menjadi USD 16 milyar dalam rentang 2 dekade. Bagian sumber daya nasional yang dialokasikan untuk segmen penduduk paling miskin menciut dari 20% menjadi 6%.

Bertolak belakang dengan sebagian besar badan dan lembaga dari negara berkembang yang dengan suka cita menerima bantuan luar negeri dan ternyata kemudian menyeret mereka ke dalam masalah keuangan yang lebih pelik, Grameen Bank dari Bangladesh di bawah pimpinan Muhammad Yunus berani menolak “bantuan” Bank Dunia sebesar USD 200juta pada tahun 1986. Beliau menolak karena tidak ingin seorang pun turut campur dalam sistem atau memerintah Grameen Bank bagaimana harus bertindak. Dari awal, beliau tidak suka dengan cara para pakar dan konsultan Bank Dunia yang seringkali mengambil alih proyek-proyek yang mereka danai, dan tidak akan berhenti sampai sesuatu terbentuk sesuai keinginan mereka.

Penolakan Grameen Bank yang tidak mau menerima bantuan Bank Dunia berupa pinjaman lunak dengan bunga sangat rendah, membuat Bank Dunia memutuskan membentuk organisasi kredit mikro sendiri di Bangladesh dengan memadukan sejumlah metodologi program kredit mikro. Sebagai seorang ekonom, Profesor Muhammad Yunus memandang ide Bank Dunia tersebut tidak realistis dan tidak merekomendasikan kepada pemerintah Bangladesh. Pemerintah Bangladesh, akhirnya menerima pendapat beliau dan menolak inisiatif Bank Dunia. Akibatnya, Bank Dunia mencoret nama Bangladesh dari dokumen proyek yang ditolak dan menawarkannya kepada pemerintah Sri Lanka.

Secara finansial, Yunus yakin bahwa sebuah bantuan berupa pinjaman lunak dengan tenggat waktu sangat panjang bukanlah hibah, dan akan memaksa negara untuk terperangkap dalam masalah yang tidak berkesudahan. Pinjaman lunak luar negeri untuk kredit mikro tidak akan pernah dapat dikembalikan sepenuhnya, sekalipun tingkat pengembalian kredit 100 persen. Hal itu terjadi karena proyek di dalam negeri berpatokan kepada kurs lokal setara saat pinjaman diterima, namun ketika membayar harus dalam dolar Amerika. Akibat pergerakan kurs, seringkali pengembalian pinjaman dalam kurs dolar yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang dipinjamkan, sehingga meninggalkan sisa hutang yang tidak akan pernah habis.

Pada akhir tahun 2006, Grameen Bank membuktikan pada dunia, bahwa usaha yang mereka rintis dengan modal sendiri dengan menggerakkan sumber daya yang mereka miliki diakui dunia sebagai sebuah proyek memberantas kemiskinan. Atas prestasi tersebut, mereka memperoleh Nobel Perdamaian. Grameen Bank telah membantu tujuh juta orang miskin di 73 ribu desa Bangladesh menjadi pelaku usaha melalui pembiayaan mikro senilai empat milyar dolar dan membangun 640 ribu rumah bagi mereka. Di samping itu, dengan 1.181 cabang yang dimilikinya, Grameen Bank dapat membuka lapangan kerja bagi hampir 12 ribu staff mereka. Meskipun dengan bangkitnya rakyat miskin menjadi pelaku usaha di Bangladesh tidak serta-merta menjadikan Bangladesh sebagai negara kaya dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi mampu mengubah kualitas hidup 50 persen populasi terbawah sebagai hakikat pembangunan.

Grameen Bank telah mampu membuktikan bahwa masyarakat miskin mampu mandiri mengubah nasibnya dengan memberdayakan kemampuan artistik dan kreatif yang mereka miliki dalam merealisasikan kesejahteraan masing-masing. Bahkan sebagai negara yang sering dilanda bencana alam, para anggota Grameen Bank tetap mampu bangkit kembali setiap bencana berlalu dan dapat melunasi semua pembiayaan yang mereka terima setelah recovery.

Pengalaman sebaliknya yang dirasakan pada saat ini oleh negara-negara berkembang yang membangun proyek-proyek melalui pembiayaan dengan pinjaman dari lembaga keuangan internasional dan perbankan negara-negara maju yang pada awalnya dirasakan sebagai bantuan telah menyeret mereka dalam hutang luar negeri yang tidak pernah habis dan entah kapan akan berakhir. Mereka mesti mempersembahkan porsi yang luar biasa besarnya dari anggaran nasionalnya untuk membayar hutang-hutang mereka, sebagai ganti memakai modalnya untuk membantu jutaan warga mereka yang secara resmi digolongkan sebagai melarat pada tingkat yang berbahaya.

Dapat kita simak bagaimana pengalaman David C. Korten (1999), sebagai  penasehat manajemen pembangunan bagi USAID (United State Agency for International Development), selama 15 tahun beliau tinggal di Asia ternyata terasa menyedihkan. Beliau mengamati bahwa setiap tahun beberapa juta orang digusur dari rumah tempat tinggal mereka dan dari tempat mereka mencari kehidupan demi proyek-proyek pembangunan yang mendapat “bantuan” luar negeri. Proyek-proyek pembangunan tersebut telah merampas tanah, air, dan tempat perikanan mereka, yang kemudian digunakan sebagai bendungan, perkebunan, kawasan pabrik, tempat pemeliharaan udang, jalan tol, lapangan golf, kawasan wisata, dan instalasi militer. Dalam banyak kasus, mereka yang tergusur telah didorong dari miskin menjadi total miskin. Sementara itu orang yang lebih kaya meraup keuntungan dari penggusuran tersebut. Sumber-sumber yang diambil dari orang-orang miskin tersebut, penggunaannya beralih dari yang berkelanjutan menjadi tidak berkelanjutan. Semua hal tersebut yang semula ditujukan untuk mengejar pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), ternyata, tidak dinikmati oleh orang-orang miskin yang terus bertambah. Pembangunan tersebut akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang yang telah memiliki lebih dari apa yang mereka perlukan sebelumnya, serta menyisakan permasalahan hutang negara-negara Asia yang semakin menumpuk dari hari ke hari.

Dengan demikian, keputusan Grameen Bank dari Bangladesh menolak bantuan berupa pinjaman lunak dengan bunga rendah dua dekade yang lalu dirasakan sebagai langkah tepat pada saat ini. Di saat angka kemiskinan meningkat setiap tahun di seluruh dunia, Bangladesh justru mengalami penurunan angka keluarga miskin.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Senin, 28 Januari 2013

Gelembung Perekonomian di Era Baru (Bagian Akhir Dari 2 Tulisan)


Studi yang dilakukan oleh Mc Kinsey melaporkan bahwa antara tahun 1980-1992, asset keuangan negara-negara OECD (the Organization for Economic Cooperation and Development, yang merupakan 29 negara industri utama) tumbuh dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB mereka. Hal itu, menunjukkan bahwa tuntutan yang potensial terhadap hasil ekonomi berkembang dua kali lipat daripada laju pertumbuhan hasil itu sendiri. Pembesaran asset keuangan seperti itu, merupakan suatu distorsi ekonomi yang amat menyesatkan. Penyesatan itu terjadi, menurut Korten, karena pemindahan kekuasaan ekonomi dari orang yang menciptakan kekayaan yang sesungguhnya kepada orang yang membuat uang.

Menciptakan sebuah gelembung keuangan, telah menjadi salah satu cara membuat uang tanpa memberikan kontribusi produktif bagi sebagian orang. Seringkali terjadi, suatu lembaga mempromosikan sebuah skema invetasi yang tidak didukung oleh suatu aktivitas yang produktif. Banyak pemilik tabungan tergoda untuk ikut serta menanamkan investasinya akibat kepiawaian promosi yang dilakukan dengan janji keuntungan yang sangat besar setiap bulan. Oleh karena banyaknya dana yang masuk, dengan gampang pihak yang melakukan promosi tersebut memakai sebagian uang dari investor untuk membayar keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan kepada investor yang datang terlebih dahulu. Pembayaran keuntungan ini menimbulkan rasa percaya terhadap skema itu, sehingga menambah keyakinan banyak orang untuk berinvestasi. Akibatnya, banyak orang dicengkram demam spekulasi dan menjual asset mereka untuk ikut serta dalam keuntungan besar yang dijanjikan  berupa harta kekayaan yang diperoleh tanpa susah payah. Kemudian, pada titik tertentu, semua menjadi terbalik. Asset yang dipertaruhkan untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa, hanya menjadi impian kosong dengan hilangnya pihak yang seharusnya bertanggungjawab.

Gelembung keuangan (financial bubble) yang bersifat spekulatif tersebut melibatkan penawaran benda-benda yang jauh lebih besar daripada nilai yang sesungguhnya. Hal itu merupakan bentuk penipuan yang canggih dan terselubung serta memakan banyak korban. Menurut Korten (1999), kondisi itu, juga dapat terjadi dalam bursa dunia. Banyak orang berdasarkan keyakinan yang salah, bahwa membeli saham atau reksa dana akan menghasilkan keuangan yang produktif di masa depan. Akan tetapi, berdasarkan angka Federal Reserve tahun 1993, pendanaan saham yang dijual melalui penjualan saham baru hanya menyumbang empat persen terhadap seluruh modal keuangan dari perusahaan-perusahaan terbuka di Amerika Serikat. Sisa modal didapatkan dari pinjaman sebesar 14%, dan pendapatan yang ditahan sebesar 82%. Banyak orang tidak sadar, bahwa ternyata perusahaan-perusahaan tersebut lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli saham mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang mereka terima dari penerbitan saham-saham baru.

Era ekonomi baru telah membawa sebuah era di mana milyaran dolar dalam bentuk “investasi” baru mengalir amat deras ke pasar saham dan menaikkan harga-harga dengan kecepatan yan belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, aliran dana yang murni dari pasar saham ke perusahaan pada hakikatnya adalah negatif. Menurut Korten, sesungguhnya, pasar saham adalah sebuah kasino judi canggih dengan wataknya yang unik. Para pemain di pasar saham, melalui interaksinya, memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu, memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat yang lain.

Berjalannya permainan tersebut, dapat dirasakan dari krisis moneter Asia akibat perputaran pasar saham dunia yang berdampak terhadap kehidupan manusia-manusia sesungguhnya. Pada tahun 1997, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia. Kehancuran tersebut dimulai dari Thailand, dan kemudian dengan cepat mejalar, sebagaimana deretan kartu domino yang berjatuhan, ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan Hong Kong.

Pada fase mukjizat Asia, pemasukan mata uang asing yang besar dengan cepat mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam saham dan real estate. Pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produkstif yang sesungguhnya. Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu, lalu menarik lebih banyak uang lagi. Uang tersebut diciptakan oleh bank-bank internasional yang menerbitkan hutang yang diperoleh karena asset-asset yang digelembungkan itu. Hasil-hasil yang diperoleh dari investasi industri dan pertanian produktif tidak dapat bersaing dengan hasil-hasil yang diperoleh dari spekulasi saham dan real estate. Oleh karena itu, investasi asing yang masuk ke dalam sebuah negara, memperbanyak uang-uang yang mengalir keluar dari sektor-sektor produktif untuk ikut serta dalam ajang spekulasi.

Pada fase kehancuran, para investor bergegas menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan. Harga saham dan real estate menjadi jatuh. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar hutang yang tidak dapat ditagih. Kehancuran keuangan mengancam karena likuiditas telah kering.

Untuk menyelamatkan kondisi tersebut, pemerintah membayarkan hutang-hutang para banker dan badan-badan investasi dengan uang pemerintah. Kemudian, IMF bergegas membantu dengan hutang darurat yang dijamin oleh pemerintah. Sebagai contoh, IMF memberikan bantuan USD 57 milyar kepada Korea Selatan pada bulan Desember 1997. Pasar saham Korea meningkat kembali dengan bergairah untuk seketika. Kemudian, para spekulator mengambil uang IMF itu dan melarikan diri. Akibatnya, pasar saham menderita kejatuhan 50% dan pembayar pajak Korea mendapatkan surat hutang IMF sebanyak USD 57 milyar ditambah dengan bunga yang harus dibayar dalam valuta asing.

Pengalaman Asia, mengajarkan, bahwa suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu kemampuan kapitalisme untuk menciptakan sebuah khayalan kemakmuran dengan jalan menciptakan demam spekulasi. Hal yang terjadi sebenarnya, adalah sebuah kenyataan yang menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif. Banyak pihak terhanyut dalam kehancuran gelembung-gelembung keuangan yang disebabkan oleh spekulasi uang di pasar saham dan peminjaman uang yang tidak bertanggungjawab oleh bank. Namun demikian, tampaknya para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme itu, tetap tidak mempan dan tidak paham terhadap perbedaan investasi produktif (yaitu menggunakan tabungan untuk menambah dasar modal produktif) di satu pihak, dan investasi yang ekstraktif (yaitu menghasilkan uang dengan jalan spekulasi untuk mengajukan tuntutan kekayaan orang lain yang benar-benar ada) di lain pihak.

Ketidakpahaman para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme uang tersebut, mungkin terkait dengan terjadinya transaksi keuangan internasional yang lebih besar daripada harga keseluruhan ekonomi global pada dekade terakhir. Volume perdagangan uang internasional mencapai USD 1,5 milyar per hari, atau meningkat delapan kali lipat dari dekade sebelumnya. Namun, sebaliknya volume ekspor barang dan jasa global selama satu tahun hanya USD 6,6 trilyun atau hanya USD 25 milyar per hari. Hal itu memperlihatkan, bahwa betapa mencoloknya perbedaan perdagangan riil dibandingkan dengan perdagangan asset-asset keuangan yang bersifat maya.

Logika kapitalisme uang yang kurang memperdulikan tindakan-tindakan dalam membuat tambahan bersih kepada hasil produk dan jasa, mengakibatkan tidak satu sen pun investasi dalam menciptakan atau mempertinggi suatu asset yang produktif. Tujuan kapitalisme uang hanya menambah keseluruhan nilai pasar dari surat-surat berharga yang diperdagangkan, sehingga hanya berfungsi untuk menciptakan gelembung-gelembung uang sementara. Gelembung-gelembung tersebut akan menambah tuntutan mereka yang memegang sekuritas dalam menghadapi kekayaan masyarakat yang sesungguhnya.

Dengan kondisi demikian, menurut Korten, kapitalisme uang telah melupakan produksi dan kepentingan-kepentingan kelas pekerja, masyarakat, dan alam. Logika kapitalisme uang, saat ini, sedang mengendalikan pembuatan kebijakan-kebijakan dalam ekonomi global, dan sedang menyebabkan keruntuhan keuangan dari sebuah negara ke negara lain. Di bawah kekuasaan kapitalisme uang, penghargaan akan jatuh kepada mereka yang membuat uang, bukan kepada pekerja yang digaji dan benar-benar membuat hal-hal yang para pembuat uang itu ingin membelinya.

Akhirnya teori ekonomi yang menyatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja tidak selalu menjadi kenyataan pada saat ini, dan telah menjadi teori yang usang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang disebabkan gelembung-gelembung keuangan tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang menyilaukan.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Gelembung Perekonomian di Era Baru (Bagian 1 dari 2 Tulisan)


Dalam sebuah siklus ekonomi, pasang surut perekonomian merupakan sebuah hal yang lumrah terjadi. Sebuah siklus ekonomi, selalu melihatkan adanya fase lonjakan yang tanpa terelakkan akan disusul oleh sebuah peluruhan (bust).

Era Ekonomi Baru yang lahir setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal dan menandai kemenangan ekonomi pasar atas sosialisme.  Kondisi pasar yang terjadi pada era ekonomi baru, bukan hanya kapitalisme mengalahkan komunisme, tetapi juga menjadikan kapitalisme versi Amerika yang didasari kegigihan individualisme mengalahkan versi-versi kapitalisme lain yang lebih lunak dan halus (Stiglitz, 2003).

Seiring proses globalisasi, maka terjadilah penyebaran kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia. Semua pihak, pada awal era ekonomi baru seolah memperoleh manfaat dari tatanan Economia Americana. Tatanan ini mendorong peningkatan aliran dana yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari negara maju ke dunia berkembang, yakni enam kali lipat dalam enam tahun, peningkatan perdagangan yang mencapai 90% lebih dalam satu dekade, dan angka pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Kondisi ini diharapkan akan menciptakan lapangan kerja yang besar dan pertumbuhan kesejahteraan yang lebih baik. Inti kapitalisme era baru ini ditandai dengan kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi yang merevolusi cara dunia berbisnis. Ia juga mengubah laju perubahan teknologi itu sendiri dan meningkatkan tingkat pertumbuhan produktivitas ke taraf yang tidak tercapai dalam seperempat abad lebih.

Dunia pernah mengalami revolusi ekonomi pada abad 18-19, yakni Revolusi Industri, yang menggeser basis perekonomian dari pertanian ke manufaktur. Era Ekonomi Baru juga menunjukkan pergesaran perekonomian sebagaimana Revolusi Industri. Pergeseran yang terjadi pada Era Ekonomi Baru adalah pergeseran produksi “barang” (manufaktur) ke produksi “gagasan”. Ekonomi Baru, lebih memerlukan pengolahan informasi dibandingkan persediaan barang. Mulai pertengahan era 1990-an, sektor manufaktur menyusut mendekati 14% dari total output perekonomian. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja yang bahkan jauh lebih kecil dari era sebelumnya.

Berubahnya basis perekonomian dari manufaktur ke gagasan, menjadikan perusahaan teknologi menjadi primadona dalam lapangan bisnis era ekonomi baru. Perusahaan-perusahaan teknologi menjadi rebutan para investor untuk menginvestasikan dana mereka. Rebutan investor dalam mengiventasikan dananya pada suatu sektor dapat mengakibatkan munculnya “kegairahan irasional  dalam sebuah pasar. Perlu disadari, bahwa dalam ekonomi pasar, harga merupakan faktor penting guna membangun kepercayaan dan berfungsi sebagai sinyal yang menuntun alokasi sumber daya. Jika harga didasari oleh informasi mengenai fakta dasar suatu pasar tertentu, maka keputusan yang dibuat investor berdasarkan harga tersebut merupakan keputusan yang sehat. Dengan demikian, sumber daya akan dialokasikan dengan baik dan perekonomian akan tumbuh dengan wajar.

Akan tetapi, apabila harga-harga sesungguhnya bersifat acak yang didasari oleh keranjingan irasional spekulator pasar, maka investasi akan kacau balau. Spekulasi muncul akibat terlalu mengandalkan kepercayaan pasar dibandingkan pengetahuan tentang pasar, dan kurang mengindahkan ekonomi riil yang melandasi pemilihan investasi. Hal tersebut memunculkan sebuah “kegairahan irasional”, sehingga harga-harga yang terjadi hanya didasari oleh keranjingan semata. Demi mengejar kenaikan harga dan keuntungan, para investor mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan normal perilaku investasi rasional. Mereka melakukan investasi di dalam pasar yang sebenarnya bercirikan risiko tinggi.

Perkembangan yang tidak rasional tersebut, menurut Gilpin & Gilpin (2000), merupakan tahap “mania” atau “gelembung” dalam bom. Pada saat tahap ini semakin cepat, maka harga dan laju penambahan uang yang dispekulasikan pun meningkat. Kemudian, pada titik tertentu pasar akan mencapai puncaknya. Beberapa investor dalam mulai mengkonversi investasinya ke bentuk uang atau memindahakan ke investasi lain, untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi berikutnya.Melihat hal itu, banyak spekulan yang sadar, bahwa “permainan” akan berkahir dan ikut menjual asset-asset investasi mereka. Lomba adu cepat untuk keluar dari asset-asset yang berisiko dan bernilai tinggi menjadi semakin sengit, dan pada akhirnya berubah menjadi gerombolan liar yang mengejar kualitas dan keamanan.

Peritiwa tersebut dapat menimbulkan sinyal pasar yang memicu kekacauan dan menyebabkan paniknya dunia keuangan. Kepanikan tersebut dapat berupa kegagalan bank, bangkutnya suatu perusahaan, atau sejumlah peristiwa yang tidak mendukung lainnya. Ketika para investor terburu-buru keluar dari pasar, harga-harga pun berjatuhan, kebangkutan meningkat, dan “gelembung” spekulasi akhirnya meletus yang menyebabkan harga ambruk. Kepanikan terjadi setelah para investor dengan putus asa mencoba menyelamatkan diri mereka sedapat mungkin. Kemudian, bank-bank menghentikan pinjaman yang menyebabkan remuknya kredit, suatu masa resesi, atau bahkan mungkin depresi mengikutinya. Pada akhirnya, panik akan mereda dengan cara tertentu, ekonomi terpulihkan, dan pasar kembali pada kesetimbangan, setelah membayar sedemikian mahal.

Menurut Stiglitz (2003), selama bertahun-tahun, semakin banyak bukti bahwa pasar sering tidak berjalan dengan baik. Walaupun, hubungan antar harga saham dengan informasi masuk akal, tetapi seringkali naik turunnya harga tidak demikian. Fluktuasi pasar benar-benar acak. Sifat pasar yang acak dan tidak efisien mempunyai biaya yang mahal dan menyebabkan suatu perusahaan mendapatkan investasi berlebih, sementara sebagian perusahaan lain mendapatkan investasi telalu sedikit bahkan mungkin tidak dapat sama sekali.

Pertumbuhan ekonomi di era ekonomi baru yang seringkali diwarnai dengan kegairahan irasional, juga menimbulkan suatu kondisi lain. Kondisi tersebut melahirkan pemisahan yang semakin besar antara kepemilikan dengan pengelolaan korporasi. Pengelola perusahaan atas nama jutaan pemegang saham mengelola korporasi. Namun, pemegang saham awam sulit memahami apa yang sesungguhnya terjadi atas investasi mereka pada korporasi tersebut. Kondisi yang terjadi saat ini dikenal sebagai modal uang atau kapitalisme uang (Korten, 1999). Pemilik modal menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis. Mereka menggantungkan hidup dari pendapatan yang diperoleh dari kepemilikan uang dan mengharapkan tabungan yang diinvestasikan semakin menumpuk, namun kondisi tersebut menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya.

Kapitalisme uang telah memberikan kesempatan kepada orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tututan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Aktivitas seperti itu, menyebabkan sejumlah kecil orang menjadi kaya tapi tidak produktif. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antara investasi yang produktif dan yang ektraktif merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya. Berdasarkan logika kapitalisme uang, definisi uang adalah kekayaan, dan tujuan aktivitas ekonomi adalah bagaimana menciptakan uang sebanyak mungkin.

Bersambung....

Kamis, 24 Januari 2013

Privatisasi Korupsi & Krisis Global

 

13590724491892781012
Era ekonomi baru yang menimbulkan gejala konsumtivisme, membuat banyak para eksekutif korporasi yang telah berpenghasilan besar ikut pula tidak puas apabila peningkatan hidupnya berjalan tidak beriringan dengan kemajuan perusahaan. Untuk itu, mereka mencari cara-cara lain untuk menggenjot penghasilan.
 
Sebagaimana banyak dilansir oleh berbagai pihak, kondisi krisis keuangan global yang sedang terjadi saat ini, salah satu faktor terbesar, diakibatkan oleh menurunnya moral dan etika stakeholders di dunia keuangan. Menurunnya moral dan godaan materialisme membuat banyak pelaku dunia keuangan melakukan kolusi, manipulasi dan korupsi. Sebelum era ekonomi baru, istilah koruptor (pelaku korupsi) hanya di kenal untuk kalangan birokrat pemerintah. Menurut Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin (2000), di mana kekuatan berada, ia dapat disalahgunakan. Pada era ekonomi baru korporasi-korporasi global telah merupakan konsentrasi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Sebagaimana sebuah institusi besar dan berkekuatan, korporasi global dapat bersikap dengan cara-cara yang korup, arogan, dan secara sosial tidak bertanggungjawab.

Menurut Joseph E. Stiglitz (2003), seharusnya seorang CEO (Chief  Executive Officer) dan eksekutif korporasi lainnya melakukan tindakan terbaik demi kepentingan korporasi, pemegang saham, dan para pekerjanya. Akan tetapi akibat insentif yang berbeda dari era sebelumnya, membuat CEO bertindak mewakili kepentingan pribadi dan seringkali tidak melakukan tugasnya sebagai wakil dari pihak yang diwakilinya dengan baik. Ironinya, perubahan struktur gaji yang menjadi akar sebagian besar permasalahan ini dibela sebagai perbaikan insentif. Di samping itu terdapat pula praktek ganjil korporasi dalam memberikan stock option (hak opsi saham) kepada para eksekutif perusahaan. Para eksekutif perusahaan mempunyai hak membeli saham perusahaan sendiri di bawah harga pasar, bahkan seolah-olah tidak ada nilai yang berpindahtangan.

Berdasarkan catatan Stiglitz, pada tahun 2001 hak opsi mencapai sekitar 80 persen kompensasi manajer korporasi Amerika yang mempunyai dampak yang tidak ringan pada neraca keuangan. Bila sebuah korporasi diminta mengakui nilai opsi saham yang dikeluarkannya pada tahun tersebut, maka laba perusahaan bisa berkurang sepertiganya. Dengan demikian, kontroversi opsi saham, sebenarnya adalah soal kejujuran dalam membeberkan informasi. Melalui logika tersembunyi dan berbahaya, opsi saham berperan penting dalam menyebarkan bentuk-bentuk lain penyelewengan keuangan. Para eksekutif yang nakal, makin lama menunjukkan energi dan kreativitasnya bukan untuk menghasilkan produk-produk dan layanan baru, tetapi malah membuat cara-cara baru untuk memaksimalkan pendapatan eksekutif yang dibebankan kepada para investor yang lengah.

Pada saat hak opsi saham diberikan kepada para eksekutif korporasi, sebuah perusahaan dengan sendirinya menerbitkan saham baru. Hal itu berarti telah menipiskan nilai saham yang sudah ada. Misalkan sejuta lembar saham beredar, masing-masing bernilai Rp 10 ribu. Artinya, nilai perusahaan atau kapitalisasi pasarnya Rp 10 milyar. Jika eksekutif korporasi menerima tambahan sejuta saham gratis, maka pemegang saham yang lama harus berbagi nilai perusahaan beserta labanya di kemudian hari dengan pemegang saham yang baru (dalam hal ini para eksekutif korporasi). Oleh sebab itu, harga masing-masing saham akan turun menjadi Rp 5 ribu. Dengan demikian, sebenarnya para pemegang saham membayar para eksekutif sebesar Rp 5 milyar melalui pengurangan nilai saham mereka, meskipun tidak langsung dari kantong mereka sendiri.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dapat terjadi, pada saat pemberian hak opsi saham, para eksekutif korporasi harus membayar sebagian harga sahamnya. Misalkan pada contoh di atas, para eksekutif membayar dengan harga diskon sebesar Rp 5 ribu. Setelah penambahan saham tersebut, perusahaan mempunyai nilai kapital sebesar Rp 15 milyar, atau bertambah Rp 5 milyar dari sebelumnya. Nilai kapital perusahaan akan dibagi untuk 2 juta lembar saham. Harga masing-masing saham kini menjadi Rp 7,5 ribu. Dengan demikian, para pemegang saham rugi sebesar Rp 5 milyar, persis jumlah yang diperoleh para eksekutif korporasi sebanyak sejuta saham dengan nilai Rp 10 ribu yang dibeli hanya dengan Rp 5 ribu.

Pemberian hak opsi saham kepada para eksekutif korporasi tersebut menimbulkan implikasi pajak dan biaya yang lebih tinggi kepada perusahaan. Ketika seorang menerima gaji dan insentif atau bonus dari perusahaan, maka jumlah yang diterima akan dikenakan pajak. Sebaliknya, apabila seorang eksekutif korporasi menerima insentif berupa hak opsi saham, maka tidak ada pajak yang dikenakan kepadanya. Meskipun, ketika si eksekutif menguangkan hak opsinya, ia akan membayar pajak capital gains atas kelebihan harga jual terhadap harga beli, tetapi manfaat yang telah dinikmatinya dari penyimpangan informasi kepada pemegang saham telah lebih dari cukup.

Sebagian ekonom independen, menurut Stiglitz, menyatakan bahwa hak opsi saham ini sebagai tindak pencurian usaha. Eksekutif korporasi telah mencuri uang dari para pemegang saham yang lengah. Namun karena harga saham, dirasakan naik, maka hanya sedikit pemegang saham yang menyadari hal tersebut. Mereka merasakan bagaikan pemenang, karena tidak sadar bahwa harga saham yang diperdagangkan Rp 10 ribu harusnya Rp 15 ribu, yang Rp 15 ribu seharusnya Rp 20 ribu. Akibat subtilitas pencurian inilah yang memungkinkan banyak eksekutif perusahaan lolos darinya.

Meskipun opsi saham secara aktual telah banyak dipraktekan oleh korporasi-korporasi, namun menurut pengamatan ekonom independen, tidak banyak memberikan insentif untuk melakukan sesuatu yang akan mempertinggi nilai perusahaan dalam jangka panjang. Pemberian opsi saham, berarti, bahwa insentif yang akan diterima oleh eksekutif korporasi bergantung kepada harga saham jangka pendek. Oleh karena itu, lebih mudah bagi seorang CEO untuk meningkatkan “tampilan” laba daripada laba yang sebenarnya.

Era ekonomi baru yang menimbulkan gejala konsumtivisme, membuat banyak para eksekutif korporasi yang telah berpenghasilan besar ikut pula tidak puas apabila peningkatan hidupnya berjalan tidak beriringan dengan kemajuan perusahaan. Untuk itu, mereka mencari cara-cara lain untuk menggenjot penghasilan. Salah satu cara adalah melalui transaksi palsu yang memungkinkan mereka membukukan pendapatan, sekalipun tidak benar-benar ada. Cara lain adalah dengan menghapuskan pengeluaran dari pembukuan atau dengan menggunakan write off berulang-ulang agar dari luar terlihat adanya laba normal yang mantap. Hal-hal tersebut dilakukan dengan tujuan menampilkan kesuksesan yang memukau, dan segera menguangkannya sebelum umum tahu akan perbuatan mereka. Dengan demikian, satu bentuk penipuan yang dilakukan oleh eksekutif korporasi dapat melahirkan begitu banyak penipuan lainnya. Sehingga yang menanggung akibat kerugian yang mereka timbulkan bukan hanya investor, tetapi juga para pembayar pajak lain yang “lugu”.

Sebuah peristiwa monumental, kerakusan para eksekutif korporasi yang mempunyai kekuatan ekonomi yang luar biasa dan telah menjadi contoh sebuah lambang laju kecepatan pertumbuhan sekaligus kerobohan sebuah korporasi global dalam waktu singkat, serta sisi gelap kapitalisme kroni dan penyalahgunaan kekuatan korporasi global di mancanegara terjadi dengan terkuaknya skandal Enron (sebuah perusahaan energi) dan disusul dengan skandal serupa di WorldCom (perusahaan teknologi informasi) pada awal millennium baru. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai negara pada akhir dekade 1990-an. Namun lebih banyak melibatkan para pemilik yang kemudian melarikan dana mereka keluar dari negara asal perusahaan mereka.

Gelembung-gelembung asset dan laba yang diciptakan secara tidak bertanggungjawab oleh eksekutif-eksekutif korporasi, membuat pasar yang minim informasi dalam mempertimbangkan apa yang terjadi, akan memompa harga saham semakin tinggi lagi. Akibat insentif yang akan diterima oleh para eksekutif korporasi tergantung kepada hak opsi saham, maka mereka lantas menjual saham yang telah diangkat nilainya untuk memperoleh laba besar dari penjualannya (capital gain).

Dengan demikian, akibat eksekutif korporasi memperkaya diri sendiri, pihak lain tidak ikut diuntungkan. Pendapatan yang diperoleh para eksekutif korporasi, justru membebani pemegang saham (publik) yang kepentingannya seharusnya mereka layani. Akhirnya, para eksekutif ini telah membawa risiko yang besarnya tidak terbayang oleh para pemegang saham yang telah menggadaikan kekayaannya untuk investasi pada korporasi yang semula diharapkan akan semakin memperbesar kekayaan mereka. Tinggallah mereka gigit jari bahkan bunuh diri setelah gelembung yang diharapkan membesar malah meletus menjadi krisis keuangan global yang dirasakan saat ini.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 23 Januari 2013

Korporatisme


Runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an, bukan saja menyebabkan ideologi kapitalisme menang atas komunisme, tetapi lebih dari itu. Kapitalisme juga memperoleh kemenangan atas demokrasi dan ekonomi pasar. Menurut pengamatan Korten (1999), di dalam kapitalisme era ekonomi baru, demokrasi dapat dijual kepada penawar tertinggi, dan pasar bebas direncanakan secara terpusat oleh mega korporasi global yang ukurannya lebih besar dari banyak negara yang sesungguhnya. Kenyataan yang terjadi saat ini, dunia dikuasai oleh kaum spekulator uang dan bisnis berskala global. Kapitalisme telah berkembang menjadi korporatisme yang bukan saja menguasai perekonomian, tapi juga bergeser ke dalam kekuasaan politik.

Kekuasaan korporasi semakin besar dan terpusat seiring berjalannya mekanisme merger dan akuisisi perusahaan. Akibatnya, tanpa disadari, sistem politik suatu negara semakin tergantung pada korporasi. Para kaki tangan korporasi global dapat mempengaruhi pembuatan persetujuan perdagangan dan investasi internasional baru. Hal itu, berakibat semakin memperkuat hak korporasi, dan sebaliknya akan merugikan hak-hak asasi manusia. Jurang antara kaum yang amat kaya dengan umat manusia yang makin miskin tambah mengangah.

Dampak sebuah sistem ekonomi yang buta terhadap kebutuhan manusia menjadikan ancaman kehancuran sosial dan lingkungan semakin besar.  Kekuasaan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan internasional telah melucuti peran pemerintah. Kemampuan sebuah pemerintahan untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial, dan lingkungan, dalam kerangka kepentingan yang lebih luas, telah jauh berkurang dan beralih kepada korporasi-korporasi global. Demikian pula, usaha yang tidak henti-hentinya mengejar pertumbuhan ekonomi telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di bumi. Akibat yang ditimbulkan, bukan hanya memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, tetapi juga menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat.

Demi keuntungan jangka pendek bagi kaum yang amat kaya dan kelanjutan hidup bagi umat manusia yang amat miskin dalam sebuah proyek pembangunan, lingkungan telah dikuras sedemikian rupa, sehingga tidak mengandung kehidupan lagi. Akibat sebuah proyek pembangunan, sekumpulan manusia telah terusir ke luar dari rumah mereka, dari kampung halaman mereka, dan dari masyarakat mereka. Padahal, sebelumnya hal tersebut telah berhasil memberikan suatu kehidupan yang sederhana namun bermartabat bagi mereka. Berbagai proyek pembangunan telah mengacaubalaukan kehidupan mereka demi tujuan-tujuan yang hanya mengguntungkan kaum yang memang telah kaya raya. Sementara itu, jaringan sosial yang tertanam dengan kokoh dari berbagai budaya yang tadinya kaya menjadi terkelupas dan tercabik-cabik.

Semakin hari, keinginan kuat koporasi global untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi, bersama-sama dengan lembaga-lembaga keuangan global, mereka mengubah kekuasaan ekonomi menjadi kekuasaan politik. Sekarang mereka telah mendominasi proses-proses keputusan pemerintahan. Bahkan mereka telah berhasil mengubah kaidah-kaidah perniagaan dunia melalui perdagangan internasional serta persekutuan investasi. Semua itu, bertujuan agar mereka dapat memperbesar keuntungannya tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkannya yang akan ditanggung oleh masyarakat luas. Hal itu, tentu saja akan menimbulkan kehancuran ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Di sisi lain, untuk meningkatkan keuntungan mereka, korporasi-korporasi global menciptakan permintaan yang lebih besar terhadap produk atau jasa yang mereka hasilkan. Mereka berupaya menggantikan budaya rakyat yang sebelumnya suka berhemat dengan budaya memuaskan nafsu sendiri. Mereka memberikan gambaran surga materialistis di atas dunia dan menggunakan media masa untuk menenggelamkan orang dalam pesan-pesan yang memperkuat kembali budaya hawa nafsu. Nilai-nilai konsumerisme menjadi di semua kalangan usia, mulai dari anak kecil hingga orang tua renta. Menurut Korten (1999), korporasi-korporasi terus bekerja keras mengubah budaya dunia menjadi hedonisme ala Hobbbes. Media masa pun telah berada dalam genggaman korporasi-korporasi global. Mereka mengabdi untuk kepentingan para pemasang iklan serta memilih isu-isu apa saja yang bisa diperdebatkan dan apa yang tidak sesuai dengan keinginan pemiliknya, para korporasi global (Fisgon, 2004).

Korporasi-korporasi global berupaya memantapkan hegemoni budaya kerakusan dan berkelebihan pada setiap negara di dunia. Upaya mereka yang tidak henti-henti tersebut dilakukan untuk mencari lebih banyak lagi pelanggan. Bahkan, mereka tidak segan-segan melakukan perang nilai terhadap budaya-budaya yang tidak mau berubah sesuai dengan kehendak mereka. Mereka merendahkan nilai budaya-budaya yang belum mau berubah dengan ejekan-ejekan kolot, membosankan, dan miskin. Sebagai gantinya, mereka menawarkan janji-janji surga materi yang mengasyikkan, menyenangkan, dan memakmurkan setiap orang tanpa pertimbangan moralitas. Orang-orang yang mempertahankan moralitas dianggap sebagai munafik.

Deregulasi dan globalisasi yang dilakukan selama era ekonomi baru sangat menguntungkan korporasi-korporasi global. Namun, kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikan telah berpindah tangan dari manusia kepada badan-badan keuangan internasional. Manusia menjadi tawanan dari sebuah sistem yang tidak setia kepada kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.

Lembaga-lembaga keuangan yang bertindak sebagai pemilik, tidak mau tahu tentang segala hal, kecuali terhadap akibat keuangan  dari tindakan-tindakan mereka. Mereka menuntut manajemen perusahaan pertumbuhan keuntungan yang semakin besar dari tahun ke tahun. Manajemen (CEO) perusahaan yang gagal menghasilkan pertambahan keuntungan akan mengalami risiko kehilangan kepercayaan dari kalangan masyarakat (investor) dan risiko dipecat oleh para pemegang saham mayoritas. Bahkan, lebih jauh lagi, perusahaan dapat diambil alih oleh pihak lain. Akibat hal itu, koperasi global akan memberikan tanggapan dengan menggunakan kekuasaannya yang besar untuk membentuk kembali nilai, membatasi pilihan konsumen, dan mendesak pemerintah untuk memberikan subsidi, serta mengganti peraturan perdagangan dengan yang menguntungkan mereka.

Kekuasaan korporasi global, merupakan sebuah ironi yang mengubah suatu ekonomi pasar yang mengatur dirinya sendiri, kepada suatu perekonomian yang direncanakan secara terpusat. Skala perencanaan terpusat di bawah kekuasaan korporasi global tersebut melibatkan angka yang sungguh luar biasa. Penjualan kotor sebuah korporasi global bisa menyamai PDB suatu Negara. Menurut pengamatan Korten (1999), dari seratus ekonomi terbesar di dunia, lima puluh satu adalah berkaitan dengan ekonomi internal terhadap korporasi global. Demikian pula, Gilpin & Gilpin (2000), mengakui bahwa perdagangan intra perusahaan telah memiliki porsi besar dalam perdagangan dunia. Perdagangan intra perusahaan di Amerika Serikat pada tahun 1994 mencapai sepertiga ekspor Amerika dan dua perlima dari barang-barang impornya. Sekitar setengah dari perdagangan internasional antara Jepang dan Amerika Serikat, sebenarnya, tidak lebih dari perdagangan intra perusahaan.

Perdagangan intra perusahaan berlangsung pada harga transfer yang disusun oleh perusahaan-perusahaan itu sendiri dan di dalam suatu strategi korporasi global yang tidak mengikuti teori perdagangan konvensional. Korporasi-korporasi global tersebut terlibat aktif dalam hubungan perencanaan di kalangan mereka sendiri melalui asosiasi industri, aliansi strategis, dan kartel yang mempengaruhi kebijakan melalui lobi-lobi agresif, serta membentuk kembali peraturan-peraturan ekonomi global melalui partisipasi mereka dengan pemerintahan mereka dalam perundingan perdagangan dan persetujuan investasi. Selangkah demi selangkah melalui lembaga-lembaga seperti WTO dan IMF, perusahaan-perusahaan itu telah membentuk instrumen-instrumen dari suatu proses perencanaan ekonomi terpusat yang tidak demokratis di tingkat global.

Para perancang korporasi terpusat tersebut mengerahkan semua perhatiannya bukan untuk kepentingan seluruh warga dalam negara mereka, sebagaimana teori ekonomi sosialis. Akan tetapi, korporasi terpusat hanya mengerahkan perhatiannya untuk memaksimalkan hasil bagi para pemegang saham mereka saja. Namun perlu disadari bahwa mereka beroperasi bukan dalam sebuah ekonomi pasar sempurna, tetapi dalam suatu ekonomi kapitalis yang mementingkan uang di atas segalanya. Dengan demikian, keyakinan bahwa manfaat bagi para pemegang saham minoritas (yang memperoleh saham dari bursa) dari pertambahan nilai korporasi akan sangat menguntungkan, perlu disadari bahwa hanya merupakan sebuah mitos.

Secara global, penduduk dunia yang memiliki partisipasi yang bermakna dalam kepemilikan perusahaan hanya kurang dari satu persen. Kondisi tersebut, merupakan sebuah kemenangan yang diperoleh oleh kapitalisme global. Lebih separuh perekonomian dunia direncanakan secara terpusat demi keuntungan kurang dari satu persen umat manusia yang menjadi kaum terkaya di dunia. Menurut Korten, itulah kemenangan perencanaan terpusat yang diswastakan terhadap pasar dan demokrasi, serta kemenangan kaum yang sangat kaya terhadap sebagian besar umat manusia yang sangat miskin di dunia ini. Hasil dari semua itu, adalah terciptanya sebuah mesin ekonomi global yang amat berkuasa dan tidak punya perasaan, yang menyerahkan seluruh eksistensinya untuk tujuan mengubah kehidupan menjadi keuntungan dengan jalan menguras modal yang masih ada.

Korporasi sebagai lembaga yang mengerakkan kapitalisme uang saat ini, bukan manusia atau  makhluk hidup. Ia merupakan sekumpulan yang tidak bernyawa atas hak dan hubungan keuangan yang dijaga secara hukum. Ia direkayasa secara pintar untuk mengabdi kepada uang berikut segala perintahnya. Uanglah yang mengalir dalam urat nadinya, bukan darah. Korporasi tidak memiliki jiwa dan kesadaran sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Pekerja pada korporasi, baik sebagai pegawai biasa maupun CEO dan pengelola keuangannya adalah kuli-kuli kecil yang dibayar untuk mempertahankan nilai-nilai korporasi dan melakukan perintahnya. Sebagai orang yang akan berperan dalam korporasi, pekerja dilatih dengan bahasa uang, sehingga untuk menentukan harga segala sesuatu dan menentukan setiap pilihan harus dapat dinilai dengan uang. Pada akhirnya, pekerja akan menerima itu sebagai suatu kebenaran yang alamiah, sehingga pekerja pun dinilai semata-mata berdasarkan kinerja uang dan dimotivasi oleh dorongan uang belaka.

Era ekonomi baru yang menempatkan kapitalisme uang sebagai sumber kehidupan utama telah menjadikan uang sebagai sebuah kenyataan hidup, sumber makna, dan obyek yang dipuja-puja. Kita telah lupa bahwa manusia itu ada dan menjadi sejahtera hanya selama bersatu dengan kehidupanm itu sendiri. Uang, sebagai pelayan yang berguna sekaligus tuan besar yang jahat, hanya akan setia selama kita menjanjikan apa yang hanya dapat diberikan oleh kehidupan saja. Kehidupan adalah sumber dari segala yang menjaga tubuh dan ruhani kita.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami), 2006
 


Selasa, 15 Januari 2013

Dorongan Bekerja Dalam Ajaran Islam

1358245795201045601

Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau melakukan usaha, menyebar di muka bumi, dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “Dialah Yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. al-Mulk:5)
Kata “bekerja” dalam ayat-ayat Al Qur’an mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa (Qhardawi, 1977). Kerja atau melakukan usaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.
Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan melakukan usaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran “tawakkal” yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai “kerja”, seperti salah satu haditsnya yang berbunyi, “Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang.
 Hadits di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja atau melakukan usaha, bahkan harus meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.
Dalam beberapa ayat di Al Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah Al-Jumu’ah ayat 10, dinyatakan; “Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda: “Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: “Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.” (H.R. Bukhari)
Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…...” (QS. an-Nisa’:100)
Bahkan, hadits Rasulullah SAW menyebutkan bahwa apabila seorang yang meninggal dalam perantauannya akan sangat dihargai. Untuk itu, ia akan mendapatkan pahala di surga sebanding dengan jarak antara tempat kelahirannya dengan tempat kematiannya.
Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.” (H.R. Muslim)
Ajaran Islam, memberikan peringatan keras dalam masalah minta-meminta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.
Tindakan zalim terhadap hak Rabbul’alamin artinya meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memenuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa kesal. Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama makhluk. Ia menjual kesabaran, ketawakalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada orang lain.
Dalam mengentaskan kemiskinan, Islam tidak memecahkan masalah dengan cara memberikan bantuan materi untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi berusaha melibatkan si miskin mengatasi kesulitannya secara aktif di samping memberikan solusi yang manjur. Islam menuntun si miskin untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya.
Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan.
Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan.
Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya. Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Minggu, 13 Januari 2013

Kegagalan Kapitalisme Sekuler Dalam Mensejahterakan Masyarakat

 13581434071405135119



Kebahagiaan telah menjadi tujuan utama dari semua masyarakat manusia. Namun demikian, ada perbedaan pandangan mengenai apa yang membentuk kebahagiaan itu dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan. Pandangan sekuler modern mempercayai bahwa kebahagiaan dapat dijamin bila tujuan-tujuan materi tertentu dapat direalisasikan. Tujuan-tujuan materi itu antara lain adalah pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi semua individu, ketersediaan peluang bagi setiap orang untuk dapat hidup terhormat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Menurut M. Umer Chapra (1995) tidak ada sebuah negara di dunia ini yang telah berhasil merealisasikan sasaran material ini. Menurut beliau, yang terjadi justru ketidakstabilan ekonomi dan ketidakseimbangan makroekonomi dengan terkurasnya sumber-sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan polusi lingkungan dalam skala yang dapat mengancam kehidupan di bumi, serta meningkatnya ketegangan dalam hubungan kehidupan sosial manusia.
Menurut David C. Korten (1999), masalah ancaman kehancuran lingkungan dan sosial semakin besar disebabkan oleh ekses-ekses dalam sebuah sistem ekonomi yang buta terhadap kebutuhan manusia sebagai titik tolaknya. Setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet pada awal dekade 1990-an, yang turut menunjukkan ”kematian” sistem sosialisme, sistem kapitalisme seakan berjalan merajalela meninggalkan bentuk aslinya, bahkan terjadi penghancuran dan pembusukan kapitalisme dari dalam dirinya sendiri. Kapitalisme berkembang menjadi korporatisme, yang membuat semakin terpusatnya kekuasaan di tangan segelintir korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan internasional dan telah melucuti pemerintah dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas. Sejumlah kecil orang menikmati kesenangan material baru, namun kehidupan orang yang lebih banyak jumlahnya telah merosot, dan kesenjangan makin menganga hampir di segala penjuru dunia. Didorong oleh keinginan kuat untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi kepentingan para investornya, korporasi dan lembaga-lembaga keuangan global teleh mengubah kekuasaan ekonominya menjadi kekuasaan politik.
Jhon Perkins (2004), seorang mantan economics hit man, mengakui mengutamakan kapitalisme yang menyerupai masyarakat feodal zaman pertengahan dalam membantu menumbuhkan ekonomi, telah menjadikan segelintir orang yang duduk di puncak piramida menjadi lebih kaya lagi, sementara pertumbuhan ekonomi itu tidak melakukan apapun bagi mereka yang berada di dasar piramida selain mendorong mereka menjadi lebih miskin lagi.
Kapitalisme, dalam arti klasik laissez faire, menurut Chapra (1995), tidak pernah ada di mana pun dan telah mengalami modifikasi terus menerus selama beberapa abad. Dalam pandangan Taqyuddin An-Nabhani (1990), para ekonom kapitalis, tidak pernah memperhatikan masalah-masalah yang semestinya harus dijadikan pijakan oleh masyarakat, seperti ketinggian moral dengan menjadikan sifat-sifat terpuji sebagai dasar bagi interaksinya. Pandangan kapitalisme sangat dipengaruhi oleh gerakan ”pencerahan” (enlightenment) yang berlangsung antara abad 17-19.  Para pemikir ”pencerahan” terkemuka menganugerahkan akal manusia kekuasaan absolut sebagai ganti dari keimanan dan institusi, sehingga ilmu pengetahuan harus diperoleh dari persepsi pancaindra saja.
Ajaran-ajaran ”pencerahan” telah menggerogoti peran agama sebagai kekuatan kolektif dalam masyarakat. Peran agama digantikan oleh sekularisme yang mengurangi wilayah agama hanya sebagai urusan pribadi. Nilai moral telah kehilangan kesakralan kolektif dan penilaian kolektif telah menjadi sebuah anatema. Mata kuliah etika, kemudian menjadi jarang menjadi kewajiban bagi para mahasiswa ekonomi.
Etika moral berlandaskan agama yang dijauhkan dalam sosioekonomi dan politik mengakibatkan akhirnya masyarakat lepas dari mekanisme filter yang secara sosial disepakati. Kepentingan diri sendiri, harga, dan keuntungan menggantikan posisi etika moral sebagai kriteria utama bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk menstabilkan permintaan dan penawaran agregat. Meskipun nurani fitrah individu yang tertanam dalam lubuk kesadarannya masih tersisa sebagi mekanisme filter pada tingkat individual, tetapi hal itu tidak memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai mekanisme filter yang diperlukan untuk menciptakan suatu keharmonisan antara kepentingan diri individu dan kepentingan masyarakat.
Akibat penolakan penggunaan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, dan makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama, menyebabkan perwujudan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan hanyalah sebuah impian. Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkannya dan tidak ada contoh signifikan dalam sejarah yang menemukan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral, tanpa bantuan agama.  
Kesejahteraan masyarakat akan dicapai jika suatu sistem pasar yang sehat dapat tercipta. Pasar yang sehat akan menciptakan suatu sistem ekonomi yang mampu memberikan pendapatan modal yang adil dan cukup, pekerjaan bagi semua orang dengan gaji yang memadai untuk hidup layak, dan alokasi optimal secara sosial dari sumber-sumber produktif masyarakat. Tantangan yang dihadapi untuk mencapai kondisi di atas adalah menciptakan suatu peraturan kerangka kerja yang sejauh mungkin dapat menciptakan sistem pasar yang sehat. Menurut Korten, kapitalisme telah merusak teori pasar sampai tidak dikenal lagi, demi untuk mengabsahkan sebuah ideologi yang mengabdi kepada kepentingan sebuah kelas yang sempit. Kaki tangan kapitalisme dengan kedok pasar dengan bersemangat seolah-olah mengajukan kebijakan-kebijakan publik yang nantinya justru akan menciptakan kondisi yang amat bertolak belakang dengan hal-hal yang diperlukan untuk dapat berfungsi secara sosial. 
Kaum kapitalisme telah berhasil menciptakan kapitalisme uang yang membuat pemilik modal menjadi terpisah dari penggunaannya untuk produksi pada saat kekuasaan dialihkan dari kalangan pengusaha, investor dan kaum industrialis yang benar-benar terlibat dalam aktivitas produktif, kepada pemilik uang dan rentenir yang hanya hidup dari pendapatan yang diperoleh dari asset pemilikan keuangan dan asset-asset lainnya. Pemilik modal dan pasar uang menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari perdagangan praktis. Mereka mengharapkan hasil-hasil yang diperoleh dari tabungan yang semakin menumpuk, namun menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya. Mekanisme yang digunakan kapitalisme uang global untuk membuat uang dengan uang, tanpa keharusan ikut terlibat dalam aktivitas yang produktif, telah memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tuntutan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antar investasi yang produktif dan yang ekstraktif tampaknya merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya.
Demikian pula, telah terjadi, pasar saham sebagai kasino judi canggih dengan watak yang unik. Para pemain saham, melalui interaksinya, dapat memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat lainnya. Menurut Korten, krisis moneter yang terjadi di Asia pada tahun 1997 merupakan sebuah jendela yang sangat menarik untuk menyaksikan berjalannya permainan itu, dan bagaimana perputaran yang diakibatkan di pasar saham dunia punya dampak terhadap kehidupan manusia-manusia yang sesungguhnya. Akibat semua itu, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia.
Menurut Chapra (2001), krisis Asia tersebut terjadi disebabkan ketidakstabilan ekonomi akibat dari kekacauan dalam pasar finansial karena gejolak tingkat bunga, nilai tukar dan komoditas serta harga saham yang berlebihan. Ketidakstabilan tersebut diperburuk oleh semakin besarnya ketergantungan sektor produktif  kepada hutang jangka pendek. Hutang jangka pendek sangat mudah dikonversikan, tetapi pembayarannya kembali akan sulit jika hutang tersebut digunakan untuk investasi jangka panjang yang waktu pengembaliannya lama. Sementara itu, bukan masalah yang berarti, jika sejumlah hutang jangka pendek dalam jumlah yang memungkinkan, kelebihannya dikonversikan pada spekulasi mata uang, saham dan pasar komoditas. 
Pengalaman Asia di atas adalah suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu bentuk kemampuan kapitalisme untuk menciptakan kemakmuran dengan jalan menciptakan suatu demam spekulasi. Hal tersebut sebenarnya dalam kenyataannya menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif. Di bawah kekuasaan kapitalisme uang, kesejahteraan diperoleh oleh mereka yang membuat uang, bukan kepada pekerja yang digaji benar-benar untuk membuat hal-hal yang ingin dibeli oleh para pembuat uang itu.
Dalam suatu ekonomi pasar yang produktif, orang ikut serta dalam banyak peranan dan menjadikan perasaan kemanusiaan mereka terlibat dalam setiap aspek kehidupan ekonomi. Akan tetapi yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini adalah kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikan telah berpindah tangan kepada badan-badan keuangan global yang bukan manusia. Kekuasaan uang telah diputus hubungannya dari perasaan kemanusiaan, sehingga manusia itu sendiri hanya menjadi tawanan dari sebuah sistem yang tidak setia kepada kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Menurut Korten, kapitalisme telah berhasil menciptakan sebuah mesin ekonomi global yang amat berkuasa dan tidak punya perasaan, yang menyerahkan seluruh eksistensinya untuk tujuan mengubah kehidupan menjadi keuntungan dengan jalan menguras modal yang masih ada.  
    Untuk mewujudkan suatu kondisi ideal, dimensi moral harus dikembalikan dalam sebuah sistem ekonomi yang berlaku, meskipun hal itu saja tidak cukup. Kesenjangan suatu ideal dengan realitas akan dapat dijelaskan dengan menggabungkan varabel-variabel psikologi, sosial, politik, dan sejarah tertentu ke dalam analisis yang dilakukan pada dynamic model of Islam yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun. Bila kondisi ini tidak dipenuhi, masyarakat ideal yang diinginkan sangat sulit untuk diwujudkan. Kurangnya ceramah ruhani bukan penyebab utama kerusakan moral, ketiadaan keadilan dan kesejahteraan umum di dunia Islam saat ini (Chapra, 2001). Kutbah dan ceramah ruhani telah cukup banyak dilakukan, namun diperlukan pula penciptaan suatu lingkungan yang sesuai dan strategi untuk mewujudkannya.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 09 Januari 2013

Ekonomi Dalam Pandangan Islam



Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai faktor esensial agar dapat survive dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi gradual dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.

Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan manusia sepanjang masa, sehingga kepentingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional. Umat Islam telah lama terlibat dalam aktivitas ekonomi, yakni sejak lima belas abad yang silam. Fenomena tersebut bukanlah suatu hal yang aneh, karena Islam menganjurkan umatnya untuk  melakukan kegiatan bisnis (berusaha) guna memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi mereka. Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam sendiri terlibat di dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama istrinya Khadijah.

Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Al Quran mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Al Qur’an dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah melalui berbagai bentuk Al Hadits dan diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan Dinul Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al Qiyas.

Namun sejak abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 20 Masehi, kontribusi Islam dalam pemikiran ekonomi seakan hilang ditelan peradaban dunia sehingga tidak ditemukan buku-buku sejarah pemikiran Ekonomi Islam. Adalah sebuah ironi, bahwa Adam Smith, yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Ekonomi”, dalam bukunya The Wealth of Nations (tahun 1766), menjelaskan bahwa perekonomian yang maju ketika itu adalah perekonomian Arab yang dipimpin Muhammad dan Para Khalifa ur Rasyidin (dalam buku tersebut disebut sebagai Mahomet and his immediate successors). Lebih ironis lagi, jika kita simak, ternyata judul buku Adam Smith tersebut merupakan saduran dari buku Imam Abu Ubayd, yaitu “Al-Amwal” (865).

Ironi lainnya, adalah, ketika Samuelson dalam buku teks Economics edisi 7, menyebutkan bahwa asal muasal Ilmu ekonomi adalah Bible (Injil), tidak satupun ekonom (pakar ekonomi) yang bereaksi. Sementara itu, ketika Ilmuwan Islam mengangkat kembali Ilmu Ekonomi Islam dengan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai sumber rujukan utama, sebagian besar ekonom, termasuk ekonom muslim, spontan bereaksi menentang keberadaan Ekonomi yang berdasarkan ajaran Syariah Islam tersebut.

Sementara itu, seorang ilmuwan Barat, C.C. Torrey dalam disertasinya yang berjudul “The Commercial Theological Terms in the Koran” menyatakan bahwa Al Quran menggunakan terminology bisnis sedemikian ekstensif. Ia menemukan 20 (dua puluh) macam terminology bisnis dalam Al Quran serta diulang sebanyak 370 kali dalam berbagai ayat (Mustaq Ahmad, 1995). Penggunaan terminology bisnis (ekonomi) yang sedemikian banyak, menunjukkan sebuah manifestasi adanya spirit bersifat komersial dalam Al Quran.

Jika kita simak dengan seksama, menurut Adiwarman Karim (2002), ilmu ekonomi merupakan warisan peradaban manusia yang dapat diibaratkan sebagai bangunan bertingkat, dimana setiap kaum telah memberikan kontribusi pada zamannya masing-masing dalam mendirikan bangunan tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan pemikiran Ekonomi Islam, para ulama yang merupakan guru kaum muslimin tidak menolak pemikiran para filosof dan ilmuwan non Muslim asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama dan pakar ekonomi Islam, saat ini, berusaha mengembangkan Ekonomi Islam sesuai dengan dalil naqli dan dalil aqli, meskipun pengaruh pemikiran ekonom Barat masih terasa.

Kegiatan sosial-ekonomi (muamalah) dalam Islam mempunyai cakupan luas dan fleksibel, serta tidak membedakan antara Muslim dan Non Muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, yaitu “dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”. Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1.      Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2.      Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3.      Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4.      Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).

Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian Syariah, memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berkonsep kepada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Ekonomi Syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang, yaitu:
1.      Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)
2.      Ekonomi Akhlaq
3.      Ekonomi Kemanusiaan
4.      Ekonomi Keseimbangan

Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan tujuan utama untuk mendapatkan Ridho Allah. Ekonomi Akhlaq mengandung arti bahwa kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang Muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan orang lain. Ekonomi Kemanusiaan mengandung arti bahwa Allah memberikan predikat “Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan berinovasi. Sedangkan yang dimaksud dengan Ekonomi Keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal itu. Hal itu terjadi karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami system perekonomian yang berbasiskan Syariah.

Penulis: Merza Gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi)